BOSSY BOSS

Chapter 152 - The Tragedy



Chapter 152 - The Tragedy

0Bukan saat yang tepat untuk membahasnya sekarang. Aku masih ingin bermain-main dengannya sampai ia benar-benar merasa lelah bertengkar denganku.     
0

"Lupakan saja," kataku kemudian.     

"Katakan, Daisy," geramnya.     

"Cukup, Zen. Aku hanya mengatakan kalau aku nggak menyukainya. Tapi aku ingin kamu memberi salam untuknya dariku. Yah, karena dia nggak ke sini sih, jadi aku penasaran kenapa dia berhenti jadi dokter kandunganku," jelasku.     

Zen tampak menghela nafasnya. Ia hanya diam menatapku dan memijat-pijat pangkal hidungnya.     

"Dia sibuk. Itu aja. Akan aku salamkan kalau aku bertemu dengannya."     

Kuanggukkan kepalaku. Dia sibuk. Tentu saja dia sibuk. Sibuk membuat Zen puas di ranjangnya.     

Aku kembali mengabaikan Zen dengan membesarkan suara televisi. Sebaiknya memang dia pergi saja dari hadapanku. Sekarang sudah selesai membuat emosinya memuncak.     

"Apa kita udah selesai?" tanyanya.     

"Ya. Pergilah. Bawakan aku camilan dari supermarket yang serba keju. Oke?"     

Sejenak Zen hanya diam dan mengangguk. Lalu ia berdiri dan mengacak-acak rambutku. Dan tanpa sepatah kata ia pergi menjauh dari rumah.     

Aku langsung meraih camilan yang masih tersisa dan membawanya ke ruang televisi. Lalu aku menyantapnya tanpa sisa sedikit pun.     

Mendadak di kesunyian itu, aku menangis. Rasanya aku benar-benar sendiri di sini. Rasanya seperti Zen tidak mencintaiku. Jika ia mencintaiku, lalu kenapa ia bersama wanita lain hanya untuk memuaskan hasratnya?     

Aku merasa selalu lemah jika bersama Zen dalam keadaan seperti ini. Dia benar-benar racun sekali bagi kehidupanku.     

"Apa Anda baik-baik saja?" suara Tino mengejutkanku. Aku langsung mengusap air mataku cepat-cepat.     

"Ya. Saya agak mengantuk," jawabku asal.     

Walau begitu, aku tetap berdiri dan menuju kamarku. Mengunci pintu rapat-rapat dengan suara yang sengaja besar agar tidak perlu menggangguku.     

***     

"Dia hampir tahu tentang kita, Ester!" seru Zen ketika Zen sampai di apartemennya.     

Ester menyesap sebatang rokoknya yang menyala di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Mengepulkan asapnya menjadi bola-bola ke arah Zen.     

"Tenang saja, Zen. Semua akan aman. Toh, dia cuma mengatakan itu, kan?"     

"Kamu nggak mengerti, Ester. Sebaiknya kita kurangi interaksi dan hubungan kita. Lagi pula kamu ada tunangan. Aku juga nggak mungkin seperti ini. Aku akan menjadi seorang Ayah," jelas Zen.     

Ester tertawa kecil. "Anak itu bahkan bukan anakmu, Zen."     

"Aku tahu tapi aku ingin anak dari yang dikandung Daisy. Aku pernah kehilangan mereka sekali, dan aku nggak mau kehilangan lagi," ujar Zen.     

Ester berdiri dan memakai pakaiannya. Ia mengikat rambutnya asal dan menatap Zen. "Kalau begitu, sekalian aja berhenti sampai sini. Toh, kita memang hanya ingin satu hal aja, kan? Seks."     

Zen menatap Ester yang bersiap-siap lengkap dengan koper bajunya dengan tatapan kosong. Ia tidak ingin melarang atau menghentikan Ester. Baginya ada baiknya jika ia membiarkannya pergi dan Zen bisa fokus pada Daisy.     

"Kamu nggak menghentikanku?" tanya Ester.     

"Nggak. Kalau mau pergi, silakan. Aku nggak melarang. Aku harus fokus pada Daisy, Ester."     

Ester mengangguk-anggukan kepalanya paham. Ia pun langsung membuka pintu apartemen Zen dan kemudian berhenti sejenak untuk menatapnya.     

"Terima kasih untuk semuanya," ucap Ester lirih.     

Suara pintu tertutup dengan keras dan Zen pun menghela nafasnya panjang. Ia lalu merapikan apartemennya hingga bersih.     

Sekarang ia harus benar-benar fokus pada Daisy. Harus bisa menahan nafsunya untuk melakukan seks. Setidaknya ia tahu bahwa berubah itu memang memerlukan proses ketika ia sudah jatuh terlalu dalam.     

Setelah Zen merapikan apartemennya, ia kembali ke pulau. Speed boat yang membawanya mendekat pada pulaunya, memperlihatkan speed boat milik seseorang yang tidak diketahuinya.     

Buru-buru Zen langsung turun dari speed boat itu dengan kedua kakinya yang basah dan berjalan cepat masuk.     

Perlahan ia melambat saat tahu ada seseorang yang sedang berdiri di hadapan Daisy. Seorang wanita yang ia kenal.     

Mata Daisy bertemu dengan matanya. Wanita itu memegang sebuah benda tajam di tangan kanannya. Anak buah Zen mengepung wanita itu agar tidak membahayakan yang lain.     

Pikirnya, kenapa tidak ada yang menghubunginya sebelumnya.     

"Ester ... Apa-apaan ini?" tanya Zen.     

Ester berbalik dengan wajah kalut dan penuh emosi. Tubuhnya bergetar dan satu tangannya dengan benda tajam itu terarah pada Zen.     

"Tetap di tempat. Jangan maju! Ini akibatnya kalau kamu membiarkan hubungan kita selesai," ujar Ester bergetar.     

"Kita nggak ada hubungan apa pun, Ester," jelas Zen.     

Zen menatap Daisy yang hanya diam di tempat. Tidak ada wajah ketakutan. Hanya tatapan kosong dan dingin.     

"Oh, ya? Lalu apa foto-foto ini?"     

Ester melempar lembaran foto polaroid di hadapannya yang kemudian melayang perlahan dan terjatuh di lantai.     

Zen cukup terkejut karena ia tidak tahu sejak kapan Ester mengambil foto-foto mereka ketika tidur atau bercinta.     

Pandangannya teralihkan lagi pada Daisy yang masih diam mematung. Namun Daisy perlahan maju ke arah Ester.     

Zen yang tahu motif Daisy, lantas membuat Ester terus berbicara sehingga hanya fokus padanya seorang.     

"Kapan kamu mengambil foto-foto itu?" tanya Zen.     

"Itu nggak penting, Zen! Yang terpenting adalah kamu harus tahu sesuatu! Aku dan tunanganku putus! Aku memutuskannya!" ungkap Ester dengan suara histeris.     

Zen terkejut. Ia tidak tahu tentang itu. Jika Zen tidak tertarik dengan seseorang, maka ia tidak akan mencari tahu dalamnya orang tersebut kecuali memanfaatkannya untuk kesenangannya. Jadi ia benar-benar tidak tahu akan itu.     

"Kenapa? Terkejut? Kamu memang nggak pernah mencari tahu, kan? Kamu hanya fokus pada wanita sundal itu, kan?" seru Ester.     

Prankkk!!!     

Suara benda tajam yang Ester pegang terjatuh dengan jarak jauh akibat tepisan Daisy. Ester langsung berbalik dan anak buah Zen langsung memblokir pergerakannya setelah ia berhasil memukul perut Daisy dengan keras.     

"Arrrghhh! Aduh! Zen!!!" teriak Daisy kesakitan.     

Ester menjerit meronta karena ia tidak bisa melepaskan diri dari dua anak buah Zen yang mengendalikannya.     

Zen langsung menuju Daisy dan mengangkatnya untuk di bawa ke ruangan khusus melahirkan. Walau pun rasanya belum harus melahirkan, tapi semua alat medis dan obat-obatan ada di sana.     

"Bawa dia ke jeruji bawah tanah!" perintah Zen pada anak buahnya.     

"Brengsek! Aku nggak akan tinggal diam, Zen!" teriak Ester melengking.     

Zen memilih mengabaikan Ester dan fokus pada Daisy yang mengaduh kesakitan. Ia lantas menelepon Erik dan membiarkan anak buahnya menjemputnya.     

"Aku akan coba kompres dengan air dingin, oke?" ujar Zen pada Daisy.     

Ia meraih es batu dengan air dingin. Lalu membuat buntalan kain untuk ia kompreskan pada perut Daisy yang kesakitan.     

Sejenak jeritan kesakitan Daisy mereda. Lalu berganti dengan tarikan dan buangan nafas perlahan-lahan. Air matanya terjatuh melalui sudut matanya. Memandang Zen yang terlihat sangat panik dengan keringat yang membasahi pelipisnya.     

"Maafkan aku karena kamu jadi terlibat jauh," ucap Zen tanpa memandang mata Daisy.     

Daisy tahu, di dalam lubuk hati Zen, ia merasa sangat bersalah dan ketakutan akan kehilangan dirinya lagi. Padahal Daisy benar-benar merasa kesal dan benci Zen di saat yang bersamaan.     

Pembohong akan tetap berbohong. Begitulah yang Daisy selalu pikirkan.     

"Aku nggak akan berhenti meminta maaf sampai aku tahu kamu dan anakku akan baik-baik saja," ucap Zen.     

Dokter Erik masuk dengan segera dan Zen mundur seketika. Zen membiarkan Erik memeriksa dan mengobati Daisy. Ia tidak banyak bicara sementara mata dan rahangnya menyiratkan kebencian pada wanita itu.     

***     

Tamparan keras mendarat di wajah Ester. Zen tidak peduli jika ia menyakiti wanita yang menyakiti wanitanya.     

Baginya, tidak ada ampun untuk seorang yang merencanakan pembunuhan, kecuali dirinya.     

"Kamu belum mengenal aku terlalu lama, Ester. Jangan kamu pikir aku adalah laki-laki yang sama saat di masa kuliah," terang Zen dengan tegas.     

"Aku puas membuatnya kesakitan. Tapi itu belum seberapa, Zen. Dia hanya merasakan kesakitan itu sementara. Sedangkan aku ... Kesakitan di hatiku telah permanen. Aku dengan bodohnya mencintaimu lalu memutuskan tunanganku. Cih! Dan sekarang—"     

"Ester, cukup! Saat kita memulai semuanya, kita berjanji nggak akan ada perasaan yang terlibat!"     

"Dasar laki-laki brengsek! Kamu pikir kamu bisa mengandalkan perkataan wanita yang seperti itu? Kamu pikir wanita nggak akan memakai perasaannya, hah?!"     

Teriakan Ester membuat Zen semakin geram.     

Zen memilih keluar dari jeruji bawah tanah dan naik ke atas untuk melihat kondisi Daisy.     

"Bagaimana dia?" tanya Zen pada Erik.     

"Dia kuat, Zen. Beruntunglah. Tapi sebaiknya lo bawa dia dari tempat ini. Tempat ini nggak akan baik untuk mentalnya," nasihat Erik memberi masukan pada Zen.     

Zen hanya diam sesaat namun ia memikirkan hal itu memang sebelum Erik memberikan masukan padanya. Ia cukup tahu apa yang akan ia lakukan untuk Daisy, tapi baginya tidak sekarang untuk membuat Daisy keluar dari pulau ini.     

"Terima kasih, Erik. Gue akan memikirkan perkataan lo," ucap Zen untuk menghormati masukan Erik.     

Erik mengangguk dan menepuk bahu Zen. "Kalau begitu, gue harus kembali ke rumah sakit." Zen mengangguk dan kemudian membiarkan Erik pergi dengan di antar dua anak buahnya.     

Sekarang mata Zen melihat Daisy yang tengah berbaring dan tidur di kasur. Entah apa yang akan Zen jelaskan nanti jika Daisy sudah bangun. Sudah pasti Daisy akan bertanya tentang kebenaran itu.     

Tak sedikit pun Zen beranjak dari tempatnya untuk meninggalkan Daisy. Ia tetap duduk di tepi ranjang Daisy, menunggu Daisy terbangun dari tidurnya.     

"Sejak kapan kamu di situ?" suara serak Daisy bertanya membuat Zen terkejut karena ia tidak menatap Daisy tadinya.     

"Sejak dari tadi. Bagaimana keadaanmu?"     

"Baik. Bagaimana Ester?" tanya Daisy.     

"Dia ada di jeruji bawah tanah," jawab Zen dingin.     

"Sejak kapan kamu punya jeruji bawah tanah? Aku nggak tahu apa-apa tentang itu."     

"Sejak dulu, Daisy. Aku sengaja membangunnya untuk berjaga-jaga seperti hal ini misalnya."     

Daisy menghela nafasnya dan beranjak untuk duduk di kasurnya juga bersandar. "Jadi, benar, kamu ada main dengannya di belakangku?" tanya Daisy.     

Zen mengangguk tanpa ragu. "Aku rasa nggak perlu lagi aku membohongimu. Aku memang menyelesaikannya karena ingin fokus denganmu. Tapi aku nggak tahu kalau Ester berbuat hal sejauh ini."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.