BOSSY BOSS

Chapter 147 - Smarter Than You Think



Chapter 147 - Smarter Than You Think

0Dari jauh Daisy melihat speed boat yang mendekat. Hanya ada tiga orang dan semakin dekat semakin jelas. Dua anak buah Zen dan satu wanita yang Daisy duga adalah dokter Ester, seperti yang Zen katakan bahwa hari ini akan ada pemeriksaan kandungan dengan teman kuliahnya dulu.     
0

Daisy berdiri dan tanpa ia sadari, Zen membantunya, sebab pandangan mata Daisy tertuju pada speed boat itu.     

Ada senyuman hangat yang terpancar dari wajah Ester saat melihat Zen. Mereka saling berpelukan dan Daisy merasa terganggu dengan itu walau bagaimana pun. Zen melepaskan pelukan itu dan mengenalkan Ester pada Daisy.     

Balasan senyum Daisy berikan pada Ester. Selama ia mendapat perlakuan yang hangat, maka tidak ada salahnya bagi Daisy untuk membalasnya.     

"Wah, sepertinya anakmu laki-laki," terang Ester sebelum ia benar-benar memeriksa Daisy. Padahal mereka masih berada di luar rumah. Ester hanya melihat dari penampilannya saja.     

"Ah, dokter ... bagaimana bisa tahu?" tanya Daisy malu-malu.     

"Pertama, panggil aku Ester. Aku temannya Zen dan jangan pernah memanggil dokter, oke? Itu hanya gelarku ketika di rumah sakit," kata Ester dengan senyuman indah. "Dan, aku seorang dokter, Daisy, tentu saja aku tahu jenis kelamin anak dari Ibu hamil itu seperti apa."     

"Hmm, kalau begitu, sebaiknya kamu mulai memeriksanya, Ester," timpal Zen tak sabar.     

Zen mendahului mereka dan Daisy juga Ester mengikutinya dari belakang. Senyuman di bibir Ester benar-benar tak luput dari bibirnya. Membuat Daisy sedikit iri karena ia tidak bisa tersenyum dengan lega seperti itu sejak berada di rumah ini dengan Zen.     

Daisy langsung berbaring di atas ranjang. Ruangan yang ia masuki ternyata adalah ruangan yang penuh dengan alat-alat medis. Seperti sudah benar-benar lengkap tanpa merasa kurang. Matanya memandang ke segala arah sampai ia mendapati Zen yang tengah memerhatikannya.     

Ester sibuk memeriksa Daisy dengan diam dan sabar, sementara Daisy tidak ingin banyak bertanya. Ia hanya berpikir bahwa tempat ini sebentar lagi akan menjadi tempat di mana ia akan melahirkan. Walau pun Daisy tidak begitu paham dengan nama dari alat-alat medis tersebut, tapi cukup tahu beberapanya.     

"Oke, selesai. Kandunganmu jauh lebih sehat. Satu bulan lagi ya, kamu akan melahirkan," ujar Ester dengan ramah. Ia lalu menatap Zen seperti memberi kode yang hanya ingin dikatakannya berdua.     

"Terima kasih, Ester. Aku sudah siap untuk melahirkan anakku," balas Daisy.     

"Aku tahu. Semua Ibu hamil yang menanti kedatangan anaknya, akan selalu siap dengan segala risiko. Hmm ... apa kamu keberatan kalau memberiku ruang sebentar dengan Zen? Ada yang ingin aku bicarakan dengannya," jelas Ester.     

Daisy mengangguk ragu walau sebenarnya ia merasa penasaran. Pikiran-pikiran buruk membuatnya membayangkan hal yang tidak-tidak.     

Zen pun mengantar Daisy ke depan ruangan dan menutup pintu sebentar untuk berbicara dengan Daisy secara singkat.     

"Hanya bicara. Ingat, aku dan Ester nggak pernah terlibat dengan seks," ujar Zen memberi pengertian.     

Daisy mengedikkan bahunya. "Aku nggak masalah juga kalau kamu melakukannya dengannya, Zen." Ia pun langsung berbalik dan meninggalkan Zen menuju kamarnya. Zen hanya menatapnya dan kemudian masuk lagi ke dalam ruangan itu dengan pintu tertutup keras.     

Perlahan Daisy menghembuskan nafasnya. Duduk di kasurnya dengan kaki ia luruskan. Bibirnya bergerak-gerak menghirup dan menghembuskan nafas. Ia tidak akan percaya lagi dengan Zen kecuali mengenai keselamatannya. Sebab baginya, Zen yang dulu dan sekarang sama saja. Sama-sama gila seks walau kelihatannya sejak pertama kali Zen membawanya ke sini, Daisy tidak melihat tanda-tanda nafsu seks Zen dengan jelas.     

Ditatapnya deburan ombak seraya mengusap-usap perutnya. Daisy melihat Ester dan dua anak buah Zen kembali menyeberangi laut dengan speed boat. Sepertinya mereka sudah selesai, batinnya.     

Ketukan pintu kamar Daisy berbunyi. Ia membiarkan siapa pun yang mengetuknya untuk langsung masuk saja. Ternyata Zen-lah yang muncul dengan nampan berisikan susu yang seharusnya sudah waktunya Daisy minum.     

"Aku sekalian mau bicara," ujar Zen seraya menaruh susu itu di meja balkon.     

"Bicaralah."     

"Kemungkinan anakmu akan lahir cesar, Dai," kata Zen.     

Daisy langsung menoleh ke arah Zen. "Ester yang bilang? Kenapa dia nggak bilang ke aku langsung? Kenapa harus kalian berdua?" tanya Daisy mencercanya.     

Zen menggaruk pelipisnya dan membalas tatapan Daisy. "Dia cuma ingin aku yang mengatakannya ke kamu. Itu saja."     

Daisy berdecak kesal. Ia pun meraih susunya dan meneguknya sampai habis. Kemudian ia memberikan gelas kosong itu pada Zen dengan paksa. "Keluarlah, aku mau istirahat," ucapnya masih kesal.     

Zen pun akhirnya benar-benar keluar karena ia tidak ingin memaksakan Daisy setibanya di rumah ini. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia hanya akan memaksa Daisy untuk menurut padanya agar tidak perlu membahayakan keluarganya. Karena jika tidak, Zen tahu bahwa ia tidak akan berhenti untuk melukai keluarga Daisy jika ia tidak mendengarkannya.     

***     

"Ba-bagaimana, Raka? Apa sudah ada kabar dari polisi?" tanya Reina saat Raka dan Jeremy kembali dari kantor polisi.     

Jeremy menggeleng dalam diam sementara Raka-lah yang menjawabnya, "katanya polisi akan bantu mencari, tapi mereka terlihat seperti nggak ambisius."     

Reina merasa khawatir setelah mendengar itu. Sebab masalahnya Daisy menghilang ketika bersamanya dan ia merasa sangat bertanggung jawab lebih akan hilangnya Reina.     

"Maafkan aku, Jer. Aku nggak menjaga Daisy dengan baik," timpal Reina pada Jeremy.     

"Bukan salahmu, Rei. Kita tetap berusaha saja dan berdoa semoga Daisy segera ditemukan," balas Jeremy walau ia merasa sangat khawatir.     

Untuk sesaat Reina meninggalkan mereka. Lalu Raka menatap Jeremy yang hanya diam dengan kebisuan rasa cemas yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Raka menepuk-nepuk bahu Jeremy untuk memberikan kekuatan.     

"Kita akan menemukannya, Jer. Lo percaya itu, kan?"     

Jeremy hanya mengangguk dan memegang kepalanya frustrasi.     

Tadi, saat mereka berada di kantor polisi. Mereka menceritakan insiden Daisy menghilang dengan jelas yang hanya direspons oleh petugas polisi dengan tawaan dan candaan. Bahkan cara mereka yang katanya ingin menindaklanjuti dengan mengerahkan petugas untuk mencari Daisy pun terasa janggal.     

Jeremy berpikir seseorang telah bekerja sama dengan polisi, hanya saja ia belum mengatakan sepenuhnya pada Raka. Ia ingin menuntaskannya sendiri dengan maksud mencari tahu siapa dalangnya. Karena Jeremy punya satu tersangka yang selama ini pikirkan tentang hilangnya Daisy. Yaitu Zen.     

"Gue pulang dulu," pamit Jeremy berdiri.     

"Lo yakin?"     

"Iya. Gue akan cari tahu lagi. Kalau ada kabar sesuatu, langsung hubungi gue ya, Raka."     

Raka mengangguk dan menatap kepergian Jeremy yang meninggalkan rumahnya. Ia pun langsung masuk ke dalam dan melihat Weiske sedang menangis-nangis karena tahu tak ada kabar dari Daisy.     

Ia mendekat ke sofa di mana Weiske sedang berada dalam pelukan Reina yang menangis sejadi-jadinya.     

Disentuhnya pundak Weiske dan diusapnya dengan perlahan. "Kita akan terus berusaha, Bu," kata Raka.     

"Apa kamu sudah mencari tahu lewat Zen?" tanya Weiske dengan isaknya.     

Raka menaikkan satu alisnya. Mendengar nama Zen, ia seakan lupa dan bodoh satu hal. Selama ini Zen mengejar Daisy dengan alibi masih cinta. Tapi berpikir bahwa Zen-lah yang menculiknya membuatnya juga berpikir tidak mungkin.     

"Maksud Ibu, Zen yang menculiknya?" tanya Raka menelan ludahnya.     

Weiske mengangguk. "Dia pernah menculik Daisy hingga menjadikannya istri, siapa tahu dia jugalah yang menculiknya saat ini, Raka."     

Ketegangan pada tubuh Raka seketika naik kembali. Ia dan Jeremy memang belum mencari tahu lewat Zen. Berpikir dan menuduhnya saja tidak terpikirkan olehnya. Tapi tidak ada salahnya bagi Raka mencari tahu tentang itu.     

"Aku pergi," kata Raka kemudian.     

Reina menyusul Raka hingga sampai depan pintu. "Raka!" panggilnya. Keduanya masih terlibat dengan masalah mereka sendiri namun keduanya juga berusaha menepiskannya dulu karena harus bekerja sama untuk menemukan Daisy.     

"Jangan terlalu larut," pinta Reina dengan suara bergetar.     

Raka mengusap rambut Reina dan kemudian dengan cepat ia mencium bibir Reina. Bibir yang sudah lama tidak ia sentuh karena merasa bersalah dengan Reina atas perbuatannya.     

"Aku nggak akan pulang malam. Kamu perhatikan Ibu, oke?"     

Reina mengangguk dan melepas kepergian Raka dengan wajah cukup berseri. Baginya, setidaknya ada celah untuk memperbaiki hubungan mereka.     

Saat sampai apartemen Zen, ia mengetuk keras-keras pintu itu tanpa perasaan ramah sekali pun. Walau cukup lama dibuka, namun akhirnya pintu itu terbuka dan menampakkan laki-laki yang dipikir Weiske adalah dalang dari hilangnya Daisy.     

Wajah Raka berubah menjadi terkejut. Ia pikir ia tidak akan menemukan Zen di sini, atau setidaknya pintu apartemennya tidak terbuka. Namun ia salah, bahkan Zen-lah yang membuka pintu itu dengan tubuh setengah telanjang. Zen hanya mengenakan celana panjang saja dengan kancingnya sedikit terbuka.     

Wajah Zen terlihat memerah dan ada banyak keringat di tubuhnya. Ia memandang Raka dengan tatapan datarnya.     

"Kembarannya suami Daisy? Raka? Kalau nggaks salah?" tanya Zen kemudian.     

"Benar. Dari mana kamu tahu?" tanya Raka merasakan ketegangan pada dirinya.     

Zen tertawa kecil. Ia membuka pintu apartemennya lebar dan tak sengaja Raka melihat wanita setengah telanjang tengah terbaring di sofa dengan berbalut selimut.     

"Well, sebaiknya kamu tanya Daisy langsung."     

"Daisy hilang," kata Raka kaku.     

Zen diam sebentar. Lalu alisnya bertautan dan menatap Raka dengan serius. "Hilang? Maksudmu apa, Raka?"     

Mendengar nada terkejut dari Zen, Raka bisa tahu bahwa Zen tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan sepertinya bukan Zen-lah yang menculik Daisy. Apalagi mata kepalanya sendiri melihat bahwa ia baru saja bercinta dengan wanita lain.     

"Jadi kamu nggak tahu Daisy menghilang?"     

"Katakan saja dengan lugas, Raka. Apa maksudmu?"     

Pertama, Raka menarik nafasnya. Ia sebenarnya tidak ingin mengatakan ini ketika mengetahui bahwa Zen ternyata ada di apartemennya dengan wanita lain. Kedua, jika ia tidak bicara, maka pikirnya Zen akan mencari tahu sendiri dan berbuat seenaknya.     

"Daisy hilang. Ia diculik seseorang," jelas Raka singkat.     

"Kamu yakin? Bagaimana bisa ia hilang? Lalu atas dasar apa kamu datang ke sini, hah?" cerca Zen.     

"Ibunya Daisy yakin kamulah yang menculik Daisy mengingat dulu kamu juga menculiknya untuk kemudian menikahinya," jawab Raka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.