BOSSY BOSS

Chapter 153 - They Found Me



Chapter 153 - They Found Me

0Aku hanya diam setelah Zen mengatakan kejujurannya. Memangnya apalagi yang harus aku lakukan? Aku tentu ingin membalas dendam, tapi tidak sekarang. Tidak di saat kondisiku masih lemah. Perlahan aku akan membuatnya jatuh berkali-kali hingga jera dan akan membiarkanku pergi. Karena aku tidak ingin sama sekali bersamanya.     
0

"Aku punya syarat sebelum kamu menikahiku, Zen," kataku mulai membahas topik itu.     

Zen yang awalnya hanya menunduk seraya memegang tanganku, kini ia menatapku dengan pandangan terkejutnya.     

"Kenapa kamu membahasnya sekarang? Aku pikir kita akan membahasnya lain waktu," katanya.     

"Aku ingin membahasnya sekarang," kataku dengan tegas tanpa memberikan alasan padanya.     

"Oke, katakan."     

Aku berdeham sebentar. Kuharap aku tidak menunjukkan kegugupanku. "Aku ingin mengajukan syarat tentang suatu saat nanti jika kamu selingkuh, maka kita resmi bercerai tanpa adanya penundaan. Catatan itu harus tertulis di atas hitam putih bermaterai," jelasku.     

"Daisy, tapi aku nggak akan selingkuh darimu lagi," katanya dengan melas.     

"Lalu kamu pikir aku percaya begitu saja? Sebaiknya panggil Pak Heri ke sini dan biarkan beliau yang membuatnya di hadapan kita. Aku mau besok pagi."     

"Baiklah kalau itu maumu. Besok keinginanmu akan terkabul," katanya lalu berdiri.     

Diam-diam aku menahan senyum menangku. Aku punya banyak ide agar membuatnya selingkuh dan aku bisa menceraikannya suatu saat. Tapi memang tidak mudah begitu saja, tapi aku juga tahu bahwa aku harus bergerak lebih cepat.     

Setelah Zen keluar kamarku, aku menuju balkon dan membiarkan semilir angin menerpa tubuhku hingga aku merasakan kesejukan. Perutku masih terasa sakit akibat pukulan itu, tapi untungnya anakku tidak kenapa-kenapa.     

Dari kejauhan aku melihat sebuah speed boat sekitar ada lima mendekat ke arah pulau ini. Kupicingkan kedua mataku untuk melihat siapa yang datang karena lumayan banyak jumlahnya. Lalu kedua mataku membelalak terkejut.     

Aku melihat Jeremy di salah satu speed boat itu. Lalu Raka, Reina dan juga Ibu serta Papa.     

Mendadak harapan itu muncul seketika dan aku segera berlari menuju pintu kamar. Ketika aku membuka pintu, pintuku sudah tidak bisa terbuka. Aku mencoba membuka kuncinya dan benar-benar tidak bisa terbuka.     

Sial! Sepertinya Zen sudah tahu lebih awal mengenai kedatangan Jeremy.     

Aku menggedor-gedor pintu dengan kasar. Berbagai macam barang aku coba lemparkan yang barang kali bisa membuat pintu kamar ini terbuka.     

Balkon. Ya, benar. Balkon. Aku bisa keluar dari sana. Mau tidak mau aku harus turun perlahan melalui balkon dengan mengandalkan selimut kasur.     

Setelah aku menyimpulkan ikatan salimut dan membuatnya tertahan oleh sesuatu, akhirnya aku nekat turun dengan perlahan. Sebisa mungkin aku tidak ingin menimbulkan keributan sehingga anak buah Zen tidak akan melihatku.     

Aku bersyukur karena akhirnya aku berhasil turun walau ketika mendekati bawah, aku terpaksa melompat sehingga aku sedikit merasa kesakitan, tapi bukan masalah. Yang penting aku bisa berdiri dan berjalan.     

Aku muncul dan berdiri tepat di belakang Jeremy. Semua mata memandangku kecuali Jeremy yang belum menyadari kehadiranku. Tapi aku tidak ingin Jeremy berbalik karena bisa saja ia nanti jadi terkena umpan atas kehadiranku.     

"Jangan berbalik, tetap menatapnya," bisikku.     

Kupegang tangan Jeremy untuk kugenggam. Ia membalas genggamanku yang tadinya dirinya menegang karena situasi.     

"Daisy ... kembali," ujar Zen dengan geram.     

Kutatap Ibu, Papa, Reina dan Raka. Aku merindukan mereka semua. Lalu aku menatap Zen dengan pandangan benciku.     

"Nggak. Aku nggak akan kembali, Zen. Aku sama sekali nggak mencintaimu. Aku nggak menginginkan kehidupan bersamamu," tegasku.     

Aku bisa melihat kedua tangan Zen mengepal. Sampai saat ini aku belum melihat tanda-tanda adanya kekerasan. Sepertinya memang tidak akan ada kekerasan. Aku yakin sekali bahwa kedatangan Jeremy juga ingin membicarakannya dengan baik-baik.     

"Menyerahlah, Zen. Saya sudah buktikan ke kamu kalau saya akan menemukannya cepat atau lambat," ujar Jeremy dengan tegas.     

Mendadak perutku terasa sakit. Aku mencengkeram tangan Jeremy dengan kuat. Ia lantas berbalik dan aku sudha mengaduh kesakitan. Aku tidak tahu ini apa, tapi aku rasa aku akan melahirkan.     

"Daisy? Kamu kenapa, Daisy?" tanya Jeremy. Tapi sesaat Jeremy pun sadar akan sesuatu. "Panggil dokter! Cepat!" perintahnya dengan emosi.     

Aku hanya bisa mengaduh dan memanggil-manggil nama siapa pun yang ada di sana. Pandanganku sudah sedikit kabur, tapi aku tidak bisa memejamkan mataku. Rasa sakitnya sangat hebat. Lalu aku juga merasakan ada sesuatu yang basah mengalir dari area sensitifku.     

Jeremy membawaku ke tempat di mana di situlah seharusnya aku melahirkan. Persis seperti yang dikatakan Zen. Semua orang terlihat panik. Aku menatap mereka dangan mataku yang sayu dan tubuhku yang lemas.     

"Sa ... kit," lirihku.     

"Air ketubannya pecah! Siapa pun dokter itu, apakah dia sudah jalan?" tanya Jeremy berteriak.     

"Dia sedang mengarah ke sini." Suara Zen terdengar jelas di telingaku.     

Sekarang sepertinya semua orang bekerja sama untuk menyelamatkanku dan bayiku. Ah, anakku dan Raja kini akan lahir ke dunia ini. Tapi kenapa rasanya sangat sakit?     

"Ibu," panggilku.     

Ibu mendekat dan memegang keningku. Beliau mengusap rambutku dan tersenyum dengan air mata yang menderas. Ia ada di sisiku. Memegang tanganku untuk menguatkanku.     

"Kamu akan menjadi Ibu setelah ini, tetap kuat ya, Nak," ujarnya.     

Aku mencoba mengangguk, tapi aku merasa susah bergerak. Rasanya ruangan ini terasa panas. Keringatku juga seperti mengalir membasahi tubuhku. Lalu aku melihat dokter Erik datang dengan beberapa suster. Mereka langsung bergerak memasang infus pada tanganku.     

Aku menarik dan menghembuskan nafasku berkali-kali karena sepertinya bayiku sudah tidak sabar untuk keluar.     

"Kita harus mengoperasinya!" teriak dokter Erik.     

Operasi? Seperti yang dikatakan Ester? Ternyata ia ada benarnya. Aku pikir ia hanya mengatakan kebohongan agar aku terluka atau mati. Mungkin benar, aku harus melakukan cesar, karena sepertinya aku tidak kuat untuk mengeluarkannya melalui area sensitifku. Atau, aku tidak tahu bagaimana bahasa kedokteran kandungan menjelaskannya.     

"Daisy, tetap bersama aku, OK?" ujar Jeremy lalu mencium keningku.     

"Daisy, kami bius dulu, ya," ujar dokter Erik dengan lembut. Aku memejamkan mataku untuk mengiyakan ucapannya.     

Perlahan jarum suntik itu menusuk ke dalam tubuhku dengan menghantarkan sesuatu yang membuat mataku terpejama lambat laun. Suara kebisingan dan alat-alat yang berbunyi samar-samar hilang. Setelah itu aku benar-benar tidak sadar sama sekali.     

***     

Matanya terbuka dengan mengerjap beberapa kali sampai akhirnya ia menatap sekelilingnya. Di matanya semua terlihat berbeda. Ia tidak melihat seperti berada di rumah seseorang yang sudah beberapa minggu ia tinggali.     

"Daisy? Kamu sudah bangun?" suara yang ia kenal membuatnya menatap ke arah sumber dari suara itu.     

Tangannya dikecupnya beberapa kali oleh laki-laki itu dengan berjuta-juta kata syukur. "Akhirnya kamu bangun, Sayang."     

Daisy sadar akan apa yang ia dengar dan ia lihat. Tapi ia belum bisa memberikan respons yang sama untuknya. Hanya saja ia merasa senang dengan kata-kata yang ia dengar. Seperti sudah lama tidak ia dengar selama hampir beberapa minggu.     

Kemudian satu keluarganya masuk dan menatapnya. Menangis bahagia karena bangunnya Daisy dari tidur lamanya setelah melahirkan.     

"Anakku?" akhirnya Daisy berhasil mengeluarkan suara. Ia tahu dan ingat kenapa ia bisa sampai di sini. bisa bernafas lega karena akhirnya bukan berada di rumah atau pulau Zen-lah ia sekarang.     

"Dia sehat. Dia laki-laki. Persis seperti yang selama ini kita bahas," balas Jeremy.     

Sudut matanya mengeluarkan air mata kebahagiaan. Daisy tersenyum lemah dan menatap semua keluarganya dengan bahagia.     

"Terima kasih," ucap Daisy lirih.     

Kemudian dokter datang dan memeriksa kondisi Daisy. Ia hanya diam sampai dokter itu berkata dengan senyuman, "kondisinya sudah membaik. Dalam beberapa hari bisa pulang, tapi ingat ya, Daisy belum bisa bergerak banyak atau aktivitas banyak."     

"Terima kasih, dokter."     

Yang Daisy lihat saat dokter itu keluar, ia baru sadar bahwa dokter itu bukan dokter Erik. Lalu, di mana dokter Erik? Pikirnya.     

"Zen? Ke mana ... yang lain?" tanya Daisy putus-putus.     

"Dia di kantor polisi," jawab Raka.     

Seketika Daisy hanya diam dan menatap Jeremy. Meminta jawaban penuh apakah benar Zen di penjara atau tidak. Baginya, tidak mungkin semudah itu memenjarai Zen. Apalagi beserta orang-orang yang bersangkutan dengannya.     

Jeremy mengangguk pelan, membenarkan jawaban Raka. "Om Thomas yang berkuasa atas semua ini, Daisy. Kalau bukan karena beliau juga, kami nggak akan menemukanmu."     

Daisy menatap semuanya hingga ia sadar bahwa Papa tirinya itu tidak ada di pandangannya. Tapi ia bisa melihat Ibunya dan mengangguk-anggukkan kepalanya.     

"Istirahat dulu sajalah, Daisy. Setelah kamu benar-benar sembuh, kami akan bercerita semuanya."     

***     

Akhirnya Daisy bisa kembali ke rumahnya. Walau masih dalam keadaan yang lemah, tapi semuanya membaik. Ia hanya perlu beristirahat di rumah sampai jahitan cesarnya mengering.     

Daisy tidak banyak omong saat ia sudah sampai rumah. Ia masih memiliki rasa malu pada Jeremy serta keluarganya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa jika bertemu dengan keluarga Jeremy nantinya. Sementara itu, Jeremy setia menemaninya di sisinya.     

"Apa kamu mau di kamar atau duduk di ruang keluarga?" tanya Jeremy menuntunnya perlahan.     

"Ruang keluarga saja, Jer."     

Daisy duduk perlahan dalam diamnya. Rasa nyeri akibat operasi itu membuat jahitannya seperti terasa hidup. Kadang ia mengaduh, tapi setelah itu ia hanya diam ketika dirinya juga diam.     

Semua duduk di hadapannya seperti masih tidak menyangka bahwa akhirnya mereka menemukan Daisy. Thomas ada tepat di hadapannya. Ia tersenyum pada Daisy bagai seorang Ayah yang telah berhasil menemukan anaknya.     

"Senang melihatmu, Nak," timpal Thomas.     

"Terima kasih, Pa. Tapi, bagaimana kalian bisa menemukanku? Aku pikir kalian nggak akan bisa menemukanku karena Zen ... karena Zen punya segalanya," tanya Daisy perlahan dengan sesekali menghela nafasnya.     

"Sebenarnya mudah, Nak. Hanya perlu waktu dan kesabaran yang lebih banyak saja. Benar begitu, Jeremy?"     

Jeremy tampak tersenyum dan mengangguk membenarkan ucapan Thomas. "Senang bisa bekerja sama dengan Om," balas Jeremy.     

Daisy terlihat bingung. Ia belum sepenuhnya tahu rencana mereka sebelumnya. Lalu bagaimana bisa mereka memejarai Zen dan semuanya. "Tolong ceritakan bagaimana bisa. Lalu, tentang Zen yang dipenjara. Karena aku masih belum bisa memercayai itu. Rasanya ... mustahil," ucap Daisy dengan penasaran.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.