BOSSY BOSS

Chapter 116 - Feeling Jealous, Comfy & Loved At The Same Time



Chapter 116 - Feeling Jealous, Comfy & Loved At The Same Time

0Jujur aku bingung dengan sikap Zen yang seperti itu. Dia sama sekali tidak berubah, terhadapku. Dengan alasan masih cinta juga ingin seorang anak dan tidak mau kehilangan dia bahkan membiarkan Rosi melahirkan anaknya tanpa menikahinya.     
0

Sepanjang perjalanan pulang aku hanya diam walau Reina berusaha berbicara padaku.     

"Kamu nggak akan bilang ke Raja kan, Reina?" tanyaku akhirnya. Mengingat Reina sangat senang sekali mencampuri urusan orang, aku harus memastikannya.     

"Nggak, Dai. Aku… nggak mau campur tanganku membuat pertikaian."     

Aku bernafas lega setelah mendengarnya. Memang itulah yang kumau. Apalagi ini menyangkut suamiku dan mantan suami.     

Perpisahan kami tidak dengan cara yang baik-baik, maka aku juga tidak ingin ada hal buruk menimpa keduanya.     

"Dia bicara apa aja?" tanya Reina.     

"Yah, tentang perasaannya. Masih sama dan begitulah."     

"Lalu dia ngapain ke salon Ibu hamil?" tanyanya.     

Reina belum tahu tentang Rosi. Mereka sempat bertemu, tapi dia belum tahu. Jadi, kuceritakan saja padanya dengan jelas, tentu saja awalnya aku bertanya dulu apakah dia bisa dipercaya atau tidak. Dan Reina pun mengatakan bahwa aku bisa mengandalkannya. Apalagi sekarang ia paham bagaimana karakterku.     

"Ya, ampun. Nggak habis pikir, ya?!" responnya kesal dengan Zen juga Rosi.     

Aku mengulum senyum tipis. Sebenarnya tidak semua aku ceritakan padanya karena biarlah ia sedikit tahu intinya agar tidak melulu bertanya jika suatu saat nanti aku dan Zen juga dia sering bertemu. Entah kenapa perasaanku mengatakan demikian.     

"Untunglah kamu sudah nggak sama dia. Aku nggak yakin dia akan berubah, Dai. Kamu masih bersamanya pun saat dulu, dia belum berubah juga," kata Reina.     

Benar. Zen dengan yang dulu saat bersamaku, walau ia menyimpan rahasianya, pada akhirnya aku juga tahu; ternyata sama saja dengan dirinya yang sekarang.     

Rosi… kuacungkan jempol karena ia masih kuat bertahan dengan Zen. Tapi jauh di lubuk hatinya dia pasti sangat merasa tersakiti.     

Sampai rumah, aku dan Reina masing-masing kembali ke kamar. Kubuka ponselku dan melihat banyaknya panggilan tak terjawab dari Raja. Saat kulihat pengaturan modeku, ternyata aku memilih mode diam, jadi tentu saja aku tidak tahu jika Raja menghubungiku.     

"Daisy, kenapa baru sekarang menghubungiku? Aku daritadi telepon, loh!" tanya Raja cemas saat aku memutuskan untuk menghubunginya.     

"Aku nggak sadar kalau mode hapeku ternyata diam. Jadi, aku sama sekali nggak tahu kamu menghubungiku. Maaf."     

"Ngapain dia ada di salon?" tiba-tiba Raja bertanya setelah mendengar penjelasanku.     

Dia? Dia siapa yang ia maksud?     

"Dia. Zen, maksudku. Ngapain dia di sana? Aku meneleponmu karena tahu dia ada di sana," katanya seolah tahu pemikiranku.     

Entah bagaimana Raja tahu bahwa aku tidak sengaja bertemu dengan Zen, tapi yang jelas akhirnya aku menceritakan semuanya pada Raja. Aku tidak ingin menutupi apapun sekalipun tadi aku bertanya pada Reina untuk tidak memberitahunya.     

"Tapi kamu nggak apa-apa?" tanya Raja.     

"Yah, sebenarnya aku merasa gugup tadi. Jadi keingat yang lalu, tapi aku tahu aku harus menerima masa lalu, bukan?"     

"You'll be fine, Babe. I'm sure. Aku akan pulang lebih awal, I miss you."     

Raja bisa mengembalikan goodmood-ku di saat aku merasa badmood. Sungguh beruntung memilikinya. Aku jadi tersenyum ketika ia mengatakan itu.     

"I miss you more," balasku.     

"Aku tutup, ya. I love you!"     

Belum sempat aku balas, ia sudah menutup lebih dulu. Sepertinya ada pekerjaan yang lebih penting untuk ia kerjakan.     

Oh ya, kalian perlu tahu satu hal juga. Aku tidak jadi bekerja di kantornya. Mengingat kondisiku yang hamil, Raja tentu tidak mengizinkanku untuk bekerja yang berat-berat. Walau menjadi sekretaris pun, atau pekerjaan yang hanya duduk     

Kuhela nafasku dan kemudian aku keluar kamar karena merasa jenuh berada di dalam kamar.     

Ibu sepertinya sedang mengurus bisnis online shop-ku. Jadi, aku mendatanginya sekaligus berbicara santai dengannya mengingat sudah lama sekali tidak memiliki obrolan empat mata.     

"Loh, nggak tidur? Istirahat saja, Daisy," celetuk Ibu melihatku yang sudah berada dekat dengannya.     

"Aku bosan, Bu, di kamar. Jadi, gimana Bu? Ramai?"     

"Iya. Ramai. Ibu senang kamu menjadikan Ibu tangan kananmu, he he he. Jadi punya kerjaan selain urusan rumah."     

Syukurlah kalau beliau senang, aku juga senang.     

"Kalau butuh sesuatu lapor ya, Bu. Aku setiap malam rutin cek stok, kok. Jadi, kalau misal kehabisan, nggak usah Ibu lapor, aku pasti langsung bergerak. Tapi kalau ada sesuatu selain stok, lapor aja, Bu," ujarku.     

"Iya, Daisy. Ibu ngerti. Bagaimana kehamilanmu? Apa merasa sesuatu?"     

"Sebenarnya sejak kehamilan, aku sering capek, Bu. Memang dari awal tubuhku lemah kan, kalau hamil. Tapi aku mau mempertahankan dia," jawabku pada Ibu.     

Ibu sejenak dia. Aku yakin beliau juga teringat saat pertama kehamilanku bersama Zen.     

"Yang penting obat yang dokter kandungan itu kasih, kamu tetap minum, ya."     

Aku mengangguk. Memang itu salah satu cara membantu daya tahan tubuhku tetap stabil walau aku merasa lelah sekalipun. Setidaknya aku cukup mampu berdiri karena obat-obatan itu.     

"Bu," panggilku. Beliau bergumam sebagai jawaban.     

"Tadi aku bertemu Zen," kataku memberitahu.     

Ibu terlihat biasa saja. Aku memperhatikannya sampai ia menatapku. "Jangan menatap Ibu seperti itu, Daisy."     

"Ibu kelihatan biasa," kataku.     

Beliau malah mengedikkan bahunya sambil tetap mengemas barang pesanan. "Kamu mau Ibu reaksi apa? Ibu yakin sejak dulu, Zen nggak akan leas begitu saja dari hidupmu."     

Nafasku benar-benar tecekat mendengar Ibu berkata begitu. Beliau merasakan itu dan aku memang selalu bertemu dengannya di momen-momen tertentu.     

"Bersikap biasa aja kalau ketemu dengannya. Kamu sudah punya suami, untuk apa kan, mencemaskan yang lalu?" kata Ibu menasihatiku.     

Kuanggukan kepalaku walau perasaanku jadi tidak enak sejak Ibu mengatakan itu. Sebab terkadang Ibu diam-diam andil dalam kehidupanku tanpa kuketahui.     

Suara mobil Raja terdengar membuatku tersenyum. Aku pun langsung menuju pintu untuk menyambutnya.     

Saat melihat senyumnya, aku merasa bersyukur memilikinya. Raja langsung memelukku dan mencium bibirku seperti biasa.     

Ditatapnya wajahku dengan lekat. "Cantik," katanya memuji.     

"Dalam rangka apa pulang cepat?" tanyaku padanya.     

"Kangen kamu, istriku. Apalagi?" jawabnya.     

Aku tersenyum mendengarnya. Walaupun kedengarannya aneh jika ia menjawab itu, tapi aku tidak mempermasalahkannya. Aku sih, mengira Raja pulang karena tahu akh bertemu dengan Zen tanpa sengaja.     

Raja mengambil minum di dapur. Tadinya aku ingin mengambilkannya tapi ia melarangku dan menyuruhku duduk saja.     

"Dia perhatian," bisik Ibu padaku.     

Aku memperhatikan dirinya yang berada di dapur meminum air mineral. Saat itu juga aku melihat Reina masuk ke dapur. Keduanya terlihat canggung sementara Reina berusaha tersenyum padanya.     

Aku melihat Reina juga berbicara dengan Raja. Aku sendiri tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi aku penasaran dan ingin tahu.     

Raja menatap ke arahku yang sedang memperhatikan mereka. Aku pun membuang muka karena merasa menginterogasinya. Tapi aku juga merasa sedikit cemburu melihat mereka. Apalagi mereka pernah bersama dan berada di satu ranjang.     

Dadaku rasanya bergemuruh, mataku memanas padahal seharusnya aku tidak merasakan ini. Ini berlebihan. Reina sudah bersama Raka, apalagi yang harus kucemburui dari mereka.     

Aku langsung berpindah menuju kamar. Rasanya aku sangat lelah mengamati dua orang itu.     

Kubaringkan tubuhku dan berusaha bernafas normal. Rasanya sesak. Bukan rasanya lagi, tapi tiba-tiba aku merasa sesak.     

"Daisy, hei… kamu kenapa?" Raja muncul di kamar. Sepertinya ia langsung ke sini setelah aku berpindah.     

Aku menggelengkan kepalaku. "Nggak apa-apa."     

"Are you mad at me?" tanyanya padaku.     

Aku tidak bisa menahan air mataku saat tangannya meraih daguku dan menatapku. Entah kenapa rasa sensitifku tiba-tiba muncul begitu saja. Melemahkanku di hadapannya.     

Raja langsung memelukku. Memang itu yang kubutuhkan selain penjelasan. Walaupun aku tahu di antara mereka tidak ada sesuatu yang terjadi.     

"Maafin aku, Sayang. Inilah kenapa sebisa mungkin aku menghindarinya. Aku nggak mau kamu lihat tadi dan menangis seperti saat ini," katanya menjelaskan.     

"Aku… yang seharusnya minta maaf. Padahal aku tahu kamu dan dia sudah nggak ada apa-apa. Aku… hanya… takut masa lalu terulang… kembali," ucapku terbata-bata.     

Ia mengusap rambutku dan mencium dahiku berulang-ulang. Dasar Daisy, cemburuan sekali aku!     

Aroma khas Raja benar-benar semakin menenangkanku. Kemaskulinannya sangat nyaman dan membuatku lupa akan apa yang baru saja terjadi padaku.     

Jadi aku menyentuh rahangnya dan mengecup-kecup wajahnya. Aku sedang tidak ingin bercinta, tapi aku ingin mengecupnya seperti ini saja.     

Raja terkekeh dan menghentikan aktivitasku. "Hei, aku punya kabar baik," katanya.     

"Hmm?" gumamku bertanya.     

"Bulan depan, kita ke New York. Back to my apartment," ujarnya memberitahu.     

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Aku pernah di sana untuk menemaninya dalam jangka waktu lama hingga membujuknya kembali ke Indonesia saat pernikahan Raka. Dan sekarang, ia mengajakku kembali ke sana.     

"Gantian aku yang memantau kantor pusat, Daisy. Dan aku mau kamu ikut," katanya yang sudah pasti aku tidak bisa menolak.     

"Oke. Kita pergi," sergahku kembali mengecupnya.     

Lagi-lagi Raja tertawa melihat tingkahku. Tangannya yang mulai nakal membuatku semakin merinding. Tapi aku memang sedang mengerjainya, jadi aku berhenti menciumnya ketika tahu dan merasakan miliknya yang sudah mengeras.     

"Aku capek," kataku jahil.     

Raja mengerang frustrasi, tapi ia tidak protes atau kesal padaku.     

"Kalau begitu tidurlah. Nanti malam kita pulang," katanya.     

Kutatap dirinya yang berdiri melepaskan kemejanya hingga ia telanjang dada. Benar-benar membuatku bergairah menatapnya seperti itu. Ototnya yang kekar. Rambutnya yang mengenakan minyak rambut sehingga kelihatan rapi, membuatku semakin menginginkannya.     

Raja berbalik melihatku. Mungkin tadinya ia mau memeriksaku, tapi aku malu karena ketangkap basah menatapnya.     

Alisnya terangkat satu dan ia mulai mendekat.     

Tubuhnya menindihku. Tapi tidak menekankannya. Hanya berpangku pada tangannya yang berada di sisi kepalaku.     

"Apa?" tanyanya menghujaniku dengan ciumannya.     

Aku merasa geli dan tertawa kemudian. Lalu aku mengalungkan tanganku di lehernya dan menciumnya.     

"Aku mencintaimu," kataku padanya.     

"Jadi itu alasanmu sedari tadi melihatku, huh?" tanyanya menggodaku.     

Kuanggukkan kepalaku padanya dan mencium telinganya. Kali ini sepertinya Raja tidak membiarkanku untuk tidur karena kecupanku di telinganya membangkitkan gairahnya.     

"You know I love you more, Daisy," ucapnya dan mulai menelanjangiku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.