BOSSY BOSS

Chapter 108 - Happy If You Happy



Chapter 108 - Happy If You Happy

0Aku dan Papa keluar ruangan kerjanya dan membiarkan beliau jalan lebih dulu ke arah meja makan di mana para wanita sudah menyiapkan semuanya. Kutatap Daisy yang tersenyum padaku. Tatapannya adalah tatapan yang ingin tahu apakah aku baik-baik saja atau tidak. Jadi, untuk membuatnya tenang, aku pun mendekatinya.     
0

"I'm fine, Babe," ucapku berbisik.     

Ia tersenyum padaku dan kami pun duduk untuk mulai makan bersama. Di sisiku Daisy dan di depanku Raka juga istrinya. Rasanya aneh kembali ke rumah ini dengan tambahan orang baru yang sekarang kuanggap musuh. Apalagi sekarang aku berhadapan dengan wanita itu.     

Selesai makan malam, Ibu dan Daisy juga wanita itu membersihkan meja makan. Sementara yang laki-laki duduk di ruang keluarga untuk sekadar berbicara membahas topik-topik yang terlewati.     

Aku memilih menuju kolam renang untuk merokok sebentar. Tidak enak jika aku merokok di ruang keluarga ketika mereka semua sedang mencoba santai.     

Kepulan asap mengisi bagian kolam renang dan aku menatap air kolam yang biru karena ubinnya. Sejenak pikiranku teralihkan akan kenangan yang muncul ketika di sini, wanita itu bercinta denganku di kolam renang tanpa ada seseorang di rumah. Saat di mana ia dan aku masih bersembunyi.     

Dadaku mendadak sakit mengingatnya. Tapi tidak sangat sakit seperti awal-awal patah hati. Hanya, terasa masih membekas.     

Kenangan itu benar-benar jelas dipikiranku. Bagaimana cantiknya ia, suaranya dan tubuhnya yang memintaku menjadikan miliknya. Tawanya yang sekarang sudah tidak kudengar karena tatapan gugupnya ketika melihatku. Benar-benar rasanya menyesakkan sekali.     

Aku tahu seberapa efek cinta pertama itu di hati. Aku memang sudah tida mencintainya, tapi kenangan yang indah jadi terasa pahit ketika berpisah karena pengkhianatan. Sejujurnya aku tahu inilah karmaku ketika aku bersembunyi dengannya dari Raka. Setimpal dan benar-benar menyakitkan.     

Tidak pernah terpikirkan olehku bahwa aku akan mencintai kekasih kembaranku. Padahal kalau dipikir banyak wanita di luar sana yang mau denganku, tapi aku memilih dia. Terpikat olehnya saat itu. Sampai Daisy datang dengan dalih membantuku, malah aku yang sekarang terjerumus jatuh cinta dengan saudara tiriku. Sangat ironis dan terdengar menjijikan.     

"Raja..." suara itu, suara yang baru saja kupikirkan datang dari belakang. Aku tidak menoleh dan hanya diam di tempat dengan rokok yang masih kuhisap.     

"Aku tahu kamu nggak mau bicara padaku. Tapi, bisakah aku bicara padamu? Kamu nggak perlu menjawabnya, membalasnya atau meresponsnya. Cukup dengarkan saja," katanya.     

Gemuruh dalam dadaku rasanya ingin memakinya, tapi aku tidak ingin menyakiti hati wanita. Jadi, kubiarkan saja ia berbicara seperlunya.     

"Pertama, maafkan aku. Aku tahu permintaan maafku nggak ada apa-apanya untukmu, tapi setidaknya aku sudah minta maaf."     

Jaraknya terlalu dekat. Ia memang ada di kursi yang berbeda, tapi ini sangat dekat. Aku tidak bisa memandangnya atau melihat bagaimana ia sekarang.     

"Kedua, aku tahu hubungan macam apa yang terjadi padamu dan Daisy," ujarnya.     

Hisapan rokokku terhenti ketika ia mengatakan itu. Tapi sekali lagi, aku tidak menatapnya. Memangnya ia tahu apa tentang aku dan Daisy? Kenapa ia jadi membahasnya? Apakah Raka mengatakan sesuatu padanya?     

"Aku pernah melihat kalian... bercinta. Di kamar Daisy," singkatnya dengan gugup.     

Kuhela nafasku dan menunduk. Ternyata kami ketangkap basah olehnya. Sepertinya saat itu pintu kamar Daisy lupa aku tutup dengan rapat. Aku memang ingat saat itu. Saat di mana aku butuh bercinta dengannya, seks yang tidak terkontrol hingga lupa menutup rapat pintu. Aku memang sempat mencurigai seseorang melihat kami, tapi aku membiarkannya sampai siapapun yang melihat bertanya langsung padaku. Dan ternyata orang itu wanita itu.     

"Lalu apa hubungannya denganmu?" tanyaku akhirnya membuka suara.     

Sejenak dia diam. Kudengar nafasnya seakan memburu. Kurasa itu karena kegugupannya. Memang, di saat aku marah atau emosi, aku dan Raka memiliki sesuatu yang sama. Lebih banyak diam ketimbang bicaranya. Bahkan seolah menganggap orang itu tidak ada.     

"A-aku... hanya ingin tahu. Jawabanmu," katanya terbata-bata.     

"Ya, aku memang bercinta dengannya. Setiap hari, sampai sekarang. Puas?"     

"Raja?" suara Daisy seakan bagai penyelamat dan malaikat untukku. Ia datang mendekatiku dan menatap wanita itu. Lalu ia pergi dari hadapan kami dan Daisy duduku di sisiku.     

"Kamu baik-baik aja?" tanyanya. Aku mengangguk dan mencium tangannya. Dengan lembut Daisy mengusap-usap bahuku. Lalu kami berciuman sebentar sampai ia mengajakku kembali untuk masuk.     

Kami berpamitan untuk kembali ke rumah. Papa menganggukkan kepala padaku dengan suatu maksud. Aku jadi bersemangat ketika tahu maksudnya. Kode seperti itu hanya aku dan Raka yang tahu. Anggukan itu menandakan persetujuan. Beliau ternyata sudah mengatakan pada Ibu sampai ketika aku berpelukan pada Ibu, beliau berbisik, "cobalah lebih dalam untuk membuatnya jatuh cinta padamu."     

Dukungan sudah aku dapatkan, sekarang tinggal benar-benar membuat Daisy hanya melihat ke arahku.     

Di perjalanan pulang, perasaanku berseri-seri. Aku tidak tahu langkah apa yang bisa kulakukan untuk membuatnya jatuh cinta, tapi aku tahu aku bisa.     

"Kamu kenapa?" tanya Daisy.     

"Hah? Kenapa?" tanyaku tidak mengerti maksudnya.     

"Kamu lagi senang? Habis ketemu sama Reina?" tanyanya menyindir. Wajahku langsung kecut dan tidak meresponsnya.     

"Maaf, maaf. Bercanda. Jadi, kenapa kamu senang?"     

Aku meliriknya sebentar dan pikiran nakalku bermain sesaat. "Aku pengen dengar kamu teriak kencang karena nikmat," ucapku.     

Daisy langsung diam dan bersemu. Kalian tahu, ketika aku menggodanya, pipinya bersemu merah. Dan aku senang melihatnya. Apalagi bibirnya yang penuh dan natural itu membuatku semakin ingin bergairah.     

"Dasar otak mesum!" ejeknya tertawa.     

"Kamu suka memancing masalahnya."     

"Hah? Nggak pernah, ya. Yang ada juga kamu yang terus menerus minta."     

Aku memilih mengalah karena berdebat dengan Daisy tidak akan pernah ada habisnya. Jadi, aku tetap mengemudi sampai aku menyadari ternyata Daisy tertidur. Sepertinya ia terlalu sering kelelahan sampai membuat. Aku tidak tega membangunkannya, jadi saat sampai rumah, aku membopongnya sampai di kasur.     

Ini sudah sering kali Daisy tertidur di mobil. Aku sering mengurusnya jika ia begini. Seperti melepas pakaiannya satu per satu dan membiarkannya telanjang. Karena pada malam hari atau tengah malam, biasanya aku atau Daisy mulai mengajak bercinta.     

Kubiarkan Daisy tertidur sementara aku belum bisa benar-benar tertidur. Aku sedikit memiliki kesulitan dalam hal tidur dan selalu bangun pagi walau pun rasanya tidurku kurang.     

Ketika aku akan mengunci pintu dan jendela, aku lihat Raka datang dengan mobilnya. Padahal hari sudah malam tapi kenapa ia datang sementara aku baru saja dari rumah.     

"Ada apa?" tanyaku di teras.     

"Daisy tidur?"     

"Iya. Lo kenapa ke sini?"     

"Lo nggak mungkin ngebiarin tamu di depan, kan?" sindirnya. Aku memutar bola mataku dan menghela nafas.     

"Masuk kalau gitu," ajakku kesal.     

Raka sempat memandang kamarku di mana pintunya terbuka lebar dan menampakkan Daisy yang tidur dengan tubuh telanjang setengah tertutup selimut. Aku membiarkannya karena Raka memang tahu seperti apa hubunganku dan Daisy.     

"Apa maksud dari anggukkan Papa? Lo merencanakan apa?" tanya Raka langsung.     

"Soal Daisy dan gue. Kenapa? Apa bini lo penasaran?"     

"Kenapa jadi bawa-bawa Reina?"     

Aku mendengus kesal. Sepertinya Raka tidak tahu kalau istrinya tadi mendatangi gue. Tapi tetap gue ceritain semua sama Raka tanpa ada yang aku tutupi darinya. Sudah cukup hubungan sembunyi-sembunyi itu menyakitinya, aku tidak bisa menyakiti kembaranku lebih dalam walau kami tanpa sengaja menyakiti satu sama lain.     

"Sorry, gue nggak tahu kalau dia tanya hal itu ke lo. Gue pikir dia bakal diam aja sesuai perintah gue," katanya menyatakan perasaan menyesal.     

"Kita tahu dia bukan tipikal yang mudah diperintah, Raka. Jadi sebaiknya jangan terlalu memerintahnya," ujarku.     

Aku ingat bagaimana wanita itu susah untuk diperintah atau menurut padaku. Ia lebih berkuasa atas apa yang menurutnya salah dan benar. Ya, hanya dia yang tahu. Tapi dia juga merasa takut dan bersalah ketika ia melakukan kesalahan. Sulit memahaminya sejak dulu.     

"Dan apa yang lo akan lakukan untuk Daisy?" tanya Raka kembali ke topik awal.     

"Gue mau buat dia jatuh cinta."     

"Raja... Daisy itu nggak mau memulai suatu hubungan yang serius. Seharusnya lo tahu itu."     

"Gue tahu. Dan gue nggak buru-buru. Gue cuma mau buat dia jatuh cinta perlahan-lahan. Dan tentunya nggak ada yang bisa ambil dia dari gue."     

Raka berdecak dan ia menggelengkan kepalanya mendengarku mengatakan hal itu. "Sebaiknya lo bicarain dulu soal perasaan."     

"Gue tahu apa yang gue harus lakukan, Raka."     

"Kalau emang udah keputusan lo, yah mau gimana lagi." Tiba-tiba Raka berdiri     

"Udah gitu aja?"     

Dia mengangguk dengan cengiran lebar. Baru kali ini aku melihatnya tersenyum lebar. Sepertinya dia kelihatan bahagia dengan wanita itu.     

Aku menuntunnya keluar rumah dan ada perasaan ini bertanya sesuatu padanya. Setidaknya memberinya sedikit perhatian.     

"Raka," ucapku.     

Ia menoleh padaku sebelum masuk ke mobilnya.     

"Apa lo bahagia dengannya?" tanyaku.     

Raka memikirkan pertanyaanku yang pastinya terdengar aneh di telinganya. Tapi ia sepertinya memilih tidak menjawab dengan pertanyaan melainkan dengan jawabannya sendiri.     

"Gue bahagia, Raja. Lo lihat efek apa yang dia bawa sampai gue merasa gue sedikit berubah?"     

Benar. Dia memang sedikit berubah. Tidak sekaku dulu. Lebih peduli dan cerewet seperti Raka yang dulu sebelum aku mengkhianati persaudaraan kami. Dia berubah kembali ke Raka yang dulu, lebih tepatnya.     

"Gue nggak tahu seberapa sakitnya lo saat awal dulu, tapi gue sayang sama lo, Raja. Dan gue minta maaf buat semua yang harus menimpa sama lo. Tapi melihat lo sekarang baik-baik aja, gue semakin bahagia," jelasnya.     

"Seharusnya gue yang minta maaf dari awal. Merebut sesuatu yang seharusnya milik lo. Dan gue senang kalau lo bahagia melihat gue baik-baik aja."     

Raka menepuk-nepuk pundakku lalu ia naik ke mobilnya dan meninggalkan rumah. Aku berbalik dan melihat Daisy berdiri di depan pintu dengan selimut menutupi sebagian tubuhnya. Ia tersenyum padaku dengan sensual. Membangkitkan sesuatu yang ada pada tubuhku.     

Aku masuk ke dalam rumah dan Daisy melepas selimut itu hingga menampakkan tubuh seksinya yang tanpa busana itu.     

"Ayo, aku menanti bahagiamu dimilikku," ajaknya menggoda.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.