BOSSY BOSS

Chapter 151 - Ester



Chapter 151 - Ester

0Aku berusaha terlihat biasa ketika mendengar jawaban Tante Neva yang sebenarnya cukup mengguncangku. Mungkin bukan berusaha lagi, tapi aku memang menunjukkan ekspresi datarku, entah bagaimana Tante Neva menatapku, tapi aku merasa biasa sekali sekali pun rasanya sangat menyakitkan.     
0

Sebenarnya juga tidak heran sih, kalau akhir-akhir ini aku mual dengan alasan bau badan Zen tercium bau wanita. Dan kemungkinan besar yang kupikirkan adalah saat itu Zen tengah bersama Ester.     

Sejak awal aku sudah merasakan firasat itu. Bahwa keduanya ada main. Walau pun kelihatannya mereka bersikap profesional dan biasa di hadapanku, tapi aku percaya pada sebuah insting yang mendadak muncul. Sekali pun aku mencoba menepiskan insting itu, lagi-lagi ia tetap di sana dan membiarkan waktu yang menunjukkannya.     

Sekarang semua terjawab. Tapi aku tidak ingin Tante Neva memberitahu Zen bahwa aku dan beliau membahas ini. Jadi, kupandang beliau dengan serius sebelum Zen mengalihkan tatapannya dari ponsel padaku.     

"Tante, aku mohon ... Jangan beritahu Zen mengenai perbincangan ini, ya? Anggap aja aku nggak tahu sama sekali. Oke? Aku mohon, Tante."     

Tante Neva melihatku dengan keprihatinan. Beliau mengusap punggung tanganku dan menghela nafasnya.     

"Baiklah kalau begitu. Sekarang hapus ekspresi kejutmu. Dia akan curiga dan bertanya banyak nantinya."     

Aku tersenyum dan mengangguk. Lalu tepat saat itu juga Zen datang mendekat dan duduk di hadapanku.     

"Apa aku ketinggalan sesuatu?" tanyanya.     

Aku hanya diam dan tak mau menjawab. Rasanya rasa kesalku mendadak muncul begitu saja karena membayangkan ia bersama wanita lain. Mantan suamiku menculikku dan ia masih melakukan seks dengan wanita lain.     

"Kami hanya membahas perihal kelahiran. Daisy kan, butuh nasihat dan masukan mengenai kelahiran, Nak," terang Tante Neva menjawabnya.     

Kuhela nafasku hingga aku bisa merasakan Zen menatapku dalam-dalam. Tapi aku tetap mengabaikannya demi menghapus bayang-bayang itu.     

Sampai dermaga, Zen membantuku turun dari speed boat. Aku langsung melepaskan tangannya dengan cara menepisnya hingga ia merasakan perbedaan dariku.     

"Sebenarnya ada apa? Kamu terlihat banyak bicara dengan Mamaku dan kamu mengabaikanku di waktu yang bersamaan," tanyanya berbisik.     

"Bukan apa-apa. Aku hanya merasa mual berada di dekatmu," kataku mengarang.     

Perlahan Zen menjauh. Tapi sebelum itu ia berkata, "sebaiknya simpan semua hal yang ingin kamu bicarakan. Kita bisa bicara saat Mamaku kembali pulang. Aku nggak mau ada pertengkaran di hadapannya."     

Aku memutar bola mataku. Lagi pula, siapa juga yang ingin bertengkar? Aku bisa menahannya, kok. Hanya saja aku memang tahu, bahwa Zen sulit untuk menahan emosinya. Jadi aku hanya diam dan menjauh darinya.     

Aku berjalan di sisi Tante Neva dan tetap mengabaikan Zen. Ia berada sedikit jauh di belakangku. Alasan yang kupakai untuknya cukup membuatnya jaga jarak denganku. Karena jujur saja, aku bayang-bayang itu membentuk jelas dan membuatku enggan untuk menatapnya jika tidak perlu.     

Sampai restoran, kami duduk di satu meja bundar dengan tiga kursi yang sepertinya sudah dipesan oleh Tante Neva.     

Untuk para anak buah, mereka di biarkan memilih tempat sendiri selama itu berada di satu restoran.     

"Kamu nggak apa-apa kan, Dai, makan di restoran Cina?" tanya Tante Neva.     

"Iya, nggak apa-apa kok, Tante."     

Restoran Cina ... Sudah pasti masakannya adalah masakan Cina. Aku jadi teringat Jeremy. Ia sangat senang memasak masakan Cina. Baik itu untukku dan kami makan berdua, atau dengan keluarga.     

Ah, bagaimana kabarnya, ya? Apakah ia tetap mencariku atau malah menyerah?     

Aku merindukan semuanya. Sedih karena tidak bisa berkumpul seperti biasa dengannya dan semuanya. Tapi aku juga tidak merasa sedih sekali ketika ternyata aku batal menikah dengannya. Aku hanya merasa malu karena semua ini adalah kesalahanku.     

Tapi aku tahu ... Jeremy pasti tidak ingin aku menyalahkan diriku sendiri. Bahkan meminta maaf pun, ia akan tersenyum dan mengatakan bahwa ini bukan salahku. Tapi tetap saja ... Ia terlalu baik untuk dan dalam banyak hal. Aku memang tidak pantas untuknya.     

Well, jauh di dalam lubuk hatiku, aku berharap dan berdoa, Jeremy mendapatkan wanita yang lebih dariku.     

"Daisy?" panggilan dan sentuhan Zen membuatku tersentak. Aku menelengkan kepalaku menatapnya dengan bingung.     

"Ya?" jawabku.     

"Kamu pesan apa? Kenapa melamun?" rundungnya.     

"Ah ... A-aku ayam goreng saus Inggris dengan cap cay goreng aja. Minumnya di sesuaikan," kataku akhirnya dengan lugas.     

Zen dan Tante Neva saling lempar pandang membuatku penasaran. "Ada apa?"     

"Sayang, kamu belum melihat isi menu. Yakin kamu hanya mau itu?" tanya Tante Neva.     

"Iya, Tante. Aku yakin." Tentu saja aku yakin dengan pilihanku. Mengingat restoran itu terlihat mewah dan berkelas, rasanya tidak mungkin jika tidak ada menu itu di dalamnya.     

Akhirnya Tante Neva mengangguk dan membiarkan pelayan mencatat pesanan kami.     

Di saat kami menunggu pesanan tersaji, Zen dan Tante Neva terlibat dalam pembicaraan mengenai bisnis. Aku hanya menjadi pendengar sekaligus merasa tertarik dengan bisnis Tante Neva.     

Toko butik yang dikelolanya rupanya berkembang pesat. Aku sih, tidak heran jika begitu. Apalagi pakaian-pakaian yang ia jual benar-benar mengikuti trend masa kini.     

"Oh, ya, Daisy. Tante dengar dari Zen kamu punya bisnis online shop, ya?" tanya Tante Neva tiba-tiba.     

Aku melirik Zen dan ia mengangguk padaku. Ah, dia benar-benar penguntit sejati rupanya.     

"Iya, Tante. Kalau Tante tertarik, Tante bisa lihat profil tokoku," kataku menawarinya seraya menyebutkan nama toko onlineku.     

Tante Neva melihat isi-isi toko onlineku dengan mata binarnya. Aku jadi ikut tersenyum jika sudah membahas mengenai fashion pakaian.     

"Wah! Padahal kamu buka online, ya, tapi yang sudah pernah pesan sama kamu sebanyak ini?" pujinya.     

Aku tersenyum bangga karena memang bisnisku adalah rintisan yang aku ingini selama ini.     

"Lalu, kalau dalam keadaan seperti ini, siapa yang mengelola bisnismu?" tanya beliau.     

"Ada Ibu, kakak iparku dan temanku, Tante. Aku udah mempercayakan mereka agar nggak bergantung denganku ketika aku nggak ada. Sekarang aku hanya keseringan melihag pembukuan," jelasku dengan suara parau.     

"Oke, Tante yakin banget mau menjadikanmu bagian dari butik Tante suatu saat nanti. Oke?" katanya menawari.     

Awalnya aku senang mendengarnya, nyatanya seketika itu juga aku terjatuh. Ternyata 'suatu saat', yang artinya bisa kapan saja. Entah mungkin setelah kelahiranku, bisa jadi setelah aku menikah lagi dengan Zen, atau bahkan menunggu aku mencintai Zen kembali.     

Ternyata Tante Neva tak sebodoh yang kupikirkan.     

Sial!     

Sebenarnya tidak heran sih, jika kecerdasan beliau diturunkan pada Zen. Zen saja cerdasnya seperti itu, membuatku tak yakin Jeremy bisa menandinginya.     

Seketika aku menciut membayangkan Jeremy dan keluargaku tidak akan menemukanku di kota antah berantah ini.     

"Iya, Tante. Kapan pun Tante siap," balasku sekenanya.     

Pembicaraan selesai dengan makanan tersaji dengan kepulan asap yang melayang-layang merasuk ke lubang hidungku. Sajiannya terlihat lezat dan aku tak sabar untuk mulai makan.     

"Selamat makan," ucap Tante Neva.     

"Selamat makan," balasku dan mulai makan dengan lahap.     

***     

Selepas dari kota, kami kembali lagi ke rumah. Tentu saja hanya aku dan Zen juga para anak buah. Tante Neva sudah kembali pulang ke rumahnya.     

Sebenarnya aku heran satu hal. Aku di mana dan kenapa saat pertama kali aku harus menaiki pesawat melalui bandara? Padahal kalau dipikir, Zen punya helikopter pribadi dan aku pernah dengar sesekali helikopter itu mendarat untuk menurunkannya.     

Sayangnya aku tidak mau bertanya apa pun pada Zen mengenai tempat ini. Lagi pula aku tidak memiliki akses internet atau kendaraan untuk melarikan diri.     

Masalahnya adalah, pengawasan yang dilakukan Zen itu begitu ketat. Aku pernah melarikan diri darinya beberapa kali saat kami belum menikah dulu. Dan aku cukup yakin bahwa Zen belajar dari pengalaman.     

"Ini ... Minum susunya," ujarnya seraya mengulurkan segelas susu padaku.     

Aku meneguknya sampai habis dan menaruhnya di meja. Kemudian aku sedikit bersendawa tanpa rasa malu.     

"Apa kamu masih mual dengan kedekatanku?" tanyanya.     

Membicarakan tentang rasa mual membuatku teringat kembali akan bau wanita yang menempel pada tubuhnya.     

"Ya ... Sedikit," jawabku.     

Zen berdeham dan mengatur posisi duduknya. "Tentang permintaanmu bicara dengan Ibumu ... Udah aku pertimbangkan," ucap Zen.     

Aku langsung menatapnya dengan tatapan setengah binar. Orang yang kurindukan paling utama adalah Ibu. Hanya Ibu.     

"Aku harus bertemu dengan beliau langsung karena nggak akan sopan jika bicara di hape," katanya melanjutkan.     

"Aku juga harus memastikan bahwa Ibumu nggak akan bilang pada siapa pun, termasuk suaminya," tambahnya.     

"Oke," balasku berusaha untuk tenang.     

Zen lalu meraih jaket kulitnya dan ia kenakan. Membuatku sangat ingin bertanya akan ke mana ia sekarang.     

"Mau ke mana lagi?" tanyaku dengan sengaja.     

"Ada urusan yang harus aku kerjakan. Mungkin subuh besok aku akan kembali," jawabnya.     

Ada hati yang rasanya sakit ketika ia menjawab dengan santai seperti itu. Rasanya aku ingin sekali membuatnya mengaku di hadapan aku yang sadar bukan saat aku terlelap. Tapi bibir ini terasa kelu.     

"Nikmati harimu, Daisy," ucapnya dan mulai berbalik untuk melangkah menjauh dariku.     

"Salam untuk Ester," ucapku terdengar lantang.     

Zen menghentikan langkahnya. Aku juga bisa melihat Tino yang diam membeku ketika aku mengucapkan kalimat itu.     

"Daisy, aku ke kota bukan untuk bertemu dengannya," sambar Zen.     

Kuberikan satu tanganku untuk berhenti berbicara. Aku tidak ingin mendengar apa pun alasannya di saat seperti ini.     

"Yah, aku hanya ingin bilang itu. Katakan aja, kenapa lama nggak ke sini? Ada apa?"     

"Dia sibuk bekerja, Daisy," jawab Zen dengan rahangnya yang mengeras.     

Aku mengangguk-anggukan kepalaku seraya melihat televisi yang sedang menyala.     

"Yah, salamkan aja. Memangnya aku nggak boleh memberi salam atau bertanya melalui kamu?"     

Zen hanya diam. Aku berhasil memancing emosinya kembali keluar. Ia lalu melepaskan jaketnya dan duduk di hadapanku.     

Tatapannya seperti biasa, sangat tajam dan benar-benar menerkamku. Tapi aku tidak mau terlihat takut karenanya. Karena akulah si korban dari segalanya.     

"Berhenti memancing emosiku, Daisy," ujarnya dengan geram.     

"Aku nggak memancing," balasku.     

"Daisy ... Sebenarnya kenapa kamu membahas soal Ester?" tanyanya.     

Kukedikkan bahuku. "Entahlah. Sedari awal aku nggak suka padanya. Entah kenapa, senyum ramahnya itu terlihat palsu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.