BOSSY BOSS

Chapter 107 - Raja



Chapter 107 - Raja

0"Ugh," suara lenguhannya membuatku semakin bergairah ketika aku bergerak di atasnya.     
0

Bercinta dengan Daisy tidak pernah membuatku merasa lelah. Yang ada saat melihatnya aku semakin berhasrat ingin bercinta. Sayangnya kami memang membuat kesepakatan untuk mengontrol aktivitas seksual kami demi kebaikan.     

Bahkan kami membuat kesepakatan bahwa waktu bercinta hanya akan di malam hari atau tengah malam hari atau di saat ketika membutuhkannya dengan sangat.     

Semua ini ide Daisy yang membuat kami untuk menjadi lebih baik. Niatnya benar-benar sangat baik. Ia tahu bagaimana harus menyampaikan sesuatu dengan bibirnya. Penuh perhatian dan pengertian.     

Dan sekarang, aku sedang bercinta dengannya hingga ia terlelap.     

Aku tidak bisa tidur jadi aku memutuskan untuk merokok di balkon. Sebelum itu aku menyelimuti Daisy yang sudah kelelahan. Kutatap sebentar wajah dan tubuhnya, lalu aku mengecup keningnya dan keluar kamar dengan menutup pintu.     

Ini sudah cukup lama sejak Daisy berniat menolongku untuk melupakan wanita sialan itu. Aku tidak ingin menyebut namanya. Tidak sekarang, setidaknya. Sebenarnya aku sudah melupakannya. Hari-hari yang diisi Daisy, tentu saja membuatku lupa akan wanita itu.     

Aku hanya belum mengatakannya pada Daisy. Ia pernah bilang padaku, jika suatu hari nanti aku sudah lupa benar-benar dengan wanita itu dan aku baik-baik saja, maka ia tidak akan lagi tinggal denganku. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Aku tidak ingin Daisy meninggalkanku.     

Kalian tidak salah menebak. Aku memang jatuh cinta dan menyukai Daisy. Aku masih ingin memastikan perasaan ini bukan hanya sekadar suka dan cinta atas dasar seks. Jadi, ada baiknya memang aku mengurangi seks dengannya untuk memastikan apakah aku benar-benar mencintainya atau karena seks saja.     

Sayangnya, berapa kali pun sudah kucoba, jawabannya sama. Ketika kami tidak bercinta karena kesibukan atau kelelahan, aku masih memikirkannya. Di kantor aku memikirkannya. Bahkan aku enggan meninggalkan Indonesia ketika seharusnya aku ke New York untuk mengurus kantor pusat, aku tidak bisa meninggalkannya.     

Entah ini perasaan terlarang atau bukan, yang jelas aku merasakan itu. Detakan jantung dan kesenangan saat berada di sekitarnya benar-benar membuatku memikirkannya. Otak dan hatiku tidak pernah pergi untuknya.     

Aku sudah sering memikirkan ini ketika sedang sendiri. Melihatnya saja membuatku bahagia. Apalagi ketika ia menunjukkan wajah tidak suka atau cemburu ketika aku menyebutkan wanita lain di hadapannya. Terakhir aku mengajak sekretarisku ke mal, itu sebenarnya adalah kesengajaan yang kubuat.     

Ini adalah rahasia... aku memiliki pengawal yang kusuruh untuk memperhatikan setiap gerak gerik Daisy saat aku tidak bersamanya. Jadi, aku selalu tahu ke mana ia pergi dan kesusahan apa yang sedang dialaminya. Maka dari itu aku sering muncul ketika ia tidak tahu bahwa aku tahu di mana ia berada.     

Mungkin besok aku akan datang ke rumah untuk berbicara pada Ibu dan Papa. Aku harus mengatakan kejujuran pada mereka soal perasaanku pada Daisy dan apa solusi juga respons yang mereka akan berikan padaku.     

***     

"Hei, Raja, maaf aku selalu kesiangan," suara Daisy muncul di dapur ketika aku membuat sarapan. Ia memang selalu bangun siang karena aku tahu ia lebih lelah di banding aku. Kalian tahu kan, bisnis online shopnya membludak dan Daisy selalu menanganinya sendiri. Yah, sebenarnya bersama Ibu juga, sih. Tapi ia yang selalu bertanggung jawab atas segala sesuatunya.     

"Morning Sunshine, cium sini dulu," ujarku menyapanya.     

Daisy mendekat dan kami berciuman untuk beberapa detik sampai aku benar-benar melepasnya dengan susah payah. Aku tidak bisa menghilangkan pikiran kotorku ketika Daisy terus menerus memakai lingerie-nya saat bangun tidur. Memang sudah menjadi kebiasaan, tapi sebenarnya seks di pagi hari itu sangat menyenangkan, hanya saja kami memang jarang melakukannya.     

"Duduk saja, aku yang membuatkan sarapan," ujarku menyuruhnya.     

Ia tersenyum dan duduk manis di kursi meja makan. Kulirik sekilas, ia sedang mengutak-atik ponselnya. Melihat orderan yang nantinya akan ia urus ketika aku berangkat kerja. Biasanya ia memang beraktivitas ketika aku sudah berangkat, jadi ia bisa tenang melakukan pekerjaannya.     

"Nanti pulang kerja aku mau ke rumah," kataku padanya seraya menaruh piring di depannya.     

Daisy menatapku dengan pandangan terkejut. Aku tahu kedengarannya aneh di telinganya karena sejak awal aku ke Indonesia, aku belum menginjakkan kaki di rumah.     

"Aku nggak salah dengar?" tanyanya dengan senyuman aneh.     

Aku menggeleng. "Ada yang mau aku bicarakan sama Papa. Obrolan sesama laki-laki." Kukedipkan satu mataku padanya dan ia mengerti. Daisy tidak pernah bertanya lebih apa yang kulakukan jika bertemu keluarga. Selama itu rahasia dan privasi, ia tidak akan bertanya jauh.     

"Apa kamu butuh aku di sana?" tanyanya.     

"Nggak usah, Dai. Tapi kalau memang kamu ada keperluan di rumah, aku nggak masalah kalau kamu mau ke rumah juga. Tapi jangan bawa mobil, oke? Biar nanti pulang sama aku aja. Kamu bisa berangkat lebih dulu. Tapi kalau kamu ada keperluan aja," kataku jelas di dengan penekanan di kalimat terakhir.     

Daisy menunjukkan jari OK-nya padaku dan memakan sarapan yang kubuat.     

Aku selalu membuat sarapan khas luar karena aku belum cukup terbiasa makan makanan Indonesia. Semua itu karena aku lebih lama menetap di New York, jika dibandingkan dengan Raka.     

Yah, sarapanku membuat Daisy malah jadi terbiasa dengan makananku. Ia tidak protes dan bahkan terkesan menurut setiap perintah atau kemauan yang aku katakan.     

Kulihat Daisy sudah rapi dengan pakaian kasualnya. Mini dress yang selalu menjadi ciri khasnya ketika ia hanya akan di rumah. Aku sudah siap dengan pakaian kantor dan tak lama aku akan berpisah darinya. Rasanya berat, kalian tahu, ketika meninggalkan seseorang yang kalian cintai walau hanya untuk bekerja.     

Aktivitas yang kami lakukan seperti pasangan pada umumnya. Tapi aku enggan mengakui perasaanku pada Daisy karena aku menebak jika aku mengakui perasaan jatuh cintaku padanya, ia akan melawan bahwa ini semua salah. Jadi, aku membiarkannya sampai solusi kudapatkan. Bahkan kalau bisa aku akan membuatnya jatuh cinta.     

"Aku berangkat. Kabari aku kalau kamu ke rumah, oke?" ujarku berpamitan.     

"Iya, iya. Hati-hati, ya."     

Kucium bibirnya sangat lama sampai gejolak ingin bercinta itu hadir, aku dan Daisy pun melepasnya perlahan. Dan aku masuk ke mobil lalu pergi dari rumah.     

Sebelum nanti aku ke rumah, aku menghubungi Papa untuk membuat janji dengan beliau bahwa aku akan ke rumah setelah pulang kerja. Reaksi beliau memang terkejut begitu tahu aku mengabarinya. Aku tahu aku terlalu lama mengurung diri. Tadinya aku berpikir bahwa aku tidak sanggup melihat wanita itu, tapi aku tahu segala sesuatu punya risiko yang harus dihadapi.     

"Gue dengar lo nanti mau ke rumah?" tanya Raka yang muncul dari luar pintu ruanganku.     

Seperti biasa, ia selalu tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. "Iya," jawabku singkat.     

"Apa lo perlu gue dan istri gue pergi?"     

"Nggak perlu. Gue baik-baik aja."     

"Oke. Kalau gitu gue pergi," katanya dan berlalu langsung.     

Kuhembuskan nafasku karena melihatnya datang dengan menawarkan diri untuk pergi bersama wanita itu. Jujur, sebenarnya ada perasaan aneh ketika Raka menyebut wanita itu sebagai 'istri'-nya. Dan aku benar-benar tidak bisa marah pada Raka. Yang bisa kulakukan hanya membalas obrolannya dengan singkat.     

Saat waktu jam kantor selesai, aku langsung menuju rumah. Daisy mengatakan bahwa ia sudah di rumah. Dia ada keperluan untuk membantu Ibunya mengelola bisnisnya, jadi aku tidak mempermasalahkannya. Padahal sebenarnya aku tahu Daisy ingin aku baik-baik saja di rumah.     

Sampai rumah aku mencoba mengatur nafasku. Keadaan latar depan rumah sedikit berubah. Ada tanaman tambahan yang aku sudah menebaknya siapa yang memiliki ide ini. Aku pun masuk ke dalam dengan ekspresi senormal mungkin.     

Saat aku masuk, ada Ibu, Daisy dan wanita itu sedang mengobrol. Tapi aku bisa melihat Daisy tidak banyak mengobrol saat ada wanita itu. Mereka semua menoleh ke arahku dan Daisy berdiri menghampiriku.     

"Hei," sapanya dengan senyumannya.     

Melihat senyumannya sudah cukup membuat perasaanku tenang. Aku pun hanya menyentuh pinggangnya dan menuju Ibu untuk menyalaminya. Saat bagian pada wanita itu, aku hanya tersenyum tipis padanya. Dia terlihat gugup di bawah tatapanku.     

"Papa?" tanyaku pada Ibu.     

"Di ruang kerjanya. Masuk saja, Nak," jawab Ibu. Aku mengangguk dan meninggalkan mereka semua ke ruangan kerja Papa.     

Bersama Papa, aku tidak perlu merasa malu atau gugup. Kami sangat dekat dan berbicara dengan beliau pun terasa santai. Jadi aku menyampaikan maksudku padanya secara langsung tanpa basa-basi.     

Sejak kecil, Papa selalu mengajarkanku dan Raka untuk langsung menyampaikan apa yang ingin kita sampaikan tanpa berbasa-basi atau bertele-tele. Memanfaatkan waktu sebaik mungkin, begitulah yang beliau ajarkan. Maka dari itu, aku dan Raka tumbuh besar dengan didikannya yang menjadikan kami laki-laki sejati. Setidaknya itulah sebutkan dariku.     

"Kamu yakin itu yang kamu rasakan padanya?" tanya Papa begitu aku menyampaikan pada beliau.     

"Aku udah sering memikirkan ini, Pa. Jadi, aku rasa iya."     

"Bagaimana dengan Daisy sendiri?" tanya Papa.     

"Dia... sepertinya, entahlah, Pa. Dia belum begitu terbuka perasaannya padaku. Aku cuma pernah dengar dia belum bisa memulai hubungan baru lagi setelah dengan Jeremy."     

Papa mengangguk mengerti. Kerutan di dahinya sepertinya membuatnya berpikir keras. Aku tahu aku menambah beban pikirannya. Aku hanya sedang butuh solusi. Untuk respons, Papa terlihat tidak marah atau semacamnya.     

"Papa harus bilang sama Ibumu sekaligus Ibunya. Walau kalian tidak sedarah, tapi senggaknya Papa juga harus diskusi sama beliau," ujar Papa.     

Aku mengangguk paham. "Aku paham, Pa. Lalu, solusi apa yang bisa Papa berikan padaku?"     

"Begini, sementara biasa saja dulu. Karena Papa juga harus bilang ke Ibumu, dan semisal mungkin beliau nggak mempermasalahkan perasaanmu atau malah sebaliknya, Papa akan panggil kamu. Oke?"     

"Oke, Pa. Terima kasih, Pa."     

Papa menghembuskan nafasnya menatapku dengan senyuman. "Papa sangat rindu anak Papa yang ini, kamu tahu."     

Rasanya bergetar sekali ketika beliau mengatakan itu. Jadi aku hanya tersenyum padanya dan kami pun berdiri.     

"Makan malam bersama kami, Nak. Makan malam tanpamu rasanya hampa," ajaknya. Dan aku tahu aku tidak bisa menolaknya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.