BOSSY BOSS

Chapter 143 - He Just Like Him



Chapter 143 - He Just Like Him

0Seperti menemukan keluarga kedua setelah keluarganya, Daisy menikmati sensasi kasih sayang dari Evelin. Ia, Evelin dan Jenny memutuskan untuk menuju tempat toko bridal untuk mengukur gaun Daisy. Setelah mereka selesai mengukur gaun pengantin, Evelin dan Jenny memutuskan untuk mengajak Daisy makan bersama.     
0

Seharian ini Daisy benar-benar bersama calon Ibu mertuanya dan adik iparnya. Ia merasa senang dan seperti lupa akan hal-hal yang membuatnya sedih atau kepikiran.     

"Jeremy dari dulu selalu menceritakan tentang kamu, Dai. Itu yang perlu kamu tahu," ujar Evelin membuka topik saat mereka menunggu hidangan tersaji.     

"Iya benar. Bang Jeremy itu cerita sudah kayak cinta banget sama Kak Daisy!" timpal Jenny.     

Daisy tersenyum senang mendengar laporan mereka. Walau pun ia berharap Jeremy tidak menceritakan tentangnya, tapi Daisy sangat yakin setelah tahu bagaimana Jeremy sangat mencintainya, ia pasti bercerita banyak tentangnya pada keluarganya.     

"Apa Jeremy nggak pernah bersedih?" tanya Daisy memancing.     

"Tentu saja dia pernah bersedih, Dai. Dia nggak pernah menceritakan kesedihannya, tapi Tante tahu apa yang membuatnya sedih. Kamu menikah dengan orang lain. Ah, maksud Tante, Tante nggak mau menyinggung ini. Tolong jangan tersinggung, ya," jelas Evelin.     

"Aku nggak apa-apa, Tante. Tapi makasih ya, Tante. Kalian semua mau menerima aku yang seperti ini."     

Evelin mengusap-usap punggung Daisy dan mengangguk dengan senyuman di saat makanan mereka tiba dan tersaji di depan.     

Ketika mereka tengah menikmati hidangan masing-masing, Evelin terbatuk-batuk membuat Jenny langsung tanggap dengan Ibunya. Ia mengusap-usap punggung Evelin dengan lembut sementara Daisy menunjukkan kepanikannya.     

"Tante, Tante nggak apa-apa?" tanya Daisy.     

Evelin hanya diam karena ia masih terbatuk-batuk. Ia menunjukkan tangannya sebagai isyarat ia tidak apa-apa. Tapi bukannya menunjukkan kebenaran, melainkan Daisy melihat Evelin mengeluarkan darah dari batuknya itu.     

"Jenny, sebaiknya kita pulang," timpal Daisy mulai merasa khawatir.     

"Iya, Kak. Aku bawa Mama ke mobil duluan, ya?"     

Daisy mengangguk dan ia pun langsung membayar tagihan makanan mereka kemudian ia kembali ke rumah Jeremy. Sebenarnya Daisy ingin sekali membawa Evelin ke rumah sakit, tapi Jenny bilang tidak perlu ke rumah sakit karena obat-obatan Evelin ada di rumahnya.     

Daisy tidak tahu apa yang sedang Evelin alami, tapi melihat batuk berdarah itu membuatnya berpikir bahwa calon Ibu mertuanya itu sakit keras dan Jeremy belum mengatakan apa pun.     

Sampai rumahnya, Jenny membiarkan Evelin terbaring di sofa ruang keluarga. Ia langsung di tangani oleh Jico juga Jenny. Yang tadinya mereka terlihat panik, kini wajah panik itu menghilang ketika mereka mengobati Evelin.     

Evelin menatap Daisy dengan senyuman yang sekali pun tidak memudarkan kecantikannya. Tapi Daisy merasa khawatir karena ia tidak tahu apa-apa tentang Evelin.     

"Tante nggak apa-apa, Dai. Tadi itu yah, batuk biasa dan sudah sering terjadi. Tante cuma butuh rebahan seperti ini," jelas Evelin.     

Walau begitu, Daisy tetap merasa khawatir. Entah yang dikatakan Evelin itu benar atau tidak, tapi pasti ada sesuatu di balik batuk berdarah itu yang mana mereka tidak mau membukanya pada Daisy.     

"Istirahat saja, Tante. Sebentar lagi Jeremy datang dan saya juga harus ke kantor," tutur Daisy mencoba tenang dan tersenyum.     

Evelin mengangguk dan Daisy berpindah dari ruang keluarga menuju ruang tamu di temani Jenny setelah ia menyelimuti Evelin.     

***     

Saat perjalanan menuju kantor, Daisy mencoba untuk tidak bertanya apa pun pada Jeremy mengenai Evelin. Jika memang mereka ingin menyembunyikan tentang Evelin, Daisy tidak masalah. Mungkin itu adalah permintaan Evelin dan Daisy mencoba menghormati keinginan itu.     

Tapi melihat wajah Jeremy yang menegang membuat Daisy tak bisa untuk menahan rasa penasarannya. Sepertinya Jeremy mendapat kabar dari Jenny perihal Ibunya sehingga membuat ekspresinya benar-benar terlihat khawatir.     

"Kami nggak tahu apa yang terjadi sama Mama," tiba-tiba Jeremy berkata seperti tahu apa yang Daisy katakan.     

Butuh beberapa detik untuk Daisy mencerna ucapan Jeremy. Sampai akhirnya wajahnya memandang Jeremy dengan tatapan lebih ingin tahu sekaligus terkejut.     

"Tunggu, maksudmu, sejak Mamamu batuk berdarah, kalian nggak pernah memeriksanya?" tanya Daisy.     

Jeremy mengangguk tanpa melihat ke arah Daisy. "Mama nggak ingin pergi ke dokter untuk periksa. Ia sangat keras kepala, Daisy. Untuk itu kami hanya membeli obat-obatan khusus yang sedang ia derita saat ini. Yah, walau obat itu bekerja sangat baik padanya, tapi kami cukup mengkhawatirkannya," jelasnya.     

Daisy mengangguk. Ia pun sama halnya khawatir seperti saat tadi. "Aku juga merasakan hal yang sama, Jer. Aku pikir aku yang nggak tahu apa-apa, ternyata kalian sama halnya. Hanya saja kalian sudah cukup bisa menanganinya dari pada aku yang tercengang melihat beliau."     

"Bukan salahmu. Lagian, Mama nggak bilang apa pun, kan? Dia pasti bilang dia baik-baik saja, kan?" Jeremy memegang tangan Daisy dan mengusapnya.     

"Iya. Dia bilang dia baik-baik saja."     

"Dia selalu begitu, Daisy."     

Sampai kantor, Jeremy menawarkan diri untuk menunggunya sampai selesai kerja, tapi Daisy melarangnya dan memilih untuk nanti saja ia menghubungi Jeremy. Padahal hanya tinggal beberapa jam saja jam kantor akan selesai.     

Daisy masuk ke dalam ruangannya dan ia kembali mendapatkan sebuket cokelat lagi. Tidak perlu berpikir siapa yang mengirimkannya ketika pertama saja ia sudah mendapatkannya.     

Ditaruhnya buket cokelat itu di meja resepsionis dan menawarkannya pada Anita terserah mau diapakan. Daisy lebih penasaran bagaimana Zen bisa masuk ke dalam ruangannya di saat karyawannya saja tidak tahu menahu siapa yang masuk ke dalam ruangannya.     

Namun Daisy ingin membicarakan ini pada Raka. Dengannya ia bisa merasa lega. Jadi ia menuju ruangan Raka. Ketika Daisy melewati meja sekretaris Raka yang kosong, ia pun menaikkan satu alisnya dan bertanya dalam hati, 'ke mana dia?'     

Saat Daisy masuk ke dalam, ia melihat adegan yang tak senonoh. Gisel dengan tak sopan duduk di atas meja Raka dan menghadapnya. Walau pun Raka terlihat mengabaikannya, tetap saja ia tidak bisa tegas.     

"Hmm," Daisy berdeham dengan wajah datar.     

Gisel langsung turun dan mengancingi blazernya yang terbuka beberapa dan seperti mengatur bra-nya dengan normal. Entah apa yang ia tunjukkan pada Raka, tapi Daisy berpikir hal yang negatif telah terjadi.     

"Maaf, Bu. Saya permisi," ujar Gisel langsung keluar.     

Raka hanya diam dengan nafas yang sedang memburu. Daisy mendekat dan ia mengintip sekilas apa yang sedang Raka lakukan dengan satu tangannya di bawah meja.     

Daisy tidak bisa lagi terkejut karena dugaannya selalu mengatakan hal yang benar. Ia hanya menghela nafasnya dan duduk di kursi depan meja Raka.     

"Jadi, tadi itu apa? Bukan perselingkuhan?" tanya Daisy mengejek.     

"Aku dan dia memang nggak selingkuh, Dai. Tadi itu-"     

"Senggama secara nggak langsung? Gila ya, kamu? Kenapa baru sekarang, sih, aku merasa kamu berbeda, Raka? Kenapa nggak sebelum menikah?" potong Daisy kesal dengan pertanyaan yang mencerca Raka.     

Raka meraih tisu dan mengusapnya. Kemudian ia menatap Daisy dengan tatapan yang tidak lagi merasa diintimidasi. Mungkin ia merasakan hal yang sama pada Daisy. Merasa bisa memercayainya walau kelihatannya Daisy kesal padanya.     

"Dai, Gisel itu ... memang menggodaku. Tapi aku nggak pernah bermain fisik dengannya. Hanya sebatas ... ini," katanya dengan menunjukkan tangannya, bekas ia pakai.     

Daisy berdecak dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah kenapa ia sudha terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Baginya, tidak Zen, tidak Raka, nyatanya sama saja. Daisy merasa kasihan pada Reina. Padahal kalau dipikir Reina lebih dari segalanya dari pada Gisel.     

"Sejak kapan? Apa karena ini kamu menerimanya sebagai sekretarismu?" tanya Daisy.     

Raka tidak menjawab langsung. Ia menegak air mineralnya dan kemudian ia mengangguk. "Sejak awal. Sebelumnya dia menawarkan diri padaku apa pun. Awalnya aku nggak mau, tapi kamu tahu, aku nggak bisa berhubungan dengan Reina sesering mungkin sejak ia hamil. Jadi ..."     

Ucapan Raka ia sengaja gantungkan karena tahu Daisy pasti paham maksudnya. Daisy hanya memijat-pijat pangkal hidungnya. Ia datang ke Raka untuk bercerita tentang Zen, tapi malah ia yang sekarang harus menghadapi masalah yang bahkan tidak ingin ia ketahui.     

"Kamu ... ada apa ke sini, Dai?" tanya Raka setelah mereka berdiam cukup lama.     

Daisy langsung berdiri dan niatnya untuk bercerita sudah hilang. "Nggak. Nggak jadi. Aku keluar saja"     

"Daisy ..." panggil Raka saat Daisy memegang gagang pintu. Daisy menoleh padanya dan menunggu Raka mengatakan sesuatu.     

"Kamu nggak akan bilang ini pada Reina, kan?"     

"Nggak sampai kamu benar-benar berhenti melakukan hal itu," jawab Daisy dan ia pun keluar dari ruangan Raka.     

Saat melewati meja Gisel, Daisy menatapnya sebentar lalu ia pun melanjutkan langkahnya. Tangannya mengepal secara tak sengaja sampai ia sadar saat ia sudah di ruangannya, tangan itu masih terkepal.     

Daisy duduk diam di kursinya. Pikirannya kembali teringat dengan hal yang baru saja terjadi. Walau ia tidak melihatnya langsung, tapi ia tahu apa yang terjadi. Semua itu kembali mengingatkannya pada Zen dan wanita-wanita lain, termasuk pada Rosi.     

Dari pada ia merasakan pusing hanya karena ulah Raka, Daisy memutuskan meninggalkan kantor. Padahal ia baru saja sampai dan rasanya juga tidak mungkin jika ia menghubungi Jeremy menjemputnya. Jadi Daisy memakai mobilnya saja yang kebetulan masih di kantor dan belum ia pakai.     

Daisy mengirimi pesan kepada Jeremy sebelum ia mengendarai mobilnya. Memberitahunya bahwa ia memilih pulang lebih awal dengan alasan yang juga ia katakan tentang Raka. Jadi, jika ingin bertemu lebih baik langsung di rumahnya saja.     

"Loh, Dai ... sudah pulang? Cepat banget," sambut Ama.     

"Hmm, iya. Ada kejadian di kantor, Am. Dari pada aku pusing, mending aku pulang saja. Ah, bahkan di rumah saja aku masih memikirkannya."     

"Emang ada apa? Ceritalah. Sudah lama juga kita nggak ngobrol, kan?     

Daisy memandang Ama, mereka memang sudah lama tidak mengobrol sejak kesibukannya masing-masing. Mengingat Ama adalah teman dekatnya dan bisa dipercaya, ia pun menceritakan semuanya pada Ama.     

"Ih, gila! Bisa begitu? Kasihan si Reina, ya? Eh, tapi kalau dipikir-pikir, ini kan juga karma untuk si Reina. Dulu dia kayak bagaimana kan, ke Raka. Diam-diam bermain sama Raja. Bisa jadi kan, Dai?" respons Ama.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.