BOSSY BOSS

Chapter 149 - Too Over To Love Me



Chapter 149 - Too Over To Love Me

0"Tolong bawakan saja minyak kayu putih, Tino, lalu kamu bisa tinggalkan saya sendiri," ujar Daisy saat ia sudah berada di kamar, diantar oleh Tino.     
0

Tino menuruti permintaan Daisy dan menutup pintu kamarnya ketika sudah melakukan apa yang Daisy suruh.     

"Bagaimana? Apa dia nggak apa-apa?" tanya Zen pada Tino.     

"Nona cuma ingin ada minyak kayu putih di sisinya, jadi saya tinggalkan dengan keinginannya," jawab Tino sekaligus mengendus bau Zen. "Sepertinya benar, bau Anda benar-benar bau wanita sekali, Bos. Apa Anda … "     

"Saya harus mandi," timpal Zen setelah itu. Ia meninggalkan Tino begitu saja karena merasa Tino sudah tahu arti dari bau wanita yang ada di tubuh Zen.     

Daisy berulang kali membasuh wajahnya dengan air demi menghilangkan bau yang masih ia ingat berada di tubuh Zen. Selama bersamanya, Daisy tidak pernah mencium bau ini hingga membuatnya mual.     

Akhirnya Daisy memutuskan untuk mandi dan mengganti semua pakaian yang melekat pada tubuhnya. Lalu ia menaruh bau-bau minyak kayu putih pada bajunya agar ketika melihat Zen atau berada di dekatnya, ia hanya menghirup bau minyak itu.     

Selama masa kehamilannya, Daisy tidak pernah mencium bau itu hingga membuatnya mual. Selama ini ia hanya mencium bau-bau yang biasa dan wajar. Hanya satu yang berubah, ia tidak bisa melakukan pekerjaan wanita pada umumnya.     

Sekarang bau wanita yang ada pada tubuh Zen membuatnya curiga. Pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalanya terus berputar mengenai apakah Zen bersama wanita lain saat semasa ia sakit?     

Ketukan pintu kamarnya berbunyi, Daisy baru saja selesai mandi namun sudah rapi. Hanya saja kepalanya masih terbungkus handuk. Ia pun mendekat ke arah pintu tanpa membukanya.     

"Siapa?" tanyanya.     

"Aku … aku bisa pastikan nggak ada bau yang kamu cium di tubuhku, Daisy," ujar Zen.     

Daisy menarik dan menghembuskan nafasnya sebelum akhirnya ia membuka pintu kamarnya. Perlahan ia membukan dengan celah kecil hingga hanya sebagian wajahnya saja yang ia tunjukkan pada Zen. Lalu ia mengendus-mengendus bau tubuh Zen yang hanya tercium bau sabun aroma gentle.     

Daisy pun membuka pintunya lebar-lebar dan ia menyilangkan kedua tangannya di dadanya. "Ada apa?" tanya Daisy lagi.     

"Ayo, kita ke kota. Aku ajak kamu cari udara segar mengingat kamu belum pernah aku ajak jalan," ajak Zen kemudian.     

"Aku siap-siap dulu kalau begitu," ucap Daisy berbalik dan menutup pintunya dengan paksa. Ia tidak peduli dengan respons emosi Zen saat menutup pintunya dengan kasar, saat ini yang menjadi tahanan adalah dirinya, bukan Zen. Jadi Daisy bersikap selayaknya tahanan yang tidak betah berada di penjaranya.     

Walau begitu, jantungnya berdebar keras. Sekeras dulu saat ia menatap Zen hingga membuatnya sadar bahwa ia mencintai Zen. Dan kini Daisy berharap semoga hal itu tidak terjadi lagi.     

Daisy keluar kamar dengan pakaian hamilnya dan menyelipkan sling bag pada tubuhnya hingga membuatnya terlihat sangat lucu dan imut di mata Zen. Zen yang menatapnya pun tidak bisa melepaskan matanya untuk berkedip.     

"Ada apa?" tanya Daisy.     

"Kamu … imut," puji Zen.     

Daisy menahan senyum bahagianya dan ia merasa tendangan di perutnya hingga ia mengaduh. "Aw!" serunya seraya menyentuh perutnya. Herannya, Daisy tidak merasakan sakit. Entah kenapa anak di dalam perutnya selalu memberikan respons kerap kali Zen memuji Daisy.     

"Kenapa? Ada apa?" tanya Zen panik.     

"Dia … menendangku, Zen."     

Dengan ragu Zen menyentuh perut Daisy dan merasakan tendangan itu masih di sana. Ia tersenyum dan bersimpuh di depan Daisy. "Iya, Mamamu imut dan lucu, pasti kamu juga begitu nantinya," ujar Zen seakan tahu apa yang anak Daisy rasakan.     

Dan benar, lagi-lagi perut Daisy meresponsnya dengan kegirangan hingga membuat Daisy tertawa terpingkal-pingkal. Ia tidak tahu apakah itu efek dari anaknya yang membuatnya ikut senang atau tidak.     

"Kalau begitu, ayo kita berangkat," Zen mencoba menggandeng tangan Daisy yang tidak ditolak oleh Daisy.     

Perlahan Zen menuntun Daisy masuk ke speed boat. Mereka ditemani dua anak buah Zen di atas speed boat dan setelah mesin menderu, Daisy merasakan sensasi angin dari laut yang menerpa rambutnya hingga sedikit teracak.     

Daisy menatap Zen yang tengah duduk di dekat mesin bersama dua anak buahnya seperti sedang mengobrol dan tertawa. Baru pertama kali ini Daisy melihat Zen tertawa-tawa bersama anak buahnya. Padahal dulu tidak pernah. Bahkan dengan Tino yang merupakan anak buah kepercayaannya saja ia tidak pernah melihatnya.     

Lalu tiba-tiba mata Zen menangkap mata Daisy yang tengah menatapnya. Buru-buru Daisy memalingkan wajahnya menatap air laut yang bergerak karena speed boat.     

"Apa kamu butuh sesuatu?" tanya Zen padanya ketika ia mendekat dan duduk di hadapan Daisy untuk menatapnya.     

"Nggak. Apa ini masih jauh?" tanya Daisy.     

Zen menatap lurus ke belakangnya dan ia menggeleng menatap Daisy kembali. "Nggak. Sebentar lagi."     

Ini pertama kalinya bagi Daisy bisa keluar dari rumah dan merasa senang sekali. Sejauh ini ia belum tahu apa yang akan ia beli dan perlukan, tapi yang pasti ia ingin menikmati kebebasan yang diberikan Zen.     

Ketika mereka sampai, Zen tak pernah melepaskan genggamannya dari Daisy. Mereka berkeliling dan Zen membeli topi pantai untuk dikenakan Daisy. Sekarang ia terlihat jauh lebih imut, batinnya saat ia mengenakan topi pantai itu pada Daisy.     

Saat Daisy berhenti tepat di toko barang bayi, Zen menoleh ke arahnya, "kamu mau beli sesuatu buat anak kita? Omong-omong, aku sudah menyiapkan semua barang-barang bayi di rumah," bisik Zen.     

Darah Daisy berdesir ketika Zen menyebut anaknya dengan anak 'kita', semudah itu bagi Zen mengucapkan itu di hadapannya. Dan tentang barang-barang bayi, Daisy bahkan tidak tahu menahu tentang itu.     

"Kamu menyiapkannya? Kapan? Aku nggak tahu," tanya Daisy.     

"Sebelum kamu ke rumah itu, aku menyiapkan semuanya, Daisy. Tapi aku nggak akan menahanmu untuk berbelanja barang bayi jika kamu mau."     

"Saat pulang nanti, tunjukkan aku barang bayi darimu itu. Dan aku mau kita masuk ke dalam."     

Zen hanya mengangguk dan membiarkan Daisy juga dirinya masuk ke dalam toko itu. ia lalu memberikan isyarat pada anak buahnya untuk tetap di tempat dan berjaga-jaga jika ada seseorang atau sesuatu yang mengenali Daisy.     

Zen membiarkan Daisy berkeliling toko itu dan memilih apa pun yang diinginkannya. Tentu saja ia tetap berada di sisinya karena bisa saja Daisy nantinya memiliki niat buruk padanya. Jadi Zen tetap berjaga-jaga.     

Setelah beberapa jam keluar, Daisy meminta pulang. Ia kelelahan dan tidak bisa melanjutkan jalan-jalannya. Zen menurutinya dan membawanya ke speed boat untuk mengantarnya sampai rumah.     

"Terima kasih ya, karena memberiku kebebasan di luar," ucap Daisy saat mereka sudah di rumah. Daisy meluruskan kakinya di sofa dan menghela nafasnya berkali-kali.     

"Sama-sama. Maaf, sementara hanya itu yang bisa kulakukan. Omong-omong, besok Mama akan ke sini."     

Mata Daisy membelalak. "Besok? Kenapa buru-buru? A-aku sudah lama nggak ketemu beliau, Zen."     

"It's OK. Dia sendiri yang mau ke sini, bukan aku yang menyuruhnya."     

Belum Daisy balas ucapannya, telepon Zen berbunyi. Ia menatapnya dan mengarahkan pandangannya ke Daisy. "Aku harus jawab telepon ini," ujarnya. Daisy hanya mengangguk dan Zen berlalu dari hadapan Daisy.     

"Halo," sapa Zen dengan suara datarnya.     

"Jadi kamu benar-benar bersama Daisy?" suara laki-laki terdengar berbeda di telinga Zen. Nomornya memang tidak terdaftar pada kontaknya. Tapi Zen sudah bisa mengira siapa yang meneleponnya.     

"Kenapa dia harus bersama aku? Aku masih mencarinya, Jeremy," balas Zen.     

Jeremy hanya diam dan terpaku.     

"Kaget karena saya tahu itu kamu? Mari persingkat … aku nggak tahu Daisy di mana, tapi aku juga sedang mencarinya. Ck! Bahkan kamu sebagai calon suaminya saja nggak bisa menjaganya!" seru Zen.     

Terdengar Jeremy menghela nafasnya. "Aku akan merebut Daisy dari kamu, Zen. Sekarang mungkin kamu nggak mengaku, tapi cepat atau lambat, waktu akan bicara."     

Panggilan itu terputus begitu saja sebelum Zen benar-benar membalas ucapan Jeremy. Tangannya terkepal dan ia pun berbalik. Namun seketika itu juga ia terkejut. Daisy berdiri di sana dengan wajah lelahnya dan menunjukkan ekspresi sedihnya.     

"Apa tadi itu Jeremy?" tanya Daisy bergetar.     

Zen hanya diam dan tetap menatapnya tanpa bicara sepatah kata pun. Daisy mendekat dan matanya sudah memanas juga berkaca-kaca. Jarak mereka sangat dekat membuat Daisy menengadahkan kepalanya untuk menatap Zen.     

"Jawab, Zen!" teriak Zen. Ia mulai memukul-mukul dada Zen dengan keras namun tidak memiliki efek apa pun bagi Zen.     

"Jawab aku! Apa susahnya, sih?!" teriaknya lagi.     

Zen langsung memegang dua lengan Daisy dan menghentikan pukulan tangannya pada dadanya. Ia menatap Daisy dengan emosi di matanya. "Iya! Tadi itu Jeremy. Puas?!"     

Daisy menunduk dan menangis. Isaknya dan guncangan tubuhnya membuat Zen tidak tega untuk tidak memeluknya. Hingga akhirnya ia memeluk Daisy dan menghentikan tangisan itu. Daisy bahkan tidak berontak dalam pelukan Zen. Ia hanya diam dan menenggelamkan wajahnya pada tubuh Zen.     

"Kenapa … kenapa kamu harus seperti ini?" tanya Daisy dengan suara getarnya.     

"Kenapa kamu nggak membiarkan aku tenang sedikit saja, Zen?"     

Zen menatap Tino yang diam di tempat. Dalam beberapa detik mereka hanya saling menatap dan Zen mengangguk pada Tino. Lalu perlahan Tino datang dengan jarum suntik yang mana akan Zen suntikan pada Daisy agar Daisy menjadi lebih tenang dan stabil.     

Tak sedikit pun ucapan Daisy Zen balas. Ia hanya diam sampai ia benar-benar harus tega membuat Daisy tertidur. Ia sudah konsultasi pada Erik sebagai dokter kandungannya yang sekarang dan itu bukan masalah.     

Lalu dengan perlahan Zen mulai menyuntik lengan Daisy hingga Daisy merasa lemas seketika dan tak sadarkan diri.     

Dengan kekuatan penuh, Zen membopong Daisy dan membawanya ke kamarnya Daisy. Ia menaruh Daisy dan menyelimutinya hingga dadanya. Kemudian tangannya mengusap kening Daisy serta pipinya. Dikecupnya keningnya juga tangan yang Zen genggam.     

"Maafkan aku, aku melakukannya karena aku mencintaimu," ucap Zen.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.