BOSSY BOSS

Chapter 139 - Yes, I Do!



Chapter 139 - Yes, I Do!

0Bukan hanya keluargaku yang menatapku. Tapi semua orang. Senyum merekah bisa kulihat di wajah semua orang. Mereka berharap dan menunggu jawaban dariku sementara aku bingung harus bereaksi apa.     
0

Aku tentunya terkejut dan syok. Tidak bisa kubohongi. Padahal saat berputar dansa tadi, aku hanya sebentar, tapi ketika menghadapnya, Jeremy bahkan sudah bersimpuh dengan kotak kecil berisikan cincin.     

Aku pikir orang-orang akan berseru hal negatif padaku mengingat aku tengah hamil dan tiba-tiba seseorang melamarku. Pasti pikiran mereka berkata sesuatu yang buruk, bukan? Mungkin bertanya kenapa bisa aku dilamar seseorang dalam keadaanku yang seperti ini.     

"Daisy... Menikahlah denganku," sekali lagi Jeremy berkata.     

Kutatap wajah Papa yang mengharapkan jawaban dariku. Sekarang aku mulai mengerti. Mereka sepertinya sudah merencanakan ini. Bahkan ucapan Papa tadi, sepertinya mengarah ke hal ini.     

Aku tidak mungkin menolak Jeremy di saat ia sudah memberikan segala hal padaku. Waktunya dan semua tindakannya demi untukku dan anakku.     

"Ya... Aku mau," ucapku dengan gugup.     

Tepuk tangan mereka membuat suasana menjadi sangat ramai. Jeremy lalu memasang cincin itu ke jari manisku. Lalu ia mengecup bibirku sesekali hingga menjadi cumbuan yang membangkitkan nafsu di antara kami.     

"Aku sangat mencintaimu. Sangat," ujarnya.     

Aku belum sempat membalas perasaannya, tapi Jeremy sudah mencium lagi tepat di bibir seperti tadi. Aku tidak bisa menahannya dan kubalas saja sampai tepuk tangan yang begitu meriah membuat kami melepaskan ciuman itu.     

Tangisanku meledak. Aku merasa tersanjung dan sekaligus terharu. Kupeluk Jeremy sekali lagi seraya melihat cincin yang melingkar pada jari manisku.     

Setelah itu Jeremy membawaku kembali pada keluargaku. Semua memeluknya termasuk aku. Mengucapkan selamat dan tak sabar akan pernikahanku.     

"Jadi, inilah Bos besar kita!" timpal Reina dengan ceria.     

Aku ternganga. Bos besar yang ia maksud tadi ternyata Jeremy dan aku berpikir bahwa itu adalah Papa atau Raka. Nyatanya bukan. Entah aku harus merasa bagaimana, yang jelas kejutan ini masih membuatku syok sekaligus bertanya apakah ini mimpi atau bukan.     

"Kalian pandai buat kejutan, ya. Aku nggak tahu harus bilang apa selain terima kasih untuk semuanya," kataku pada mereka yang tertawa dan tersenyum menatapku.     

Jeremy mengusap-usap rambutku dengan senyumnya yang tak pernah membuat ketampanannya berkurang. "Untukmu dan masa depanmu," katanya. Aku membalasnya dengan anggukkan dan aku menoleh ke arah Papa.     

Beliau mengacungkan jempolnya padaku dan tak banyak bicara. Aku sangat menyayanginya dan benar-benar berterima kasih padanya karena memberikan kasih sayangnya sebagai sosok Ayah yang selama ini tidak pernah kudapatkan dari Ayah kandungku sendiri.     

***     

Jeremy mengantarku sampai rumah. Sebelum sampai rumah, ia banyak membicarakan banyak hal tentang pernikahan padaku. Persiapannya begitu sempurna dan aku bahkan tidak perlu susah payah memilih ini dan itu. Semua telah ia tangani dengan baik dan aku merasa seperti aku berhutang budinya.     

"Aku nggak mau mewah, sesuai dengan keinginanmu, kan?" katanya.     

"Hmm, iya. Mengingat aku sedang hamil dan sudah dua kali menikah, sekarang ketiga kali, rasanya aneh jika terlalu dimewahkan. Maafkan aku, ya," ujarku.     

"Kenapa lagi harus meminta maaf, Sayang?" tanyanya.     

Ada rasa yang aneh saat Jeremy memanggilku dengan sebutan itu. Terasa menyenangkan yang menggelitik perutku. Sesuatu bahkan beterbangan di dalam perutku.     

"Karena kamu dapat seorang janda yang bahkan tengah mengandung seorang anak dari suami yang sudah meninggal. Bahkan sudah menikah sebanyak dua kali," kataku realistis.     

Jeremy tersenyum dan menyentuh daguku. Lalu tangannya kembali mengacak-acak rambutku. Sesuatu hal yang selalu ia lakukan padaku.     

"Besok, kita akan membicarakannya. Semua rencana yang sudah kubuat. Keluargamu juga perlu tahu. Oke?" katanya saat kami sudah sampai rumah.     

Aku mengangguk dan kami pun keluar bersama. Saat aku dan keluarga sudah berada di teras, Jeremy langsung berpamitan karena hari sudah terlalu malam untuk bertamu. Kami pun tidak mempermasalahkannya. Jadi Jeremy berpamitan pada mereka dan aku menunggunya sampai ia pergi selagi semua keluargaku masuk ke dalam.     

"Hati-hati. Jangan main hape atau lengah. Oke? Kabari aku kalau sudah sampai rumah," kataku padanya dengan penuh perhatian.     

"Iya, Sayang."     

Jeremy mendekatkan dirinya padaku dan mencium bibirku sekali lagi. Tidak ada nafsu yang meningkat di sana, hanya ciuman rasa cinta dan selamat malam. Ia melepaskannya perlahan dan mencium keningku.     

"Selamat malam, selamat beristirahat. Hai, Jagoan... see you!" Ia mengusap perutku perlahan dan tendangan itu kembali lagi terasa. Aku tertawa dengan kekehan yang menggelikan.     

Jeremy masuk ke dalam mobilnya dan keluar dari gerbang rumah hingga aku tidak melihatnya lagi. Kuhela nafasku sejenak dan mengusap-usap perutku. Sebentar lagi menikah, mungkin sebaiknya aku ke makam Raja untuk bercerita padanya. Walau aku pernah mengatakan akan ke makam saat aku sudah benar-benar siap, tapi sepertinya siap tidak siap, aku harus datang untuk berbagi cerita walau hanya pada sebuah nisan dengan tanah yang bergunduk.     

***     

"Siapa, Raka? Dia siapa?" tanya Reina dengan suara meninggi saat mereka masih berada di kamar pagi hari.     

"Dia hanya sekretaris baru. Kamu kenapa sih, nggak percaya aku?" tanya Raka.     

Pagi ini Reina menemukan pesan dengan gelagat mesra yang dikirimkan wanita lain, yang Raka bilang adalah sekretaris barunya. Walau Raka membalas pesan itu dengan formal, tapi rasa cemburu Reina tidak bisa dibendung.     

Hal ini membuat Daisy mendengar apa yang mereka sedang bicarakan saat Daisy tidak sengaja melewati kamar mereka.     

"Kenapa kamu nggak bilang aku kalau mau merekrut sekretaris baru? Lagi pula, kenapa juga dia mengirim pesan dengan mesra seperti ini? Aku mau ketemu dia!"     

"Reina... ini pekerjaanku sebagai atasan. Aku sendiri juga nggak tahu kenapa dia mengirim pesan mesra itu, tapi nanti aku akan membicarakannya. Percayalah padaku, aku nggak mungkin macam-macam!" terang Raka ingin menenangkan Reina.     

Daisy menutup mulutnya karena ia baru dengan bahwa Raka merekrut sekretaris baru. Benarkah sekretaris itu memang mengirimi pesan mesra pada Raka?     

"Daisy, kamu sedang apa di sana?" Tiba-tiba Weiske muncul dengan suara kecil bertanya pada Daisy. Daisy menunjukkan satu jarinya pada Ibunya untuk diam. Lalu mereka berpindah tempat.     

"Nggak apa-apa, Bu. Tadi mau ketemu Reina, tapi mereka sedang ngobrol jadi nanti saja," jawab Daisy mencoba menutupi masalah mereka.     

Tak lama Reina keluar seorang diri dan duduk di meja makan. Wajahnya terlihat biasa tapi beberapa kali ia menghela nafasnya. Kemudian Raka menyusulnya dan duduk di sampingnya. Keduanya tidak bicara sama sekali sampai Daisy merasa aneh jika suasana meja makan terasa sunyi.     

"Raka, bagaimana kabar kantor? Aku rasa aku sudah bisa mulai masuk lagi," tanya Daisy.     

Reina langsung menatap Daisy dengan tatapan yang Daisy tidak ketahui. Tapi Daisy mendapatkan isyarat pada Reina bahwa setelah makan mereka harus bertemu. Dan Daisy mengangguk.     

"Baik. Kamu mau masuk kapan pun, masuk saja, Dai. Kantormu kosong juga tapi tetap dibersihkan, kok," jawab Raka.     

Daisy menelaah, jika Raka bisa menjawab dengan sesantai itu, bisa jadi memang Raka tidak terlibat dalam perselingkuhan atau apa pun yang mengarah ke sana.     

"Daisy, kalau kamu mau ke kantor, biar aku dan Pak Budi yang antar, ya? Kebetulan aku mau beli sesuatu yang searah dengan kantor," tiba-tiba Reina menawari diri dan Daisy pun menoleh ke arahnya.     

"Oh, oke," jawab Daisy.     

"Reina... aku nggak mau kamu pergi sendiri," timpal Raka.     

"Aku nggak sendiri. Pergiku dengan Daisy dan tentu saja ada Pak Budi yang menyetir. Lagian aku juga mau me-time," sambar Reina.     

Daisy tercengang melihat keduanya saling melempar obrolan dengan nada sedikit meninggi pada Reina. Sementara Raka bersikap tenang tapi menunjukkan rasa khawatirnya.     

"Masih pagi, jangan bertengkar begitu kalian," tiba-tiba suara Thomas membuat keduanya diam serentak dan melanjutkan sarapan mereka.     

Reina tentu menunjukkan wajah kesalnya dan ia menatap Daisy dengan tatapan memohonnya untuk mengantarnya sampai kantor. Daisy hanya mengangguk menunjukkan rasa pengertian mereka.     

Selesai sarapan, aku menuju kamarku dan tidak kusangka Reina mengikutiku hingga masuk ke kamar dan ia menutupnya. Awalnya aku terkejut tapi karena aku tahu apa yang ingin ia sampaikan, maka aku diam dan memberinya jeda agar ia mau mengatakannya.     

"Apa kamu nggak mau tanya kenapa aku di meja makan dan sekarang kelihatan aneh, Daisy?" tanyanya.     

Kuhembuskan nafasku. Sepertinya aku tidak perlu berpura-pura seolah aku tadi tidak mendengar percakapan mereka. Jadi kusampaikan saja supaya dia tidak perlu susah payah menceritakannya lagi.     

"Nggak. Maaf sebelumnya, tapi tadi aku nggak sengaja mendengar pertengkaranmu dengan Raka. Jadi, aku tahu sedikit permasalahanmu," kataku.     

Reina duduk di tepi kasurku dan ia menatapku dengan wajah sedihnya. "Jadi, apa kamu mau ke kantor hari ini?" tanyanya.     

"Aku rasa ya, Reina. Tapi, apa benar kamu mau bertemu dengan sekretaris baru itu atau hanya mengantarku dan memastikan?" tanyaku.     

"Apa bedanya? Aku mau memastikan sekaligus bertanya dengannya langsung. Raka itu terlalu suka menutupi aib seseorang dan aku nggak suka!" katanya dengan murka.     

"Sabar. Jangan terpancing dulu. Memang sebaiknya memastikan, sih. Tapi aku pikir, Raka nggak akan berbuat hal seburuk itu di belakangmu," kataku seraya memilah pakaian untuk ke kantor.     

"Kamu pikir begitu? Memang sih, respons Raka itu biasa banget. Bahkan formal, tapi aku heran kenapa wanita itu sangat nggak sopan begitu? Dia kan, karyawan baru."     

Daisy hanya diam dan merias wajahnya sedikit dan mengganti pakaiannya di kamar mandi. Lalu ia menatap Reina yang masih duduk bersandar di tepi kasurnya.     

"Siapa nama sekretaris itu?" tanya Daisy.     

"Gisel. Ada apa?"     

"Aku cuma tanya. Hmm, apa kamu nggak berpikir Raka punya teman yang bernama Gisel?" tanya Daisy memberi ide.     

Sekejap Reina terdiam, berpikir dan mengingat-ingat apakah Raka punya teman yang bernama Gisel. Sampai akhirnya Reina sadar dengan matanya membelalak, membuat Daisy memiringkan kepalanya.     

"Kamu benar. Aku nggak asing nama itu ketika mengingatnya, tapi masalahnya itu bukan temannya, tapi mantan kekasihnya. Gisel. Iya, Gisel," jelas Reina.     

Dahi Daisy mengkerut. Seiingatnya, Raka tidak pernah bercerita dia memiliki kekasih selain Reina. Satu-satunya cinta pertama dan terakhir untuknya. Kecuali jika Raka memang menyembunyikan identitas bahwa ia memiliki mantan kekasih.     

"Reina, kamu yakin? Karena seingatku Raka nggak pernah bilang padaku bahwa ia punya mantan kekasih. Dia cuma bilang bahwa pacar pertama dan terakhirnya kamu seorang. Maksudku, dia benar-benar kuno, hanya punya kamu saja," jelas Daisy dengan wajah kebingungan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.