BOSSY BOSS

Chapter 138 - A Mission



Chapter 138 - A Mission

0Kenapa harus ada rencana ketika bisa rencana itu gagal? Bagaimana jika tidak sesuai yang diharapkan?     
0

Pikiran itu terlintas dalam benakku sejak aku merasa curiga akan semuanya. Belum lagi sampai saat ini kami belum juga sampai di resto yang di maksud. Sepertinya memang jauh sekali.     

Hampir saja aku merasakan mati kebosanan sampai musik klasik mengalun indah di dalam mobil. Raka memutarnya untuk memecah kesunyian.     

"Jauh, ya?" tanyaku pada Raka.     

"Ya, tapi sebentar lagi sampai, kok. Aa kamu haus?"     

Aku menggeleng. Bukan haus yang kurasa, tapi jenuh akan kebosanan berada di mobil dalam waktu yang cukup lama.     

Sementara ini aku memilih tidur saja karena memang aku masih mengantuk. Biar nanti Raka atau Reina yang membangunkanku ketika sudah sampai.     

Guncangan kecil kurasakan saat aku masih dalam keadaan tidur. Aku membuka mata perlahan dan terkejut karena jarak Raka begitu dekat tepat di mukaku.     

Astaga!     

"Maaf, tapi kita udah sampai, Daisy," katanya perlahan.     

Ia mundur sejengkal dan kemudian membiarkan pintu penumpang terbuka dan membuatku keluar secara perlahan.     

"Maaf, aku ketiduran," ucapku pada Reina dan Raka.     

"Nggak apa-apa. Biasanya hamil anak laki-laki kan, begitu. Menurut yang aku baca, sih," timpal Reina.     

Aku tersenyum kikuk dan menatap sekeliling. Restoran ini memang restoran mewah dan berkelas. Tidak ada kendaraan bermotor, malahan yang terlihat kendaraan mobil dengan merek ternama.     

Aku masuk ke dalam mengikuti Reina dan Raka yang ada di depanku.     

Benar-benar aneh rasanya. Tanpa suami atau pendamping di sisi. Aku seperti Ibu hamil yang tidak memiliki suami, melainkan terlihat seperti seorang wanita yang hamil di luar nikah dan si laki-laki tidak mau bertanggung jawab.     

Ck! Apa-apaan pikiranku ini? Kacau sekali dan konyol.     

Aku duduk di salah satu kursi dengan meja bundar besar berisikan enam kursi, termasuk kursi yang sudah kududuki.     

"Sisa satu kursi, apa nggak apa-apa dibiarkan seperti ini?" tanyaku pada yang lain.     

"Nggak apa. Ini kan, bisa buat tas atau lainnya."     

Benar juga. Jadi, kami memesan makanan yang membuatku bingung ingin memesan apa.     

Menunya terlihat asing dengan porsi sedikit namun harga mewah punya. Gila, aku bahkan tidak mungkin memesan satu saja, kan? Padahal aku sedang lapar-laparnya.     

"Pesan aja, Dai. Semua ini Bos besar yang bayar!" bisik Reina di telingaku.     

Aku menatapnya. Bos besar? Siapa Bos besar yang ia maksud? Papa atau Raka? Ah, sudahlah... Lebih baik aku memang pesan saja sesuai yang kumau.     

Aku pesan banyak menu yang kupikir itulah yang kumau. Kami terlibat dalam beberapa pembicaraan dari yang serius sampai yang lucu sekali pun. Sudah lama sekali tidak merasakan hal ini. Sepertinya sangat membuatku juga anakku senang. Masalahnya ia beberapa kali menendang-nendang di dalam perutku.     

"Daisy, Papa mau tanya sama kamu. Tolong jangan dimasukkan ke hati, ya sebelumnya. Dan maafkan Papa juga kali ini ingin membahasnya denganmu," tiba-tiba Papa berbicara dan suasana sekitar meja menjadi sunyi padahal restoran ramai dengan para tamu.     

"Iya, Pa. Silakan."     

"Hmm, langsung saja. Papa mau anak Raja punya seorang Ayah."     

Sebelum beliau mengatakan yang ingin dikatakannya, jantungku berdegup kencang. Sekarang, jantungku semakin bertambah degupannya setelah beliau menyampaikannya.     

"Pa... Kenapa. Tiba-tiba?" tanyaku serak.     

Padahal makan-makan saja belum dimulai, tapi rasanya aku sudah kenyang ketika mendengar keinginan Papa.     

"Jangan kaget, Nak. Papa cuma ingin itu. Selama ini Papa belum mengatakan keinginan Papa sama kamu, kan?" ujarnya.     

Bagaimana aku tidak kaget kalau selama ini Papa hanya diam dan tiba-tiba mengatakan hal itu padaku. Sangat jelas sekali sekarang kalau Papa sangat peduli padaku. Beliau memperhatikanku walau aku merasa tidak.     

Raka dan Reina menatapku. Sementara Ibu memberikan perhatian sayangnya padaku. Apa mereka mengharapkan seseorang menggantikan posisi Raja?     

"Apa kalian ingin posisi Raja digantikan?" tanyaku.     

"Raja tetap ada di antara kita. Kita cuma ingin kamu punya pendamping yang bisa menempati posisi Raja," timpal Papa.     

Mataku rasanya panas sekali. Mereka semua peduli padaku. Dan aku tidak menyadari itu.     

"A-aku... Nggak tahu harus menjawab apa, Pa," kataku ragu.     

"Apa yang kamu takuti? Coba hilangkan. Karena ketakutanmu itu akan membuatmu gagal dalam melangkah ke depan," nasihat Papa.     

Kuhela nafasku dan menahan mataku agar tidak menjatuhkan bulirannya.     

"Aku takut jika suatu saat aku menikah, lalu sesuatu yang sama menimpa suamiku. Sama seperti saat bersama Raja. Kalian tahu kan, Raja meninggal karena ia sibuk melihat pesan dariku? Aku masih menyalahkan diriku atas itu," ujarku dengan mantap.     

Reina menggenggam tanganku. Ia mencoba menguatkanku dari genggamannya sebagai kakak perempuanku.     

"Nasib dan takdir setiap orang itu berbeda, Nak. Ayo, cobalah. Nggak, maksud Papa, berusahalah. Papa yakin Raja juga menginginkan hal yang sama seperti kita."     

Kupandang satu per satu keluargaku. Anggukkan kepala mereka cukup membuat semangatku sedikit naik. Mereka benar-benar mendukungku untuk maju.     

"Terima kasih. Aku akan mengusahakannya," kataku kemudian.     

Saat itu rombongan pelayan datang tepat pembicaraan kami selesai. Mereka menaruh menu pesanan kami di tengah meja besar hadapan kami lalu mereka kembali ke dapur mereka.     

Aku menatap sekeliling menu pesanan kami yang terlihat begitu sangat lezat. Tak sabar aku ingin memakan semua pesananku hingga kenyang.     

Kami makan dalam keheningan. Ada yang ikut mencicipi dan meminta, begitu pun aku. Saling berbagi satu sama lain. Rasanya sangat lengkap sekali.     

Apalagi saat ini pemandangan yang kami pilih ada kota. Jadi, saat gelap seperti sekarang ini, lampu-lampu kota terlihat jelas sekali di mata kami. Begitu indah dan cantik. Aku menyukainya. Terlebih lagi posisiku berada di dekat kaca yang memperlihatkan pemandangan kota itu.     

Musik yang berganti menjadi mendayu-dayu ketika kami selesai makan, membuat Raka dan Reina berdiri bersamaan.     

Aku menatap mereka yang terlihat sangat serasi. Lalu diikuti beberapa para tamu yang berdiri dan mereka berjalan ke arah tengah-tengah untuk berdansa.     

Betapa indahnya pasangan-pasangan itu di mataku. Bahkan ada sepasang orang tua yang hanya mereka seorang menikmati makan malam ini beserta dansanya.     

Cinta sejati itu benar-benar ada, kurasa.     

"Ibu dan Papa nggak ke tengah juga?" tanyaku pada orang tuaku yang hanya diam di kursi mereka.     

"Kami di sini aja bersamamu, Nak."     

"Bu, dansalah. Aku nggak apa-apa di sini," timpalku.     

Ibu menoleh ke arah Papa dan mereka mengangguk bersamaan. "Sebentar aja. Kamu tunggu di sini, ya."     

Aku mengangguk. Kutopang daguku seraya memandang keluargaku bersamaan berdansa di atas lampu yang remang-remang dengan musik yang mendayu-dayu itu.     

Sempurna sekali malam ini. Melihat mereka bahagia membuatku merasa bahagia juga.     

Aku menuju toilet dengan memberikan isyarat pada Reina. Rasa ingin buang air kecilku lebih sering akhir-akhir ini. Tidak peduli tempat. Untungnya aku ada di restoran.     

Selesai buang air kecil, aku menatap pantulan diriku di cermin. Kupoles bibirku sekali dengan pemerah bibir, lalu keluar dari toilet.     

Suasana resto terlihat lebih mengagumkan ketimbang tadi. Hanya beberapa tamu yang masih berdansa, termasuk keluargaku. Sepertinya mereka sangat menikmati sekali.     

Sebuah tangan terulur di sisiku yang sontak membuatku harus menengadahkan kepalaku.     

Jeremy? Dia di sini?     

"Mau berdansa denganku?" tanyanya.     

"A... Kamu di sini?" tanyaku gagap.     

Senyumnya begitu terlihat tampan di bawah lampu remang-remang resto. Tangannya yang masih terulur pun lantas kuraih dan ia menggiringku ke tengah-tengah.     

Sepertinya keluargaku belum menyadari kehadiran Jeremy. Tapi kenapa ia ada di sini?     

"Kamu sangat cantik dengan gaun itu," katanya memujiku berbisik.     

"Trims. Tapi apa yang kamu lakukan di sini?"     

"Menjalani misi. Nanti kamu akan tahu," katanya sekali lagi.     

Helaan nafasnya membuatku ikut menghela. Wanginya menakjubkan dan aku sangat hafal sekali dengan parfumnya. Tapi sebelumnya aku bahkan tidak mencium wanginya.     

Sekarang jarak kami terasa dekat. Aku yang tidak bisa berdansa ini dituntunnya ke arah mana dan seperti apa yang harus kulakukan.     

"Apa kamu sendiri di sini?" tanyaku berbisik.     

"Ya. Sendiri."     

Jeremy memeluk pinggangku dan perut buncitku ini sedikit memberi jarak untuk kami berpelukan. Tapi aku bisa merasakan tendangan anakku. Aku yakin Jeremy merasakannya juga.     

"Sepertinya dia rindu padamu," katakh.     

Jeremy terkekeh dan tersenyum. "Aku juga merindukannya. Maaf sehari ini nggak memberimu kabar."     

"Aku tahu pekerjaanmu sibuk," kataku.     

Dahinya berkerut dan menggeleng. Lalu wajahnya berubah menjadi santai. "Hari ini aku sedang menyiapkan misi, Dai. Aku harap berhasil."     

Kuanggukkan kepalaku memberi semangat. "Aku tahu kamu akan berhasil. Semua hal yang kamu lakukan, sudah pasti mengarah ke hal yang layak."     

Ia tersenyum lagi. "Kadang aku sedikit negatif thinking. Bagaimana kalau gagal?"     

"Kata Papa, kamu harus menghilangkan rasa takutmu karena itu menghambatmu untuk menuju ke hal yang baik," ujarku mengikuti nasihat Papa dengan bentuk yang kubuat sendiri.     

Jeremy mengangguk-anggukkan kepalanya. Padahal ia biasanya tidak sepesimis ini.     

"Pakaianmu formal juga ternyata," kataku yang baru sadar akan dasi dan jas yang ia kenakan.     

"Ya. Ini restoran berkelas. Aku harus berpenampilan sekelas mungkin."     

Aku tertawa kecil. Aku pikir pakai pakaian yang formal namun biasa mungkin tidak masalah. Tapi keluargaku dan bahkan Jeremy pun, mengenakan pakaian yang begitu formal. Termasuk aku. Itu pun atas dasar pemberian Reina yang sebelumnya aku tidak ketahui.     

"Tadi, aku melihatmu sendiri. Makanya aku ajak dansa. Lagian, kita belum pernah dansa sebelumnya," ucapnya tiba-tiba.     

"Hmm. Ya. Dan sekarang kita berdansa. Lebih tepatnya, kamu yang menggiringku yang nggak tahu cara berdansa."     

Langkah lambat sesuai tempo musik membuatku memeluk Jeremy. Aku merasakan detakan jantungnya yang begitu memburu. Padahal kalau dilihat ia terlihat sangat begitu biasa. Seperti sudah profesional mengontrol dirinya.     

Jeremy mendorong diriku dan menatapku dengan pandangan yang begitu sangat berarti. Ia meraih tanganku dan mulai bergerak untuk berdansa. Lalu ketika ritme musik sedikit dipercepat, ia membuatku berputar perlahan.     

Lalu tiba-tiba Jeremy bersimpuh dan mengeluarkan sekotak cincin berlian yang ia tunjukkan padaku.     

"Maukah kamu menjadi misi yang kukatakan tadi, Dai? Will you marry me?" tanyanya dengan suara sendu.     

Aku syok. Kupandang sekeliling dan baru sadar bahwa yang berdansa sedari tadi entah sejak kapan, hanya aku dan Jeremy seorang.     

Aku melihat keluargaku yang tersenyum padaku. Inikah rencana mereka?     

Aku masih diam dan kembali menatap Jeremy yang masih bersimpuh dengan wajah tampannya.     

"Once again, will you marry me, my queen, my Daisy?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.