BOSSY BOSS

Chapter 146 - No Doubted!



Chapter 146 - No Doubted!

0"Benar, Nona," jawab Tino.     
0

Daisy menopang dagunya di meja makan dan menghela nafasnya entah untuk yang ke berapa kalinya. Ia menunggu Tino selesai membuat makan malam dan kemudian di tengah kebosanannya, ia sadar bahwa dirinya belum mandi.     

"Saya mandi dulu, Tino," ucap Daisy memberitahu.     

"Baik, Nona."     

Daisy masuk ke kamarnya dan mulai membersihkan diri. Ia bahkan tidak tahu sejak kapan Zen membelikan baju-baju Ibu hamil dan mengemasinya di koper. Rasanya Daisy sangat bodoh sekali karena meragukan segala kemampuan Zen selama ini.     

Pikir Daisy saat dulu, Zen hanya diam dan tidak akan bertindak jauh. Nyatanya, semua berbalikan. Jika dibanding Raka dan Jeremy dengan Zen, mereka tidak apa-apanya.     

Pancuran air hangat membuat tubuh Daisy merasa rileks setelah memikirkan semua. Rambutnya ia basahkan dengan panjang sepinggangnya. Sebentar ia memejamkan matanya dan mengulang kembali hari-hari terakhirnya dengan Jeremy, keluarganya dan temannya. Tidak ada tangisan, hanya perasaan kosong yang tidak tahu ia akan menyebutnya apa.     

Setelah selesai mandi, hanya dengan handuk menutupi setengah tubuhnya, Daisy mencari baju hamil yang nyaman di kopornya. Ia belum merapikan baju-baju itu ke lemari karena rasa malasnya. Lalu setelah ia mendapatkan pakaian itu, Daisy mulai mengaplikasikan skincare ke wajahnya dengan duduk di kursi meja cermin.     

"Kenapa kamu nggak terlihat sedih sama sekali, Daisy?" tanyanya pada cermin itu.     

"Apakah ini yang kamu mau selama ini? Lalu kenapa juga harus menggugat cerai saat itu?" tanyanya lagi.     

Daisy pun berdiri dan menatap cermin lemari yang memantulkan seluruh tubuhnya. Perutnya semakin membesar, sebentar lagi akan mendekati bulan kelahiran anaknya.     

Langkahnya perlahan keluar kamar dan sudah melihat Zen tengah sibuk mengatur barang-barang yang telah ia beli. Menata-natanya sesuai tempatnya. Sejenak Daisy terdiam memperhatikannya sebelum Zen sadar akan kehadirannya.     

Pikirnya, sejak kapan Zen peduli dengan pekerjaan rumah? Bahkans aat di apartemen saja, Daisy yang mengurusnya. Ya, walau Zen seorang yang rapi dan perfeksionis, tapi Daisy tidak pernah melihat Zen mengatur-atur segalanya dengan tangan kakinya sendiri.     

"Kamu sudah selesai memperhatikanku?" tiba-tiba Zen bertanya walau tidak melihat keberadaan Daisy.     

Daisy merasa tertangkap basah dan maju selangkah demi selangkah, mencoba bersikap normal dan tidak gugup karena ternyata Zen tahu sejak tadi ia memerhatikannya. Ia duduk di kursi meja makan yang sudah tersaji beberapa menu makanan ala masakan Tino.     

"Maaf, hanya menu itu yang ada di ide saya, Nona, untuk Ibu hamil," ujar Tino mengetahui masakannya dipandang Daisy dengan serius.     

"Ini lebih dari cukup. Terima kasih, Tino."     

Tino tersenyum dan kembali membantu Zen. Sementara Daisy mulai makan dengan lahap karena rasa laparnya. Diam-diam Zen tersenyum melirik tingkah Daisy.     

Tiba-tiba Zen duduk di hadapannya dan menatapnya. Daisy tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa Zen tetap tampan seperti dulu. Apalagi Zen mencukur rambutnya dan sedikit janggutnya tanpa meninggalkan semuanya. Dan tetap saja, jantung Daisy berdebar ketika ditatap seperti itu.     

"Maafkan aku harus melakukan ini," katanya pada Daisy saat matanya memandang piring Daisy yang sudah kosong.     

"Setelah ini apa yang akan kamu lakukan padaku, Zen?"     

"Memeriksa kandunganmu. Besok dokter kandungan akan datang dan aku akan menikahimu tentunya," ujar Zen dengan mudah.     

Daisy diam beberapa saat. Menikah dengan Zen? Pikirnya akan sulit untuk kembali dengan mantan istri atau suami, tapi ketika ia mendengar nada enteng dari bibir Zen, Daisy tahu bahwa Zen memang sudah menyiapkan semuanya.     

"Aku harap kamu nggak keberatan mengenai pernikahan kita," kata Zen.     

"Memangnya kamu menerima penolakan?" dengus Daisy. "Aku ngantuk, aku mau tidur," sambungnya lalu berdiri dan meninggalkan Zen.     

Sampai kamar, Daisy mengunci pintu kamarnya dan ia baru merasakan degupan jantungnya semakin kencang. Saking kencangnya, ia sampai harus menarik dan menghembuskan nafasnya.     

Barusan, yang ia dengar Zen akan kembali menikahinya. Entah dengan cara apa dan seperti apa, Daisy tidak tahu. Semilir angin yang masuk ke dalam kamarnya melewati balkon membuatnya menuju balkon dan duduk di sana. Bersandar dan meluruskan kakinya.     

Sepertinya Zen sengaja menyiapkan kursi panjang di setiap balkon kamar untuk Daisy. Berapa pun uang yang Zen keluarkan untuk Daisy, ia rela.     

"Ah, Tante Neva ... apakah dia tahu perbuatan anaknya?" tanyanya pada angin malam.     

"Tolong sampaikan maafku pada semua orang yang mencariku, angin," ucapnya dan ia pun mulai tertidur di kursi panjang berbantal itu.     

Zen berdecak karena ia mendapat laporan dari anak buahnya bahwa Daisy tengah tertidur di kursi balkon tanpa selimut atau jaket. Mau tidak mau, Zen pun akhirnya masuk ke dalam kamar Daisy dengan kunci cadangan yang bisa membuka semua kamar.     

Sebentar, Zen menatap seluruh kamar Daisy yang berantakan. Selama ini, yang ia kenal Daisy tidak pernah seberantakan ini. Karena kehamilannyalah Daisy terlihat seperti pemalas.     

Diturunkannya koper baju Daisy dan ia memindahkan Daisy dengan perlahan ke kasurnya. Daisy tidak bergerak sama sekali. Seperti sudah merasa lelah dan mendengkur di dalam tidurnya. Zen tersenyum dan ia mengecup keningnya.     

"Seandainya kamu tahu aku bukan seorang yang brengsek seperti dulu ..." lirih Zen menatapnya. Lalu ia merapikan kamar Daisy dan menata setiap pakaian baru milik Daisy yang ia belikan ke dalam lemari tanam.     

***     

Suara lagu James Blunt dengan judul You're Beautiful membangunkan Daisy dari tidurnya. Bahkan lagu itu nyaring keras dan benar-benar bisa Daisy dengar. Ketika ia melihat langit-langit kamarnya, ia sadar bahwa ada sepiker di atas sana berbentuk bulat.     

Daisy beranjak dan mengumpulkan nyawanya sejenak. Lalu tiba-tiba ia teringat bahwa semalam ia tidak tidur di ranjang, melainkan di kursi panjang balkon.     

Tapi tidak terlalu ia pikir panjang, Daisy pun langsung mandi.     

Lagu itu benar-benar terdengar sampai kamar mandi. Sepertinya Zen sengaja memutar lagu ini dan memang memasang setiap ruangan dengan sepiker, pikirnya.     

"Apa semalam kamu masuk kamarku?" tanya Daisy saat ia melihat Zen duduk di ruang tamu dengan laptopnya.     

Zen hanya berdeham dan fokus dengan laptopnya. "Kamu bisa masuk angin berada di luar. Jadi aku terpaksa."     

Daisy melipat tangannya di dadanya. Ia duduk di sofa depan Zen dan bersandar. Nafasnya sudah tersengal-sengal karena membawa beban. "Kapan dokter itu datang? Dokter wanita atau laki-laki?"     

"Dua jam lagi. Seorang wanita. Namanya Ester. Sebenarnya dia teman masa kuliahku tapi beda jurusan."     

"Apa kalian pernah ..."     

"Nggak pernah, Daisy. Dia punya kekasih dan setia. Bahkan sudah bertunangan sekarang," potong Zen. Ia lalu menutup laptopnya dan menaruhnya di meja.     

"Aku bosan. Apa aku nggak bisa punya hape atau laptop juga?"     

"Aku bisa kasih ke kamu, tapi tanpa internet dan kartu. Hanya akan berisikan mainan dan buku digital. Apa kamu mau?"     

Daisy mendengus kesal. "Nggak usah saja kalau begitu. Memangnya apa artinya hidup tanpa internet? Membosankan!" rengeknya.     

"Memangnya sebelum ada internet, apa yang kamu lakukan, Daisy?" tanya Zen mengejeknya.     

Daisy pun berdiri dan menuju luar rumah. Ia melirik tidak ada speed boat di sekitar rumah itu, padahal semalam ada. Dan ia berharap kemungkinan ia melarikan diri dengan speed boat itu ada, nyatanya kosong. Tidak ada apa pun selain deburan ombak tenang dengan angin yang sepadan.     

"Nggak ada apa pun untuk melarikan diri. Mereka akan datang atas perintahku, Daisy." Suara Zen muncul menjawab pikiran-pikiran Daisy.     

"Bukannya kamu suka pantai?" tanya Zen.     

"Bukan seperti ini yang aku suka, Zen. Pantai yang sesungguhnya dengan banyak pengunjung dan warung-warung bakar ikan, kemudian ada speed boatnya dan ya, semacam itu! Ini namanya penjara!" sentak Daisy.     

Daisy duduk di hamparan pasir putih. Terasa menyenangkan, menggelitik kakinya, namun ia juga merasa seperti dibunuh oleh tempat ini secara perlahan.     

Zen mengikutinya dan berada di sisinya.     

"Bagaimana jika anak ini lahir dan ia tumbuh besar di sini? Tidak ada siapa pun untuk berinteraksi," pikir Daisy seraya memandang laut.     

"Mudah saja. Kamu nggak perlu berontak setelah menikah denganku, lalu kita akan pindah ke tempat yang wajar. Tempat ini hanya untuk sementara, Daisy. Dan aku berusaha mengambil hatimu kembali."     

Secara langsung Zen mengutarakan tujuannya. Sebenarnya Daisy bisa saja berpura-pura bertingkah seolah ia menurut dan mencintai Zen, tapi tidak akan berhasil di depan Zen. Ia tahu seperti apa jika Daisy berpura-pura. Dan saat itu juga murka Zen akan lebih menakutkan dari apa pun.     

"Tante Neva ... apa dia tahu?" tanya Daisy."     

"Ya, tahu. Aku nggak mungkin menyembunyikan tentangmu darinya."     

"Apa tanggapannya kalau begitu?"     

Zen terkekeh sebentar dan menggaruk pangkal hidungnya. "Yah, dia marah besar sebenarnya. Khawatir akan kesehatanmu. Tapi aku meyakinkannya bahwa kamu akan baik-baik saja di tanganku."     

"Zen, kamu nggak ingat terakhir kali kita bertemu, kamu hampir membuatku terluka," sambar Daisy langsung, mengingatkannya.     

"Hampir. Tapi aku bahkan nggak berniat membuatmu terluka."     

Beberapa menit mereka terdiam dan membiarkan alam menggelitik jiwa-jiwa mereka dalam ketenangan. Daisy bisa merasakan kesenangan itu, walau hanya sementara karena sadar Zen masih di sisinya. Matanya bisa memandang Zen yang memejamkan matanya. Ketampanannya tidak memudar, rahang yang begitu terbentuk dan bentuk tubuh yang tak kalah bagusnya dengan Jeremy, membuat Daisy berdebar lagi.     

"Apa aku boleh tanya sesuatu?" tanya Zen sebelum ia membuka matanya.     

Cepat-cepat Daisy kembali menatap ombak lagi. "Apa?"     

"Apa kamu nggak merasa sedih? Waktu kamu diculik Alvon, bukannya kamu merasa takut dan benar-benar sedih?"     

Tanpa sadar, Daisy kembali teringat pada memori Alvon menculiknya dan sampai sekarang masih berada di balik jeruji besi itu. Menjadi seorang narapidana dengan hukuman mati atas permintaan Zen.     

"Aku sedih. Hanya saja, aku nggak menampakkannya," jawab Daisy akhirnya.     

"Wajahmu hanya memperlihatkan kebosanan, Daisy. Bukan kesedihan," koreksi Zen meneliti setiap jengkal wajah Daisy.     

Yang diperhatikan merasa malu dan tidak tahu harus bertingkah apa selain tetap memandang ombak. "Aku menutupinya. Itu caraku," Daisy membela dirinya.     

"Daisy ... kamu pikir aku nggak mengenal mantan istriku yang sebentar lagi akan menjadi istriku lagi? Kamu pikir aku nggak memperhatikan setiap gerakanmu?" tanya Zen lengkap.     

Sejujurnya memang itulah yang Daisy rasakan dan pikirkan. Ia tidak berpikir Zen akan mengetahui semuanya, sedalam yang lain mengetahui tentang dirinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.