BOSSY BOSS

Chapter 145 - Kidnapped By Ex Husband



Chapter 145 - Kidnapped By Ex Husband

0Bulan pernikahan Daisy dan Jeremy telah datang. Seminggu lagi mereka akan melangsungkan pemberkatan dan pesta tentunya. Daisy juga lebih sering berada di rumah orang tuanya untuk persiapan dan segalanya. Selama seminggu ini juga ia dan Jeremy memutuskan untuk tidak saling bertemu sampai pemberkatan itu dimulai. Alasannya sederhana, keduanya ingin ketika hari itu datang, tentunya rindu yang memuncak akan memperlihatkan satu sama lain dengan penampilan yang hanya akan dilihat sekali seumur hidup.     
0

Daisy lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan terkadang keluar bersama Reina. Daisy dan Raka masih saling diam ketika mereka hanya sedang berdua, sementara jika berkumpul, keduanya berusaha untuk terlibat dalam obrolan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Sebab Daisy masih sering kali teringat akan hal yang Raka lakukan di belakang Reina.     

Baginya, itu sama saja selingkuh.     

Jadwal hari ini adalah Reina menginginkan Daisy melakukan perawatan diri di salon selama seminggu penuh. Mau tidak mau, Daisy mengiyakan perintah Reina karena ia senang membuat Reina sibuk dari pada merasa sedih setiap hari karena Raka.     

Sampai mal, Reina tiba-tiba berhenti, "Daisy, aku ke toilet dulu. Kamu mau ke toilet, nggak?"     

"Kamu saja, Rei. Aku tunggu di sini," jawab Daisy seraya duduk di bangku yang tersedia di mal yang tak jauh dari toilet.     

"Oke. Sebentar, ya. Aku kebelet."     

Daisy melihat kepergian Reina lalu ia menatap sekelilingnya seraya memeriksa ponselnya. Lalu tiba-tiba ia merasakan seseorang duduk di sisinya. Tubuh yang tegap dan lebih tinggi darinya. Daisy terkejut.     

"Zen?"     

"Ikuti aku atau Reina akan terluka," ancam Zen seraya menunjukkan dua anak buah Zen yang Daisy kenal ada di depan toilet wanita.     

Tanpa perlawanan dan mau tidak mau, Daisy pun mengikuti Zen dengan tangan Zen yang merangkul pinggang Daisy. Ia membawa Daisy menjauh menuju parkiran mal. Memasuki Daisy ke dalam mobilnya dan mengunci semua akses pintu mobil.     

Nafas Daisy tersengal-sengal. Sebelum Zen menyalakan mobilnya, ia meraih tas Daisy dan mengeluarkan isinya, terutama ponselnya. Ia matikan dan ia lempar ke belakang tepatnya ke kursi penumpang.     

Zen pun menyalakan mobilnya dan meninggalkan mal dengan kecepatan sedang tanpa menimbulkan kecurigaan.     

"Kita mau ke mana?" tanya Daisy saat mereka sudah keluar dari bangunan mal.     

"Ke tempat di mana nggak ada yang menemukan kamu."     

"Zen! Apa sih, mau kamu? Nggak bisakah kamu melihat aku tenang?" tanya Daisy dengan suara bergetar.     

Zen tidak menjawab pertanyaan Daisy. Ia hanya menatap Daisy sekilas dan tetap mengendarai mobilnya dalam fokus yang ia miliki.     

"Kamu tahu kan, Raka dan Jeremy akan menemukan aku?" tanya Daisy seketika dengan bermaksud menakuti Zen.     

Yang ditanya hanya tertawa dengan kekehan mengejek. Tapi kemudian air mukanya berubah menjadi lebih serius. "Aku meragukannya, Daisy. Kamu pikir, aku nggak tahu seminggu lagi kamu akan menikah? Untuk yang ketiga kalinya?"     

Ada nada seperti mencemoohnya, namun Daisy berusaha mengatur nafasnya. Ia hampir lupa bahwa Zen cepat atau lambat akan mengetahui semuanya. Perlahan-lahan Daisy berharap orang di rumah termasuk Jeremy segera menemukannya. Ia tahu bahkan saat ini Reina pasti kalang kabut mencarinya ke berbagai toko di mal, atau bisa jadi langsung melapor pada sekuriti.     

Saat mobil memasuki sebuah bandara, Daisy membelalakkan matanya dan menatap Zen. "Bandara? Apa kita akan pergi dari kota ini?"     

"Kamu akan tahu," ujar Zen. "Seperti tadi, jangan berontak, atau keluargamu dalam bahaya," ancamnya sekali lagi.     

Daisy tidak tahu apa yang Zen rencanakan pada keluarganya jika ia berontak, tapi Daisy tahu bahwa ucapan Zen itu bukan sekadar ancaman omong kosong. Jadi, Daisy benar-benar tak punya pilihan lain selain pasrah dan menahan tangisannya ketika sampai di bandara.     

Daisy benar-benar diam dan tak berbicara sama sekali ketika ia berada di dalam pesawat. Apalagi mengetahui pesawat itu hanya berisikan petugas dan dirinya juga Zen serta para anak buahnya. Ditanya pun atau diajak bicara Daisy memilih diam. Ia tidak ingin terjadi sesuatu pada anaknya jika ia terlalu stres.     

"Ini susu untuk kehamilanmu. Aku tahu kamu minum susu ini di jam sekarang," kata Zen memberikan segelas susu putih untuk Ibu hamil.     

Daisy menerimanya dan meneguknya sampai habis. Setelah itu ia kembali menaruhnya dan menatap jendela pesawat. Matanya memandang nanar kota yang telah ia tinggalkan dengan mantan suaminya yang tidak tahu diri.     

Air matanya jatuh dan buru-buru Daisy mengusapnya. Seperti sudah lelah merasa sedih, Daisy berusaha tegar.     

"Halo, Nona Daisy," suara yang Daisy sangat kenal dan sudah lama sekali tidak ia lihat, membuat kepalanya menoleh.     

Tino kini berada di sisinya yang menggantikan posisi Zen. Ia tersenyum menatap Daisy. Dan Daisy membalas senyumannya. "Hai, Tino. Lama tidak berjumpa," balas Daisy.     

"Saya harap Anda menikmati perjalanan ini, Nona."     

Daisy membenarkan posisinya dan menatap ke arah depan juga ke belakang di mana ia tidak melihat Zen di kedua tempat itu. Lalu Daisy menatap Tino kembali.     

"Sebenarnya, kita akan ke mana, Tino?" tanya Daisy.     

"Apakah Bos nggak memberani tahu Anda?"     

Daisy menggelengkan kepalanya. "Tino, ini namanya penculikan. Bagaimana bisa ia melakukan ini pada saya?"     

Tino berdeham dan menatap kembali Daisy. "Nona, Anda perlu tahu sesuatu. Bos membuat semua aparat bekerja sama dengan beliau. Jadi, jika ada yang melaporkan hilangnya Anda, nggak ada aparat yang mau membantu. Karena mereka sudah dibayar oleh Bos."     

Daisy memejamkan matanya dan menatap langit-langit awal. Seharusnya ia tahu dari awal semua ini. Percuma ia berharap seseorang menemukannya sementara anak buahnya memberitahu semua pekerjaan kotor Zen.     

"Saya harap Anda menikmatinya. Anda yang tahu bagaimana Bos bertindak. Dan Anda tahu sejak dulu, perasaan Bos nggak pernah berubah sedikit pun," timpal Tino lalu berdiri dan meninggalkan Daisy.     

Rasanya seluruh tubuh Daisy dialiri darah yang berdesir dan membuatnya tidak tenang. Kekuasaan Zen memang tidak ada yang mengalahkannya. Sekali pun ia terlihat biasa saja selama ini, ternyata di luar itu Zen menyiapkan semuanya secara sempurna. Selalu seperti itu.     

Akhirnya Daisy memilih tidur dan berharap bahwa semua ini adalah mimpi untuknya.     

***     

"Daisy? Bangun, Daisy."     

Guncangan pada sentuhan tubuhnya membuat Daisy membuka mata dan mengerjap-kerjapkan matanya berulang kali. Tubuhnya sudah terselimuti oleh selimut entah sejak kapan. Tapi yang membuat Daisy lebih terkejut adalah bahwa Zen sangat begitu dekat dengannya.     

Daisy menutup wajahnya dan berpikir bahwa semua ini ternyata bukan mimpi. Ini kenyataan yang sedang ia hadapi entah sejak kapan.     

Dilihatnya dari jendela bahwa mereka sudah sampai di bandara yang Daisy tidak tahu menahu di mana ia sekarang.     

"Sudah sampai," ucap Zen. Ia meraih selimut yang menutupi tubuh Daisy dan melipatnya lalu menaruhnya di atas.     

Zen mengulurkan tangannya untuk membantu Daisy berdiri, tapi Daisy mengabaikannya dan memilih untuk berdiri sendiri. Zen pun menarik tangannya kembali dan berjalan keluar agar Daisy mengikutinya.     

Saat menatap suasana luar pesawat, hari sudah malam. Semilir angin berhembus membuat Daisy bergidik dan mundur sebentar. Lalu refleks ia terkejut karena Zen memberikan kardigan rajut wanita padanya. Tanpa berterima kasih, Daisy menerimanya dan mengenakannya lalu ikut turun.     

Daisy tidak tahu di mana ia berada. Yang ia tahu seluruhnya dikelilingi lautan. Hanya ada satu rumah besar dengan penerangan yang menyala terang di rumah itu. Ia bahkan merasakan pasir pantai ketika ia turun. Dan Daisy sadar bahwa ia ada di satu pulau milik Zen. Pulau yang dulu pernah Zen katakan.     

Perlahan Daisy mengikuti Zen, sementara anak buahnya berada di belakang Daisy. Daisy menghela nafasnya saat ia sudah sampai depan rumah dengan penerangan serba putih itu.     

"Di sini kamu akan tinggal," katanya mengenalkan.     

Daisy berdecak. "Jadi, ini caramu membuatku terpenjara? Tahu aku nggak akan bisa meninggalkan rumah ini karena nggak ada akses selain pesawat atau helikopter?"     

Zen hanya diam. Ia mengendurkan dasinya dan melepas jasnya lalu menggulung kedua lengan panjangnya ke atas.     

"Kamu bisa tidur di kamar mana pun. Bahan makanan baik itu mentang atau matang semua ada di dapur," ujar Zen tanpa membalas ucapan Daisy.     

Zen lalu kembali ke luar rumah dan Daisy berbalik untuk menatapnya. "Kamu mau ke mana?" Zen berbalik dan menatap Daisy.     

"Ke kota. Beli keperluan untuk di rumah ini, untuk kamu." Zen langsung berbalik lagi sebelum Daisy menghentikannya. Daisy melihat kepergian Zen dengan speed boat bersama dua anak buahnya.     

Sekarang Daisy sendiri, untuk sementara. Ia menatap sekelilingnya dan menatap beberapa anak buah Zen yang menjaganya di lua pintu. Bahkan di setiap jendela mau pun pintu ada anak buah Zen. Daisy akhirnya memilih mengelilingi rumah itu.     

Daisy mencari-cari telepon rumah atau ponsel tapi ia tidak menemukannya sampai ia mendengus sadar. Tentu saja Zen tidak bodoh untuk menaruh benda itu di sini, pikirnya.     

Akhirnya Daisy memilih satu kamar yang berada di lantai bawah. Membuka pintunya dan melihat ranjang dengan ukuran king size berada di dalamnya. Lemari yang tertanam di dinding dan kamar mandi. Besar dan berlebihan, pikirnya.     

Daisy duduk di tepinya dan menghela nafas. Ia berbaring asal dan menatap langit-langit kamar rumah ini. Entah kenapa hatinya tidak begitu sedih, padahal seminggu lagi pernikahannya. Maksudnya, ia merasa sedih, tapi tidak terlalu atau menangis-nangis dengan meronta. Ia bingung dengan dirinya, apakah ini yang ia inginkan? Bersama Zen di dalam satu rumah dan satu pulau?     

Ketukan pintu membuat Daisy terbangun dengan susah payah dan ia melangkah untuk membukanya. Ternyata Tino, anak buah Zen.     

"Nona, apakah Anda mau makan? Saya bisa membuatkan makan malam untuk Anda," tanya Tino.     

"Ya, boleh. Kebetulan saya lapar."     

Tino tersenyum. "Kalau begitu, ayo, tunggu di meja makan, biar saya buatkans sesuatu."     

Daisy menutup pintu kamarnya dan menuju meja makan sementara Tino berada di dalam dapur. "Kamu tahu saya sedang nggak bisa berada di dalam dapur?" tanya Daisy.     

"Ya, tentu, Nona. Bos memberitahu saya bahwa Nona sejak hamil tidak bisa melakukan pekerjaan wanita. Mungkin bawaan hamil?"     

"Ah ... dia selalu tahu tentang aku, ya, Tino?" tanya Daisy menyadari bahwa Zen memang selangkah lebih maju dari siapa pun.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.