BOSSY BOSS

Chapter 43 - Jaga Jarak



Chapter 43 - Jaga Jarak

0"Aku ingin tidur di rumah Ibu. Untuk beberapa hari," kata Daisy memberitahu. Bukannya membalas ucapan Zen, ia hanya mengatakan keinginannya. Zen terkejut dengan permintaan Daisy. Baru saja ia kembali dan sekarang dengan masalah yang disebabkan olehnya sendiri, kini akibatnya Daisy ingin menetap di rumah Weiske, Ibunya.     
0

"Daisy, aku baru aja balik dan-"     

"Tolong, antar aku ke rumah Ibu. Kamu bebas untuk berkunjung, tapi untuk saat ini, aku lagi ingin di rumah Ibu," sela Daisy yang mulai bergetar.     

Zen menghela nafasnya. Ia menatap bahu Daisy yang bergetar seraya tangannya terangkat ke atas untuk meminta bill yang harus di bayarnya.     

Seakan suasana mendukung, jalanan yang teramat sepi di malam hari membuat Zen putus asa saat ia mengantar Daisy ke rumah Weiske. Ia bahkan sempat berkunjung untuk bertemu dengan mertuanya itu dan mengatakan kejadian yang sesungguhnya. Hebatnya, Weiske menerima setiap pengakuan kesalahan Zen dengan lapang. Bahkan menerima maaf Zen dengan tulus.     

Tepat pukul sepuluh malam, Zen berangsur pamit. Daisy sudah tertidur lebih dulu sehingga Zen tidak bisa berpamitan dengannya, ia hanya mempunyai kesempatan mengecup kening Daisy dan kembali ke apartemennya.     

Hidup yang biasanya sudah teratur bersama seseorang, nyatanya memang akan terlihat sangat berantakan saat Daisy tidak di sisi Zen. Baik urusan apartemen dan segalanya, Zen menjadi sangat tidak rapi. Walau pun baru tiga hari tanpa Daisy, tapi tetap saja rasanya benar-benar kosong.     

Berkali-kali Zen merutuki dirinya sendiri. Ia sendiri yang berjanji dan ia sendiri pulalah yang mengingkari. Tentu saja Daisy merasa sakiy hati. Kalau tidak ia pasti masih di sini.     

"Duh Zen, lo kondisiin dong, nafsu lo kalau begini terus. Masa lo mau terus-terusan main belakang di saat Daisy nggak ada?" Dito, sahabatnya, datang sebagai undangan dari Zen untuk menemaninya minum. Ia mengatakan hal yang memang sewajarnya saja bagi Zen agar mata dan hati Zen terbuka.     

"Gue nggak tahu kenapa sama Dera gue selalu khilaf," katanya dengan nada kesal.     

Zen memang menyesalinya, tapi bercinta dengan Dera adalah suatu hal yang belum bisa ia hindari. Sekuat apa pun gejolak dalam darahnya.     

"Terus lo mau gimana sekarang? Jangan lagi lo main sama Dera, deh! Tambah rusak urusannya nanti!" nasihat Dito.     

Ditenggaknya bir kaleng yang Zen pegang sampai habis, lalu meremasnya dan membuangnya asal di atas karpet apartemennya. Keadaannya benar-benar lusuh tak terawat.     

"Tiap hari gue datangi Daisy. Dia terlihat ... selalu menarik. Tapi ternyata dibalik hal kemenarikan dari dirinya, gue membuat dia sakit hati. Gue berharap gue bisa memperbaikinya."     

"Dan lo harus melakukan itu! Jangan lo tunda-tunda!" cecar Dito bersemangat.     

Setelah minum-minum yang tak membutuhkan untuk berada di bar, Zen tak sadarkan diri. Tentu saja Dito menginap di apartemennya mengingat ketidakstabilan sahabatnya itu. Dito juga berinisiatif menghubungi Daisy selagi Zen tertidur. Setidaknya memberitahu keadaan Zen yang sebenarnya.     

Satu jam tak lama Daisy tiba di apartemen Zen. Seakan terasa asing menginjakkan kakinya di lantai apartemen Zen setelah tiga hari ia tak berada di sini.     

Berantakan, pikirnya. Baru tiga hari tempat bersemayam Zen dan dirinya kini berantakan tak keruan. Daisy menghela nafasnya dan melihat keadaan Zen yang masih tertidur.     

"Aku nggak bisa berlama-lama di sini, Mas Dito. Aku cuma bawa masakan buat kalian. Tolong, jangan beritahu Zen aku berkunjung," kata Daisy dengan suara pelan.     

"Kamu mau sampai kapan berpisah diri begini? Zen bilang kamu sudah memaafkannya?"     

Daisy mengangguk. "Benar. Aku memang memaafkannya, tapi aku juga nggak bisa bohong kalau hatiku rasanya sakit, Mas."     

"Daisy ... kamu jatuh cinta. Kamu mencintainya," ucap Dito serius.     

Untuk entah ke berapa kali, Daisy belum siap menerima pengakuan itu. Ia mencintai Zen, seharusnya ia sendiri yang mengaku, bukan penilaian orang lain.     

"Aku masih butuh waktu untuk sendiri," kata Daisy mengalihkan.     

"Bagaimana kalau Zen sampai jatuh ke pelukan wanita lain?"     

"Mudah aja kan, Mas? Artinya dia bukan jodohku, atau dia memang nggak benar-benar serius padaku. Lagi pula, pernikahan ini di mulai karena dulu aku ... hamil, bukan?" Nada suara Daisy di akhir kalimat terasa kaku. Mengatakan tentang kehamilan dulu sangat membuatnya tersayat-sayat.     

Dito mengerti akan perasaan Daisy. Ia pun terkesima dengan kesimpulan Daisy atas pertanyaannya.     

"Aku akan di sisi Zen selama kamu nggak di sini, Daisy."     

"Terima kasih, Mas. Aku harus segera pulang."     

***     

Kebiasaan Daisy membeli buku dengan jumlah yang tak wajar terjadi lagi. Memang sih, buku-buku yang ia beli pasti ia baca hingga tuntas. Tapi juga kadang ia merasa menyesal ketika sudah membelinya. Seperti percuma namun apa dikata jika nasi sudah menjadi bubur.     

Otaknya bekerja keras menghilangkan Zen dengan cara membaca buku. Namun tetap, sejauh ia berusaha, Zen tetap di sana. Diam dan duduk di sana, di pikirannya.     

Daisy terus-menerus merasakan sakit setiap kali membayangkan bahwa Zen bersetubuh dengn Dera di belakangnya. Tubuh Zen yang menjadi miliknya, telah dibagi bersama wanita lain, tentu saja itu menyakitinya dengan sangat.     

Berulang kali Daisy menghabiskan waktu sendiri tanpa seorang teman, tapi hati memang tidak bisa bohong. Ia merindukan Zen, sebesar apa pun Zen telah menyakitinya.     

Derai air mata yang bahkan jarang ia teteskan kini terjatuh membasahi pipi. Dadanya sampai merasa sesak. Sesak yang tak biasanya ia rasakan. Hingga menjerit pun ia harus menutupi wajahnya dengan bantal. Bahkan sesekali Daisy menggigit bed covernya keras-keras agar ia bisa meredam teriakan kesedihannya itu.     

Daisy juga memilih libur dari pekerjaannya sebagai model itu. Ia benar-benar hanya di rumah dengan buku, film, dan tulisan. Semua ia tumpahkan di sana. Sampai di rasa kesedihan itu berkurang walau tidak menghilang begitu saja.     

Saat Daisy menatap wajahnya di cermin, ia bisa melihat monster di dirinya yang membuatnua begitu kurus. Sudah mengambil langkah diet, kini tulang belulang terasa sekali ketika ia memukul-mukul kecil bagian tulangnya.     

"Apakah aku mencintainya?" tanyanya pada cerminnya.     

Diam dan hening. Tentu saja cermin tidak bisa berbicara layaknya di cerita dongeng-dongeng. Ia hanya perlu meyakinkan dirinya tentang apakah ia mencintai Zen atau tidak. Sebab rasanya terasa menyakitkan ketika merindukan Zen saat tak ada di sisi. Dan menyakitkan ketika ternyata Zen adalah orang yang membuatnya juga terluka.     

"Beri aku petunjuk jika aku memang mencintainya," sekali lagi ia berkata.     

Dihirupnya udara dalam-dalam hingga ia mengusap air matanya. Mencucinya dengan air segar dan mengikat rambutnya asal. Rasa sakit itu masih ada, tapi perasaan yang mengganjal ini harus segera dituntaskan. Ia sudah menikah, tidak mungkin tidak ada perasaan yang tidak jelas yang ia rasakan. Daisy hanya perlu mengakuinya.     

"Semua mengatakan aku mencintaimu, Zen. Tapi aku sendiri belum tahu kepastian perasaanku padamu," kata Daisy seraya menyentuh bingkai foto pernikahan mereka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.