BOSSY BOSS

Chapter 106 - How We Broke Up



Chapter 106 - How We Broke Up

0"Aku tahu kamu akan datang padaku, Rei," katanya di telingaku.     
0

Kami sudah telanjang dan hanya berbalut selimut di kamarnya saat akhirnya aku dan Raja bercinta. Aku melepas kesucianku padanya, pada adik dari kekasihku. Ini adalah sesuatu yang buruk dan aku pasti akan menghadapi ini cepat atau lambat.     

"Bagaimana kamu tahu?" tanyaku padanya.     

"Tubuhmu mengatakan itu," jawabnya.     

Aku menahan rasa maluku karena tubuhku benar-benar membuatku ketahuan tentang apa yang kupikirkan. Aku menyusuri jemariku pada perut Raja yang berbentuk itu. Ia sedikit melenguh sedikit dan aku tersenyum.     

"Apa kamu nggak memikirkan bagaimana jika Raka tahu?" tanyaku.     

"Aku memikirkannya. Tapi bukan sesuatu yang harus diperbesar. Kita melakukannya atas mau sama mau, kan?"     

Aku mengangguk setuju. Tapi aku tidak bohong jika sesuatu dalam diriku merasa sangat bersalah pada Raka. Dan sepertinya terus menerus di sini bersama Raja juga adalah dosa yang ternikmat jika terus terjadi. Setidaknya aku tidak harus berada di rumahnya jika aku setidaknya menghindari sesuatu yang nikmat ini.     

Aku beranjak dan mengenakan pakaianku. Raja memperhatikanku dengan kedua tangannya bertumpu di belakang kepalanya. "Mau ke mana?" tanyanya.     

"Aku lupa ada janji dengan temanku," jawabku asal.     

"Kamu nggak kerja? Sepertinya sejak melihatmu di sini aku nggak melihat sesuatu yang mengarah kamu seperti bekerja," tanyanya.     

Aku menggeleng dengan senyuman. "Tadinya aku bekerja di hotel, tapi Raka bersikeras untuk menyuruhku nggak usah kerja."     

"Hei, tunggu!" tiba-tiba Raja menghentikan langkahku ketika aku akan keluar kamarnya. Ia mencium bibirku dan melepaskannya. "Datanglah jika kamu butuh," bisiknya.     

Aku tersenyum gugup dan keluar dari kamarnya. Saat aku kembali ke kamar Raka, aku menjadi tidak tenang. Berjalan ke sana ke mari dan mencoba berpikir jernih. Aku sudah membohongi Raka. Aku sudah membuat kesalahan padanya. Dan anehnya, perasaan ini seperti terbagi jadi dua.     

Mungkinkah aku mencintai dua orang sekaligus?     

***     

Berbulan-bulan aku terus menerus menyembunyikan hubungan sebatas seks itu dari Raka. Raja bahkan tidak keberatan jika kami hanya melakukan ini. Sampai-sampai aku kami menyewa hotel dan melakukannya di sana agar terasa lebih puas dan aman.     

Aku jadi jarang berada di rumah Raka dengan alasan Mama dan Papaku menginginkanku lebih lama tinggal di rumah. Kebohongan terus terjadi hanya demi keegoisanku.     

"Aku mencintaimu, Raja. Aku nggak bisa menghindari ini," ucapku saat itu.     

Entah bisikan dari mana, tapi yang jelas, saat malam itu di hotel, setelah kami bercinta aku mengakui isi hatiku.     

"Apapun itu, aku mau jadi kekasihmu, Raja," kataku lagi.     

Raja hanya diam dan tercengang. Ia pasti tidak memikirkan hal ini karena responsnya benar-benar terlihat terkejut.     

"Aku nggak masalah kita melakukan seks, Rei. Tapi jika berpacaran, aku—"     

"Please, jadikan aku kekasihmu, Raja," pintaku. Malam itu aku benar-benar di luar kendali tanpa memikirkan bagaimana hubunganku dengan Raka nantinya. Aku memang merasa berbeda ketika bersama Raka. Seperti perasaan untuknya semakin menipis dan tergantikan oleh Raja.     

Tanpa menunggu jawaban Raja, aku langsung ke pangkuannya dan kami bercinta lagi. Aku terus menerus memaksanya untuk menjadikanku kekasihnya dan tidak perlu memikirkan tentang Raka.     

"Apa kamu mencintaiku juga, Raja?" tanyaku ketika kami telah selesai. Aku memeluknya dan memandang kegelapan malam yang berada di luar balkon.     

"Aku mencintaimu juga, Rei," ungkapnya.     

Aku senang karena perasaanku pada akhirnya ia balas juga. Kukecup perutnya dan menatapnya. "Kita akan bersama," kataku.     

"Aku nggak mau menyakiti Raka nantinya," katanya.     

"Aku akan cari cara supaya kita bersama. Senggaknya aku harus memutuskannya."     

Raja tidak lagi membalas ucapanku hingga kami tertidur bersama sampai pagi.     

Mengenang itu membuatku sedikit tersenyum. Kalau dipikir, aku banyak salah pada Raka tapi karena rasa cintanya padaku, ia memberiku kesempatan dua kali hingga sampai ke pernikahan ini. Dan aku paham bahwa cintaku pada Raja hanya sebatas kebutuhan seks yang menyenangkan.     

Saat itu, akhirnya aku menjalani hubungan dengan dua saudara kembar di mana kekasihku pertama tidak tahu hubunganku dengan adiknya. Ada perasaan tertantang tapi juga terus menerus dikejar rasa ketakutan.     

Dari situ aku tahu seperti apa rasa bersalah itu ketika kamu tidak ingin seseorang mengetahuinya. Aku terus menerus dihantui perasaan bersalah.     

"Reina, tidurlah di sini. Kamu udah lama nggak di sini, loh. Aku mau kamu di sisiku," pinta Raka saat aku akan meninggalkan rumahnya.     

Biasanya aku langsung mengiyakan tapi tidak di saat itu. Aku seperti mempertimbangkan ajakannya seolah aku ini orang baru. Raka memperhatikanku dan aku tahu aku seperti terlihat beda di matanya.     

"Ada apa? Kamu nggak seperti biasanya," tanyanya.     

"Nggak ada apa-apa. Oke, aku akan tidur di sini."     

Raka memelukku dan menciumku setelah mendengar tawarannya aku iyakan. Melihatnya senang seperti ini membuatku juga senang. Tapi perasaan bersalah itu menetap. Dan malam itu, aku membatalkan pertemuanku dengan Raja tanpa ia ketahui.     

Apakah kalian tahu, ketika kalian memiliki sebuah kesalahan, rasanya apapun yang kalian lakukan selalu tidak benar. Tidak tenang dan terus kepikiran. Itulah yang aku rasakan saat itu. Aku tidak bisa leluasa memberi kabar pada Raja melalui ponsel padahal Raka bukanlah orang yang ingin memeriksa ponselku, tapi aku merasa takut. Sesuatu yang buruk, yang sudah kumulai sendiri membuatku masuk ke jurang itu terlalu dalam.     

Raka terus menerus menciumiku tapi aku tidak sedang bernafsu. Pikiranku dikuasai oleh Raja. Bagaimana ia di hotel itu menungguku datang? Aku bahkan tidak memberinya kabar karena rasa takutku.     

"Apa ada masalah di rumah?" tanya Raka saat ia menatapku. Aku menatap wajah kecewanya saat ciumannya tidak kubalas.     

"Hmm, yah. Mama dan Papa... bertengkar," jawabku asal.     

"Astaga, seharusnya kamu nggak aku suruh menginap kalau begitu. Apa kamu mau pulang?"     

Raka benar-benar manis dan terlihat polos. Lihat? Bagaimana satu kesalahan menjadikanku terus menerus membohonginya dengan alasan-alasan yang tidak biasa kulakukan. Padahal Mama dan Papaku bukan tipikal yang suka bertengkar. Entah Raka menyadari ini atau ia memang memikirkan mereka benar-benar bertengkar.     

Aku menggeleng. Mungkin masalah Raja bisa aku bahas besok saja, sekarang setidaknya aku harus bisa membuat Raka tidak tahu apa yang aku lakukan di belakangnya.     

"Aku mau di sini bersamamu, Raka," ujarku dan mencoba memulai ciuman.     

Paginya aku melihat Raka tidak ada di sisi. Biasanya ia sudah berangkat ke kantor dan seperti biasa aku selalu kesiangan. Aku pun turun untuk menuju dapur. Jika aku tidak masak, biasanya ada pembantu rumah tangga, jadi Raka tidak mungkin pergi dengan perut kosong.     

"Ternyata di sini kamu," suara Raja muncul di belakangku. Rambut yang acak-acakkan tanpa atasan. Suaranya benar-benar terdengar dingin dan sepertinya ia marah padaku.     

"Maaf, aku... Raka menyuruhku menginap," kataku.     

"Kenapa nggak mengabari kalau gitu? Jadi aku nggak menunggu lama, kan?" Raja mengunci pergerakanku hingga aku tidak bisa bergerak.     

Dan aku tidak tahu bahwa hari itu adalah hari kesialanku. Sesuatu terjadi dan sampai sekarang aku tidak bisa melupakannya walau Raka memaafkan dan Raja bersama Daisy. Sebab kesalahan yang kuperbuat mengikutiku hingga sekarang. Dan di masa ini, aku mencoba memperbaikinya.     

"Ayo, ikut aku keluar," tiba-tiba Raja mengajakku di saat beberapa jam yang lalu ia sedang marah padaku.     

"Eh, ke mana? Nggak biasanya?" tanyaku.     

"Aku bosan hanya ke hotel. Ayo kita ke pusat mal. Temani aku beli pakaian untuk di New York. Karena kamu kekasih pertamaku, jadi aku pengen pilihanmu untukku," jelasnya.     

"Bagaimana jika Rak—"     

"Dia nggak akan keluar kantor. Kamu siap-siaplah," timpalnya.     

Aku mengikuti keinginanya hingga kami tiba di pusat mal. Sebenarnya perasaanku sudah tidak enak, tapi aku mencoba bersikap normal karena aku memang tidak pernah berpergian bersama Raja.     

Padahal ketika insting mengatakan sesuatu yang tidak enak, biasanya benar-benar akan terjadi sesuatu. Aku hanya mencoba bersikap positif tapi memang perasaan tidak enak itu semakin mengikutiku hingga aku menoleh ke segala arah ketika Raja membawaku ke sana ke mari dengan menggandeng tanganku.     

Ada sedikit perasaan damai ketika melihat Raja senang berjalan bersamaku. Lalu kami berhenti toko berlian mal. Aku mengerjapkan mataku dan ia memilihkanku beberapa cincin yang menurutnya cocok. Ia menyuruhku mencobanya dan aku masih tidak bertanya untuk apa.     

Sampai ketika ia membayar satu cincin yang cocok untukku. Raja menatap ke segala arah dan membuatku bingung. Hingga ia bersimpuh di depanku dengan menunjukkan kotak cincin yang tadi ia beli. Dan ternyata itu untukku.     

"Reina kekasihku, Cintaku... kita sudah saling mencintai. Kita bersama untuk waktu yang cukup lama. Sekarang izinkanku untuk melamarmu. Apakah kamu bersedia menjadi istriku?" ucapannya terdengar serius dan semua pengunjung mal memperhatikan kami.     

Mataku berkaca-kaca karena aku berpikir Raka-lah yang akan melamarku. Tapi Raja mendahuluinya. Keramaian pengunjung mal yang memperhatikan bersorak untuk menerima lamaran Raja.     

Raja meraih cincin itu dan siap menyematkannya di jemariku.     

"Say yes, please!" pintanya memohon.     

Bibirku terkunci untuk beberapa waktu sampai akhirnya aku mengangguk dengan air mata yang sudah terjatuh.     

"Yes. Aku bersedia," kataku akhirnya.     

Semua bertepuk tangan seraya Raja menyematkannya ke jari manisku. Lalu Raja berdiri dan memelukku. Kami berciuman untuk beberapa menit. Untuk sesaat dunia terasa milik berdua. Semua yang menonton merasa iri. Aku merasa debaran jantungku seakan mau keluar dari tubuhku.     

"Katakan lagi," katanya melepas ciumannya.     

"Aku mau, Raja," ucapku.     

Kami tersenyum dan lagi Raja menciumku. Rasanya benar-benar tidak malu melakukan hal ini di mal ketika sesuatu seperti ini terjadi.     

"Reina? Raja?" sebuah suara yang muncul dari balik tubuhku membuat ciuman kami berhenti. Aku berbalik dan menatap Raka sudah di sana entah sejak kapan.     

Aku lalu menatap Raja yang sama sekali tidak terkejut. Ia bersikap santai sementara aku merasa gugup. Bukan seperti ini yang kuharapkan untuk memutuskan Raka. Tidak begini.     

"Kamu tahu dia datang?" tanyaku pada Raja karena sepertinya ia memang merencanakan ini.     

"Dia harus tahu, Rei. Kamu nggak bisa membiarkannya terlalu lama," ucap Raja.     

"Kalian... bersama? Dan selama ini..." ucapan Raka berhenti ketika ia perlahan mundur dengan mata sudah berkaca-kaca. Aku mencoba bergerak maju untuk mengejarnya tapi Raja menahanku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.