BOSSY BOSS

Chapter 144 - Can We Do It Tonight?



Chapter 144 - Can We Do It Tonight?

0Sulit bagi mengiyakan ucapan Ama perihal karma untuk Reina. Di satu sisi ia setuju, tapi di sisi lain Daisy juga merasakan kasihan pada Reina. Kenapa ia harus mendapatkan karmanya saat masa kehamilannya.     
0

"Hmm, ya sih. Tapi aku yang nggak tega. Kalau aku menyembunyikannya, bukannya sama saja aku mendukungnya?"     

Ama menggelengkan kepalanya. "Ya nggak mendukungnya begitu, Dai. Maksud kamu juga pasti baik kan, karena nggak mau bikin mereka bertengkar. Iya, kan?"     

Daisy mengangguk-anggukkan kepalanya dan ia bersandar di sofanya. Meluruskan kakinya dan sejenak terbaring menatap langit-langit ruang tamu. Ia menghela nafasnya.     

"Aku tidur sebentar ya, Am. Kalau ada Jeremy, tolong bangunin aku," pesannya.     

"Eh, nggak di kamar saja?"     

"Nggak. Di luar adem."     

Daisy memejamkan matanya dan ia mulai tidur dengan nyenyak tanpa merasakan apa pun di sekitarnya.     

***     

Ama menyuruh Jeremy untuk menunggu di halaman belakang saja sambil mereka mengobrol. Tadinya Ama ingin membangunkan Daisy, tapi melihat Daisy mendengkur seperti itu, ia mengurungkan niatnya. Jeremy pun juga setuju untuk tidak membangunkannya. Tapi ia tetap akan menunggu Daisy hingga sadar.     

"Sebenarnya aku juga mau kasih kamu undangan ini," ujar Jeremy pada Ama. Jeremy memberikan sebuah undangan pernikahan yang bertuliskan dirinya dengan Daisy.     

Ama terkejut ketika menerimanya. Sementara yang ia tahu Jeremy belum mengatakan rencana menikah dengan Daisy pada keluarganya Daisy. Jadi, ia pun bertanya, "loh, bukannya kamu belum bicara sama keluarganya Daisy?"     

"Udah kok, Am. Aku mengurus semuanya. Yah, sebenarnya sebelum aku melamar Daisy. Mereka semua setuju dengan konsepku. Bahkan mereka juga memberi beberapa ide padaku," jelas Jeremy.     

Ama menutup bibirnya. Ia masih terkagum-kagum dengan cara Jeremy yang benar-benar tidak pernah ia duga. Menyiapkan semuanya demi pasangannya tidak perlu merasa repot. Padahal Ama tahu Daisy mungkin akan lebih suka jika ia terlibat dalam persiapan pernikahan mereka.     

"Lalu, bagaimana kamu mengatakan ini pada Daisy?"     

"Mudah. Tinggal bilang saja, kan?"     

Benar juga, batin Ama.     

Lalu Ama melihat kehadiran Daisy yang baru saja bangun tidur. Ia pun langsung meninggalkan Jeremy dan Daisy agar mereka memiliki waktu yang lebih untuk mereka berdua.     

Daisy duduk di tempat di mana Ama baru saja duduk. Ia menatap Jeremy sejenak dengan pandangan setengah mengantuk dan nyawa yang belum terkumpul banyak.     

Jeremy terkekeh geli menatap Daisy. Begitu lucu dan manis di matanya. Lalu Jeremy melihat mata Daisy yang menatap ke arah undangan yang tergeletak di meja.     

"Undangan ... kita?" tanya Daisy baru sadar. Ia langsung memegang undangan itu dan membolak-balikkan untuk melihat dengan jelas. Namanya dan Jeremy terpampang jelas di kover pertama. Undangan yang tercetak sangat elegan dan berkelas.     

"Iya, Sayang. Kejutan untukmu," jawab Jeremy.     

"Jer ... bukannya ini berlebihan? Maksudku, memang berapa tamu yang hadir? Undanganmu terlalu mewah."     

"Yah, nggak banyak, sih. Tapi aku mau semua terlihat mewah walau sederhana. Kamu mengerti maksudku, kan?"     

Daisy mengangguk mengerti. Tentu ia tidak bisa marah pada Jeremy. Semua yang Jeremy lakukan untuknya sudah lebih dari cukup walau Jeremy terus menerus memberikan lebih dan lebih.     

Ia memeluk Jeremy dan mencium keningnya. Ini pertama kali bagi Daisy mencium kening laki-laki. Padahal biasanya kebalikannya. Tapi Jeremy sendiri sudah sering mencium kening Daisy, dan kini Daisy ingin memberikan kasih sayangnya dalam bentuk lain.     

"Makasih, ya. Kamu baik banget sama aku tahu, nggak?" ucap Daisy terharu dengan senyumnya. Ia sudah berpindah ke pangkuan Jeremy saat mencium kening Jeremy. Melingkarkan kedua tangannya di leher Jeremy.     

"Buat kamu, buat kita dan buat keluarga kecil kita, apa yang nggak sih, Dai?"     

Daisy mengusap-usap rambut Jeremy dan tertawa kecil. Ia memberikan kecupan singkat pada pipi Jeremy dan berusaha berdiri dengan perutnya yang semakin berat setiap harinya.     

"Apa kamu udah makan?" tanya Daisy menatapnya.     

"Belum. Aku malah mau ajak kamu makan sebenarnya. Kita makan di luar?"     

Daisy mengangguk setuju. "Keberatan nggak kalau sesekali ajak Ama?"     

"Nggak, Daisy. Silakan ajak dia. Kita juga nggak pernah kan, keluar bertiga. Lagian, Ama bukan teman yang buruk untuk di ajak berkumpul."     

"Oke. Tunggu, ya. Aku bujuk dia dulu."     

Daisy menuju kamar Ama dan Jeremy menuju ruang tamu. Sedikit memerlukan waktu bagi Daisy untuk membujuk Ama karena tadinya Ama tidak mau lantaran ia tidak ingin menjadi pengganggu atau nyamuk di antara mereka. Tapi Daisy berkeras menginginkan dirinya untuk ikut sesekali sekalian refreshing. Akhirnya Ama menyerah dan ia pun bersiap-siap.     

"Jadi, bagaimana soal Raka?" tanya Jeremy di dalam mobil.     

"Aku nggak tahu. Kubiarkan sajalah dari pada aku ikut campur dan bikin suasana jadi panas," jawab Daisy.     

"Tapi, Dai, aku yakin kamu pasti bakal keingat terus kalau kamu nggak lapor ke Reina," timpal Ama.     

Daisy menggelengkan kepalanya. "Aku bertekad bulat nggak mau mencampuri urusan mereka, Am. Dulu mereka memang ikut campur urusanku dengan Raja, tapi aku nggak ingin seakan aku balas dendam."     

"Ya, kalau sudah bulat tekadmu, terserah kamu ajalah, Dai. Tapi semoga ini langkah baik, ya."     

Daisy hanya mengangguk untuk merespons ucapan Ama. Tapi pikirannya masih berpikir tentang adegan itu. Ia tahu bagaimana perasaan Reina nantinya jika mengetahui perbuatan suaminya. Tapi Daisy juga tahu seperti apa karma bekerja. Mungkin, jika ia tidak melapor pada Reina, kelak Reina akan mengetahuinya dengan sendirinya.     

Sampai restoran, ketiganya memesan makanan dan setelah itu menunggu sampai tersaji sambil mengobrol sebentar.     

Namun rupanya ketenangan Daisy tidak sampai situ. Ia melihat Zen datang, masuk ke restoran yang sama dengannya. Ia datang dengan seorang laki-laki yang Daisy pikir adalah kliennya. Daisy berharap Zen tidak melihatnya atau bahkan menyapanya.     

"Ada Zen," bisik Daisy pada Jeremy dan Ama.     

Mereka langsung menoleh ke arah yang sudah Daisy sebutkan. Hanya Jeremy-lah yang bersikap wajar.     

"Dia nggak akan lihat kamu, aku yakin," kata Ama meyakinkan.     

"Semoga aja."     

"Lihat juga nggak apa-apa. Ada aku ini," ucap Jeremy tiba-tiba.     

Daisy tahu bahwa Jeremy masih merasa terganggu dengan Zen walau ia tidak menampakkannya. Apalagi terakhir kali mereka saling bertemu, itu pun saat Daisy hampir saja disakiti Zen.     

"Jeremy, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Daisy memegang tangannya.     

"Nggak. Aku nggak apa-apa. Cuma aku ingin menghadapinya aja kalau dia memang melihat kita."     

Daisy berusaha bersikap biasa walau ia sedikit gugup. Ia tidak ingin bertemu Zen secara langsung. Melihatnya saja membuatnya sedikit merasa kenyang. Apalagi akhir-akhir ini Zen sering sekali mengirim buket cokelat kepadanya.     

Makanan datang dan mereka mulai menikmatinya. Semua bersikap normal kecuali Daisy yang benar-benar seperti ingin sembunyi dari Zen. Tapi ia berusaha menikmati makanannya.     

"Tenanglah, Dai. Jangan merasa takut seperti itu. Ada aku, bahkan ada Ama," ucap Jeremy.     

"Aku ... Memori itu seperti balik. Maaf membuat kalian nggak nyaman makan denganku," kata Daisy.     

"Makan aja, Dai. Bersikap normal aja, oke? Coba tarik dan buang nafas. Perlahan," ide Ama.     

Daisy benar-benar mengatur nafasnya dan ia sedikit rileks. Lalu ia mulai mencoba menikmati makanannya lagi dengan santai.     

Akhirnya Daisy berhasil masuk ke dalam mobil ketika ia keluar dari restoran. Bahkan Zen tidak melihatnya dan ia merasa lega. Jeremy menyuruhnya untuk masuk duluan bersama Ama sementara ia sedang membayar tagihan.     

Bagi Daisy, akhir-akhir ini ia merasa tidak bisa merasa tenang. Walau bukan hal yang perlu ia pikirkan, tapi nyatanya cukup membuatnya merasa stres. Padahal ia tak boleh stres atau merasa lelah akan stres itu sendiri. Sayangnya memang begitulah Daisy, ia terlalu berpikir banyak hal tanpa peduli dengan fisiknya.     

"Dai, kenapa sih, setakut itu? Nggak kayak biasanya," tanya Ama.     

Memang Daisy tidak seperti biasanya. Ia mencoba menghindari apa pun yang berhubungan dengan Zen langsung sampai laki-laki itu merasa lelah mengejarnya.     

"Tolong jangan bilang ke Jeremy ... Zen kirim buket cokelat setiap hari ke kantorku. Aku nggak tahu bagaimana dia masuk, atau dia menyuruh seseorang, aku merasa risi, Am."     

"Udah cek CCTV?"     

"Udah. Sayangnya nggak ada apa pun di sana. Maksudku, nggak ada yang masuk ke ruanganku. Entah lewat mana, yang jelas dia tahu lokasi tersembunyi agar nggak ketahuan CCTV," jelas Daisy.     

"Duh, si Zen kayak jadi obsesi banget ya, sama kamu? Padahal kalian kan, udah pisah. Harusnya dia kejar kamu dan pertahanin kamu sebelum bercerai."     

Daisy mengedikkan bahunya. "Entahlah. Tapi aku nggak mau kembali padanya. Sedikit pun."     

"Lagian kalau kembali pun, memangnya gampang? Nggak, kan? Tapi ya, syukur deh kalau kamu nggak mau kembali."     

Daisy mengangguk dan menghentikan obrolan mereka karena Jeremy akan masuk ke dalam mobil.     

"Kok lama?" tanya Daisy.     

"Beruntunglah bukan kamu yang bertemu Zen. Tapi aku bertemu dengannya tepat saat aku membayar tagihan," kata Jeremy.     

Jeremy langsung menyalakan mobil dsn meninggalkan restoran sebelum Zen keluar menuju parkiran.     

"Apa kalian bertengkar?" tanya Daisy lagi.     

"Untungnya nggak. Aku juga nggak mau melayani omong kosongnya."     

Mendengar itu Daisy merasa lega. Ia pun bersandar pada kursi mobil dan menatap luar jendela.     

Tak terasa mereka sudah sampai rumah. Daisy yang kerap kali tertidur akhirnya dibangunkan oleh Jeremy dengan guncangan yang pelan. Ama sudah turun lebih awal untuk membuka pintu rumah.     

"Eh, aku ketiduran lagi, ya?" tanyanya seraya menutup wajahnya setengah karena merasa malu.     

"Sepertinya bawaan kehamilanmu, ya?" tanya Jeremy merasa geli.     

"Sepertinya begitu. Duh, aku jadi malu, Jer. Maaf, ya aku—"     

Satu kecupan mendarat di bibir Daisy. Jeremy menyapunya dengan lembut. Daisy yang awalnya terkejut pun membalas ciuman itu menjadi sebuah nafsu yang tinggi.     

Namun Jeremy melepaskannya ketika ia benar-benar merasa tinggi juga. Jeremy ingin mengontrol birahinya. Apalagi mereka ada di mobil, di depan rumah Daisy yang mana ada Ama di dalamnya.     

"Kita harus masuk sebelum Ama keluar dan melihat kita," ucap Jeremy dengan suara seraknya.     

"Apa ... Kita bisa melakukannya? Nanti malam? Maksudku, sekalian kamu menginap di sini," tanya Daisy malu-malu sebelum mereka keluar dari mobil.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.