BOSSY BOSS

Chapter 112 - Pregnant Girl



Chapter 112 - Pregnant Girl

0Semalaman aku tidak bisa tidur. Daisy membuatku tidak bisa tidur setelah kami bercinta seperti biasanya. Mendadak di saat ia sedang terlelap, tiba-tiba tubuhnya panas dan menggigil kedinginan. Aku jelas panik dan mencoba mengompresnya.     
0

Sekarang ia masih terlelap dengan wajah yang memucat. Tidak seperti biasanya ia sakit begini. Aku langsung memanggil dokter pribadiku. Sebenarnya dokter itu adalah teman SMA-ku. Namanya Dio.     

Setelah Dio melakukan pemeriksaan pada Daisy, aku bertanya bagaimana keadaannya.     

"Dia cuma kelelahan sih, Ja. Tapi ada satu berita yang nggak tahu ini baik atau buruk ya buat kalian," kata Dio memberitahu.     

"Apa? Bilang aja ke gue."     

"Daisy hamil. Dia pernah keguguran, kan? Nah, menurut pemeriksaan gue, dia keguguran karena tubuhnya terlalu lemah. Apa benar?"     

Aku mengangguk sekaligus terkejut. Mengangguk karena mengiyakan kebenaran Daisy gugur karena tubuhnya lemah. Daisy sempat cerita. Dan terkejutnya karena dia hamil.     

Saat bersama Reina, dia tidak pernah hamil sekalipun. Padahal kami sama-sama pakai pengaman. Tapi, bersama Daisy memang ada beberapa kali tanpa pengaman ketika bercinta secara dadakan.     

"Lo kenapa, Ja?" Dio membuyarkan lamunanku.     

Kulirik Daisy sebentar yang masih terbaring lemah, lalu aku mengajak Dio keluar.     

"Ada apa?"     

"Berita kehamilan itu, sebaiknya lo sendiri yang bilang ke dia. Gue Cuma mau lihat seperti apa responsnya. Apa dia nantinya sembunyiin dari gue atau nggak. Bilang aja kalau gue belum tahu, oke?" jelasku padanya.     

"Kenapa?"     

Aku menjelaskan pada Dio segalanya sesuai inti permasalahan. Aku hanya ingin Daisy tidak merasa terpuruk karena kehamilannya. Tentu saja aku mau bertanggung jawab, tapi aku perlu tahu juga bagaimana responsnya mengenai kehamilannya yang kedua kalinya.     

Pastinya keguguran di kehamilan pertama itu membuatnya terpuruk. Dan aku tidak ingin Daisy merasakan itu lagi.     

"Oke. Gue paham kalau lo jelasin masalahnya," kata Dio mengerti.     

"Kalau gitu, santai dulu aja sambil nunggu dia bangun. Oke?"     

Dio mengangguk dan aku menyajikan suguhan untuknya. Pikiranku terus tertuju pada kehamilan Daisy. Apa dia tidak menghitung tanggalnya? Atau dia belum sadar? Jika memang sebuah kesengajaan, artinya Daisy menginginkan anak.     

Rasanya aneh berspekulasi sendiri tanpa bertanya lebih dulu padanya. Sebaiknya memang aku menunggu responsnya saja dan apa yang akan ia lakukan.     

"Raja?" suara Daisy yang terbangun membuat aku beranjak. Aku menatap Dio dan mengangguk padanya. Kubiarkan ia yang masuk lebih dulu sementara aku berada di luar.     

Beberapa menit setelahnya, Dio keluar dari kamarnya dan menyuruhku masuk ke dalam.     

Kulihat Daisy yang tersenyum kepadaku. Ia terlihat sangat pucat.     

"Hei," sapaku mengecup keningnya.     

"Apa Ibu dan Papa tahu aku sakit?"     

Aku menggeleng. Mereka sengaja tidak kuberitahu selama bisa kuatasi sendiri.     

"Bagaimana keadaanmu? Apa kamu butuh sesutau?" tanyaku.     

"Nggak ada. Tadi itu temanmu?"     

"Iya. Teman masa SMA."     

Entah kenapa Daisy tidak membahas mengenai kehamilannya padaku. Apakah ia sengaja?     

"Dia bilang apa aja soal aku sakit?" tanyanya.     

"Kamu hanya terlalu kelelahan. Itu saja. Apa dia mengatakan hal berbeda?"     

Matanya terlihat sedih, tapi aku tidak tahu kenapa. Yang jelas ketika aku hanya menjawab itu, Daisy mengangguk dan mengatakan bahwa Dio juga mengatakan hal yang sama juga.     

Kubiarkan ia beristirahat sementara aku keluar untuk berbicara pada Dio.     

"Bagaimana tadi, Dio?" tanyaku ingin tahu.     

"Dia kelihatan syok. Dan satu lagi yang dia bilang ke gue," ujae Dio.     

"Apa?"     

"Jangan sampai Raja tahu kalau aku hamil," katanya mengikuti gaya bicara Daisy.     

***     

Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran Daisy mengatakan hal itu pada Dio. Seharian bekerja aku memikirkan itu. Bagaimana ia di rumah dan bagaimana kehamilannya? Apakah dia pikir aku bodoh? Tentu saja aku akan bertanggung jawab untuk kehamilannya. Bagaimanapun akan kulakukan.     

Tadi pagi Daisy hanya diam. Aku tahu ia mencoba menyembunyikan gejolak perasaan kejutnya karena kehamilan itu. Tapi aku bisa merasakan bahwa ketakutannya menghantuinya.     

Sementara ini juga kami tidak bercinta karena aku masih ingin Daisy dalam keadaan sehat. Lagipula, aku sedang memikirkan langkah selanjutnya.     

Mungkin aku harus membicarakannya pada Ibu dan Papa.     

Sebenarnya aku sendiri tidak tahu apakah aku siap memiliki anak atau tidak. Tapi jika aku harua bertanggung jawab, maka akan kulakukan.     

Aku memang meminta Diasy untuk menikah denganku, tapi bukan berarti juga aku menginginkan anak. Namun jika memang sudah saatnya, maka aku harus.     

Atau sebaiknya aku berbicara dulu pada Daisy. Iya, mungkin bicara dengannya lebih baik.     

Saat sampai rumah, aku melihat lampu rumah belum menyala. Gelap gulita dan aku tidak melihat mobil Daisy. Aku pun langsung masuk dan menyalakan lampu rumah lebih dulu.     

Kupanggil-panggil Daisy walau aku tahu ia tidak ada. Ke mana dia pergi? Dia tidak memberi kabar apapun padaku.     

Aku mulai panik dan menghubunginya. Nomornya aktif, tapi panggilanku tidak dijawabnya. Ada apa dengannya?     

Tidak ada jejak apapun yang Daisy tinggalkan untukku. Apakah ia lari karena kehamilannya? Tidak! Aku tidak bisa membiarkannya pergi. Tapi aku tidak tahu pergi ke mana dia.     

Sial, sial, sial!     

Mendadak semua jadi terkoneksi. Sepertinya Daisy kabur karena ia takut dengan kehamilannya. Oke, aku akan ikuti dan tetap pantau sampai mana Daisy bersikap seperti ini.     

"Ba-bagaimana Daisy bisa kabur?" tanya Ibu saat aku memberitahunya juga Papa mengenai kaburnya Daisy.     

"Dia hamil, Bu. Aku rasa dia takut dengan kehamilannya."     

"Apa? Bagaimana dia hamil? Raja, kenapa nggak bilang Ibu dari awal?"     

Aku tahu aku sudah salah sejak awal. Tapi memang tadinya aku mau membicarakannya dulu dengan Daisy. Sekarang siapa sangka dia malah melarikan diri seperti ini.     

"Aku… baru aja mau bicara dengan kalian setelah aku membicarakannya lebih dulu dengan Daisy."     

Ibu menangis. Papa hanya diam. Aku tahu diamnya Papa artinya sedang berpikir. Tapi tatapan mata Papa seperti berbeda. Kali ini ia seperti enggan menceritakan sesuatu padaku.     

Aku meninggalkan orang tuaku dan segera bertindak untuk mengerahkan anak buahku.     

Setelah itu aku masuk ke dalam kamar. Merasa tidak tenang dan mencari ke sekeliling tempat yang barangkali Daisy menaruh sesuatu untukku. Dan benar sesuai firasatku, Daisy meninggalkan sepucuk surat untukku yang ia letakkan di lemari pakaianku. Aku bisa tahu karena aku memang mencari-cari tidak peduli jika berantakan.     

Isi surat itu menjelaskan bahwa kepergiannya memang karena ia hamil. Daisy tidak ingin kehamilannya membuatnya depresi, oleh sebab itu ia berencana menggugurkannya. Ia bahkan minta maaf padaku karena tidak menceritakan ini padaku. Menceritakan bahwa ia sedang hamil. Padahal sebenarnya aku sudah tahu lebih dulu. Dan sekarang, Daisy sedang mencari cara untuk menggugurkan kandungannya dengan cara legal.     

Sial! Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Memangnya apa yang salah dengan memiliki anak?     

Malam ini aku akan nonstop mencarinya. Ke mana pun sambil tetap menunggu kabar dari anak buahku.     

***     

Tidak diragukan lagi kemampuan anak buahku, dalam waktu tiga hari mereka berhasil menemukan Daisy. Ia ternyata selama ini ada di rumah Ama. Bagaimana mungkin aku tidak bertanya pada Ama saat itu? Memikirkannya pun tidak terlintas dalan benakku.     

Aku membiarkan Daisy sementara begitu dulu daripada aku menyergapnya langsung dan membuatnya terkejut. Sebaiknya biar begitu, apalagi aku yakin, bersama Ama ia pasti aman.     

Aku juga menyuruh anak buahku untuk terus memantaunya dan memberi kabar. Ke mana pun Daisy kusuruh mereka untuk melaporkannya.     

Sebelum terlambat, setidaknya aku harus mengajak Ama untuk bekerja sama. Ia pasti tidak ingin Daisy menggugurkan kandungannya.     

Beruntung aku memiliki nomor Ama, jadi aku langsung menghubunginya sesegera mungkin.     

"Halo, Ama. Ini Raja," ucapku ketika panggilanku iawab.     

***     

Menurut informasi yang kudapat dari Ama. Daisy memiliki janji dengan seorang yang ahli dalam menggugurkan kandungan dua hari lagi. Ama sendiri tidak tahu apakah itu dokter atau bukan. Katanya Daisy masih menutupi sebagian darinya. Ia hanya meminta Ama untuk menerimanya di rumahnya sementara waktu.     

Aku menyuruh Ama untuk mengajaknya atau memakai alasan lain untuk bepergian sebentar yang sebenarnya bertemu denganku. Ama pun menyetujui ideku lantaran katanya aku benar-benar terlihat sangat mencintainya.     

Bersyukur Ama bisa diajak bekerjasama. Ada sedikit kelegaan di hati walau aku sempat ragu dengan waktu yang bisa saja membuatku terlambat mencegah Daisy bertindak.     

Rasanya kepalaku pusing. Khawatir tentu saja. Tapi satu yang pasti, aku tidak ingin kehilangan Daisy maupun darah dagingku sendiri.     

Selama beberapa jam, aku terus menerus menghubungi Daisy. Entah keberapa kalinya hingga satu panggilanku ia jawab.     

"Daisy?" tanyaku.     

Ia hanya diam. Tapi aku bisa mendengar hembusan nafasnya.     

"Aku mohon kembalilah. Kita bicara baik-baik, oke?" pintaku. Barangkali dengan berbicara seperti ini bisa membuatnya kembali dan aku tidak perlu menyusahkan Ama.     

"Aku baik-baik aja, Raja. Kalau itu yang mau kamu dengar." Suaranya begitu terdengar rapuh.     

Sekarang aku mendengar isak tangisnya. Benar-benar terdengar jelas. Ia pasti sangat merasakan sedih dan terpuruk.     

"Maafin aku karena membuatmu hamil," ujarku.     

"Ini semua salahku," tambahku sekali lagi.     

"Aku nggak bisa… hamil, Raja. Tubuhku yang lemah… janin ini… tidak akan berkembang di tubuhku. Kamu… harus tahu itu," katanya terbata-bata.     

Aku tahu itu. Aku tahu betapa ia lemah ketika harus hamil. Tapi siapa yang sangka kalau ada kehendak yang memberikan calon bayi di rahimnya?     

Kuredam emosiku sebisaku. Aku tidak ingin Daisy merasa semakin terpuruk jika aku emosi.     

"Please, don't!"     

"Raja… aku nggak mau menyiksa anak kita… nantinya, jika ia tetap di rahimku… ba-bagaimana jika ia meninggal di dalam? Atau… atau katakanlah ia kuat sampai lahir, lalu… lalu hidupnya penuh dengan kesakitan… karena bawaan dari Ibunya? Dari aku?"     

Aku memejamkan mataku mendengar semuanya. Terdengar sangat menyakitkan hingga ke ulu hatiku. Rasanya aku sangat merasa sakit ketika ia mengatakan itu.     

"Kembali, Daisy. Pulanglah. Kita bicarain, oke? Jangan takut, Babe," tuturku lembut.     

Daisy hanya diam. Ia tidak membalas ucapanku. Membuatku sedikit frustrasi karena bingung harus melakukan apa selain menunggu pertemuan dengan Ama dan ia nantinya.     

"Maafin aku, Raja. Aku… harus. Maafin aku!" katanya lalu memutuskan panggilanku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.