BOSSY BOSS

Chapter 148 - The Smells



Chapter 148 - The Smells

0"Ah, Bu Weiske … dia memang selalu menuduhku untuk hal-hal buruk yang berhubungan dengan Daisy. Tapi aku nggak masalah karena itu wajar. Hanya saja, tolong beritahu beliau bahwa aku di sini dengan wanita bayaran sedang bercumbu. Kamu bahkan menggangguku, Raka," jelas Zen mulai kesal.     
0

Raka menelan ludahnya karena ia memang merasa mengganggunya.     

"Apa kamu nggak khawatir dengan hilangnya Daisy?" tanya Raka memancing.     

"Aku akan menemukannya. Sekarang pergilah dari apartemenku!" usir Zen mulai merasa emosi. Ia pun menutup pintunya dengan kasar dan tersenyum licik kemudian.     

Zen berbalik dan kembali kepada wanita itu. Ditatapnya wanita setengah sadar itu karena merasa lelah dan basah oleh keringat. Pikirannya terngiang-ngiang dengan ucapannya pada Daisy yang mengatakan bahwa dirinya sudah berubah total.     

Zen bahkan sudah membohongi Daisy atas keegoisannya demi mendapatkannya. Walau rasa cintanya membesar, tapi Zen belum bisa benar-benar berhenti untuk melakukan seks dengan wanita demi memuaskan nafsunya. Setidaknya sampai Daisy bisa benar-benar kembali seutuhnya padanya.     

"Dia mencari Daisy?" tanya wanita itu dengan parau.     

"Hmm ... apa sebaiknya kita menyelesaikan yang belum selesai?" gumam Zen mengecup tubuh wanita itu dengan hasrat.     

Tanpa jawaban, wanita itu berdiri dan melepas celana Zen. Mendorongnya ke sofa hingga ia terduduk dan naik ke atas pangkuan Zen. "Tentu. Aku nggak rela jika kita nggak menyelesaikannya."     

"Sial, Ester!" erang Zen memegang kedua pinggangnya.     

***     

Daisy mondar-mandir di rumahnya dengan kecemasan dan rasa panik yang tak biasa ia rasakan. Entah kenapa gemuruh dalam dadanya begitu kuat merasakan sesuatu sedang tak baik. Sayangnya ia tidak bisa bertanya pada siapa pun. Bahkan Tino sekali pun.     

Kecemasan itu terjadi saat dirinya terbangun di pagi hari, ia tidak melihat Zen di rumah. Kamarnya kosong dan terkesan rapi. Tidak ada catatan atau pesan untuknya. Padahal ia mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak perlu memikirkan Zen.     

Kemudian semakin waktu berjalan cepat, Daisy merasa lelah dirundung kecemasan itu. Air matanya terjatuh karena berpikir hal-hal yang dulu sedang terjadi. Padahal saat bersama Jeremy, ia tidak seperti ini. Entah kenapa saat bersama Zen, ia berpikir bahwa Zen sedang bersama wanita lain.     

Bayang-bayang dan kepingan puzzle bahwa Zen sedang bercinta dengan wanita lain memenuhi pikirannya. Alhasil, respons tubuhnya jadi tidak membaik. Mendadak Daisy demam dan pucat. Tubuhnya melemas dan ia tertatih-tatih berjalan menuju kamarnya.     

Akhirnya Daisy terjatuh perlahan dan tak sadarkan diri.     

"Bos!" suara Tino di telepon membuat Zen yang sedang bergoyang di atas Ester mau tak mau ia harus menjawabnya.     

"Kamu mengganggu ... saya, Tino," ujar Zen terengah-engah.     

"Maaf mengganggu, Bos. Tapi Nonsa Daisy pingsan. Tubuhnya panas dan wajahnya sangat pucat," kata Tino memberitahu.     

Zen berhenti menggoyang melepaskan dirinya dari Ester dengan meninggalkan rasa yang tanggung pada keduanya. Ester pun menatapnya dan mendengarkan apa yang sedang terjadi.     

"Apa?! Apa kamu mengompresnya?" tanya Zen cemas.     

"Sudah, Bos. Tapi Nona mengigau-ngigau nama Anda. Sebaiknya Anda segera ke sini."     

"On my way!"     

Zen mematikan panggilan itu dan ia mengenakan kembali celana dan kemejanya. Kemudian ia menatap Ester yang masih berbaring dengan wajah yang benar-benar merasa kesakitan akibat tidak benar-benar tertuntaskan hasratnya.     

"Next time, Ester. Aku harus ke sana," ujar Zen.     

"Apa aku harus memeriksanya?"     

"Sebaiknya jangan. Aku akan panggil dokter yang lain," tolak Zen. Ia tahu bahwa Zen dan Ester telah dicurigai olehnya. Dan Zen tidak mau hal itu sampai terjadi dan mengacaukan segalanya.     

Zen menghubungi anak buahnya untuk menjemputnya di atas apartmen secepat mungkin. Ia tahu anak buahnya tidak akan mengecewakannya dan benar saja, saat ia beberapa menit menunggu helikopter itu datang, Zen langsung masuk ke dalam dan membiarkan helikopternya terbang ke pulau yang ia miliki.     

Sampai rumah, Zen langsung menuju kamar Daisy yang mana wanita yang ia cintai itu masih terbaring lemah. Ia sudah membawa dokter, Erik namanya, temannya juga. Zen tidak ingin mengambil risiko untuk mencari dokter wanita lagi.     

"Dia kelelahan dan stres. Sebaiknya jangan membuatnya stres, Zen. Dan coba pastikan lo di sini terus buat dia," ujar Erik memberitahu.     

Tangan Zen terkepal. Daisy stres. Tapi stres kenapa, pikirnya. Bahkan kemarin ia terlihat baik-baik saja tanpa beban. Dan sekarang di tidurnya ia memanggil-manggil namanya, yang artinya stresnya muncul karena dirinya.     

"Terima kasih, Rik. Gue akan lakukan apa pun untuknya," balas Zen.     

"Kalau ada apa-apa lagi, panggil gue," kata Erik.     

Zen mengantar Erik sampai depan dan membiarkan temannya melengang dengan kawalan anak buahnya. Lalu ia kembali ke Daisy.     

Tubuhnya terasa panas. Genggaman tangannya pada Daisy juga semakin kuat. "Maafkan aku, Daisy. Maafkan aku meninggalkanmu," ucap Zen lemah.     

"Zen ... " panggil Daisy lirih.     

"Aku di sini, aku di sini." Zen dengan cekatan mengganti kompresan itu dan menaruhnya lagi di dahi Daisy.     

Hari ini Zen sudah berusaha untuk menggagalkan misi Raka. Ia tahu semua karena anak buahnya memantau keluarga Daisy. Walau rasanya lelah kembali ke sana dan ke sini, tapi demi Daisy, ia rela memainkan drama. Tidak masalah jika nantinya ia cap sebagai pembohong, setidaknya itu untuk wanita yang ia cintai. Zen tidak ingi kehilangan Daisy lagi.     

"Zen ... " sekali lagi Daisy memanggilnya.     

Zen mengecup bibir Daisy lembut, berharap Daisy segera bangun seperti pada dongeng-dongeng yang pernah ada.     

"Bangunlah, bangun jika di hatimu masih ada aku," pinta Zen.     

***     

Rasa cemburu menyergap hati Ester. Ia merasa Zen begitu memilih Daisy ketimbang dirinya. Walau hubungan mereka hanya sebatas seks dan ranjang, tapi tidak bagi Ester. Ia mulai menyukai Zen. Siapa yang tidak menyukainya apalagi mereka sudah sering berhubungan seks selama beberapa bulan ini.     

Ester yang masih tanpa pakaian, mengacak-acak seluruh apartemen Zen dengan kesal. Padahal seharusnya ia profesional, tapi malah ia yang merusaknya.     

"Wanita sialan! Apa sih, istimewanya kamu!" ujarnya merutuki Daisy.     

"Mati saja kamu!"     

Setelah merasa lelah mengacak-acak seluruh apartemen Zen, Ester mengenakan pakaiannya dan menyesap rokok yang sudah ia nyalakan. Profesinya sebagai dokter kandungan tak membuatnya lantas menghindari hal-hal yang berbahaya. Ia butuh sesuatu untuk menghilangkan rasa stresnya. Sayangnya, Ester tidak berani untuk melaporkan atau memberitahukan tentang Zen pada siapa pun. Karena Zen mengancam nyawanya dan keluarganya.     

Pintu apartemen terbuka dan Ester tidak peduli akan kedatangannya. Ia tahu Zen-lah yang masuk ke dalam.     

"Ester, apa-apaan ini?" tanya Zen padanya.     

Disesapnya rokok itu dan ia kepulkan asapnya pada wajah Zen. "Itu rasanya kalau belum selesai menuntaskan seks tadi, Zen."     

Zen memijat pangkal hidungnya dan ia mengabaikan Ester. Ia masuk ke dalam kamarnya dan mencari sesuatu yang tidak tahu itu apa.     

Tiba-tiba Ester sudah berada di belakangnya. Memeluknya dan menyentuh bagian sensitif Zen yang sudah menegang dengan cepat. "Ayo, sekali ini saja. Kita nggak pernah membiarkannya nanggung seperti tadi, Zen," goda Ester.     

Zen hanya diam dan pasrah. Ia memang butuh seks saat menunggu Daisy yang belum juga sadar namun syukurnya demam Daisy sudah mereda.     

Ester membalikkan tubuh Zen. Ia lalu dengan lihai dan gerakan menggoda melepas pakaiannya sendiri. Tubuhnya yang seksi itu membuat Zen menahan nafasnya dengan susah payah. "Aku tahu kamu akan menyukai ini," goda Ester.     

"Kita masih punya waku, Ester," erang Zen.     

"Hmm ... ya. Tapi sekarang, mumpung kita sama-sama berada di tempat yang sepi dan nggak mengganggu kita, apa salahnya?"     

Perlahan Ester melepas kemeja Zen. Kemudian diikuti celana Zen. Keduanya pun telanjang dan Ester mulai bersimpuh dan memainkan milik Zen.     

Selama beberapa jam lamanya, dengan jeda waktu, mereka melakukan seks terus menerus. Zen merasa tidak akan pernah lelah untuk seks. Apalagi ketika Ester benar-benar tahu bagaimana cara memuaskannya dengan sempurna.     

Walau di sela-sela permainannya ia memikirkan Daisy, tapi Zen tahu bahwa saat ini seks adalah hal yang membuatnya merasa lega. Jika Daisy mau melakukannya lagi dengannya, ia bersumpah akan melepaskan wanita-wanita lain untuknya.     

Saat tengah malam tiba dan Ester sudah tertidur lelap dalam pelukannya, Zen bergerak perlahan. Ia memakai pakaiannya dan bergegas meninggalkan Ester dengan catatan agar tidak perlu mencarinya melainkan ia akan datang secepatnya.     

Zen pun akhirnya kembali ke rumah itu yang mana Daisy ternyata sudah sadar. Ia sedang duduk santai di ruang tamu dengan televisi menyala.     

"Hai," sapa Zen.     

"Kamu ... dari mana? Kenapa aku bangun kamu nggak ada?" tanya Daisy tanpa merasa terkejut.     

"Maaf, ada pekerjaan yang nggak bisa dilakukan online. Bagaimana keadaanmu? Apa sudah cukup membaik?"     

Daisy hanya mengangguk dan memfokuskan matanya ke televisi itu. Ia hanya diam dan menikmati buah-buahan potong yang sedang ia makan. Zen pun beranjak ke sisinya.     

"Baumu ... kenapa ada bau wanita?" tanya Daisy tiba-tiba. Ia pun berdiri dan menjauh dari Zen. Lalu tiba-tiba Daisy memuntahkan isi perutnya di lantai itu karena tidak kuat.     

Tangan Daisy membuat Zen berhenti mendekat. "Jangan. Mendekat. Aku ... nggak bisa bau wanita yang ada. Ditubuhmu," kata Daisy melemah.     

Wajah panik Zen menjadi bingung karena ia merasa tidak bisa mendekati Daisy hanya karena masih ada bau Ester di tubuhnya. Bodohnya Zen, kenapa juga ia tidak mandi dulu untuk menghapus bau Ester.     

Lagi dan lagi Daisy memuntahkan isinya. Ia tidak bisa berpindah tempat karena merasa beban di perutnya sudah berat. "Bau wanita apa, sih? Kenapa jadi membuatku mual begini?"     

"Tino!" seru Zen memanggilnya. Tino datang dengan cepat dan melihat dengan ketegangannya tentang apa yang terjadi.     

"Tolong, bawa Daisy ke kamarnya, segera!" perintah Zen.     

"Ayo, Nona." Tino menuntun Daisy untuk menuju kamarnya dengan perlahan.     

"Aku benci bau itu, Zen," ucap Daisy dengan tegas.     

Dengan tertatih-tatih, Daisy menjauh dari Zen. Sejenak Daisy menatapnya dengan pandangan yang terluka. Sementara Zen sama halnya merasa terluka karena baru kali ini ada kehamilan yang seperti itu. Atau mungkin karena baru pertama kali inilah Zen mendampingi kehamilan Daisy di usia yang mendekati kelahiran.     

"Sial! Bodohnya aku!" rutuk Zen kesal.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.