BOSSY BOSS

Chapter 127 - I Felt It



Chapter 127 - I Felt It

0"Sudah lama aku nggak lihat kamu sesenang ini, Dai," ujar Jeremy di tengah sepinya suasana ini.     
0

Angin yang berhembus cukup pelan, menerpa rambutku dan kulitku yang merasa dingin akannya.     

Kutatap Jeremy dan tersenyum padanya. Dia benar-benar sangat baik padaku selama ini. Tapi aku juga tidak bisa memberinya lebih dari ini. Tidak saat ini, tidak sekarang.     

"Terima kasih, Jer. Aku senang karena akhirnya aku benar-benar bisa tersenyum," kataku lembut.     

Jeremy mengacak-acak rambutku. Aku cukup merasa tak keruan ketika siapa pun mengacak-acak rambutku. Rasanya aneh sekaligus senang bercampur aduk.     

Sejenak kami diam dalam sunyi yang sepi. Sebenarnya ada sebuah warung lesehan yang berisikan orang-orang nongkrong. Tapi ternyata suara mereka tidak seramai jumlah mereka. Bahkan terdengar sunyi di telingaku.     

Karena malam sudah larut, aku meminta Jeremy untuk mengantarku pulang.     

Sepanjang perjalanan, kami terdiam cukup lama. Jeremy sepertinya merasakan kekakuan di antara kami. Aku bisa mendengar ia menghela nafasnya beberapa kali.     

Kutatap wajah teduhnya yang oriental itu. Ia terlihat tampan di bawah sinar yang meneranginya.     

"Kenapa, Daisy?" tanyanya mengejutkanku.     

Aku tergugup karena mendengar pertanyaannya yang tiba-tiba itu. Tidak munafik aku kalau aku merindukan kasih sayang dari seseorang yang menyayangiku. Tapi masalahnya aku belum bisa menerima siapa pun saat ini.     

"Bukan apa-apa," kataku membalasnya.     

Jeremy terkekeh. Aku menahan maluku karena ketika ia terkekeh, jujur saja, ia terlihat tampan. Aku hampir menatapnya lama sebelum sadar bahwa nantinya Jeremy akan bertanya lebih jauh.     

"Yakin bukan apa-apa?" tanyanya menggoda.     

Untungnya aku tidak sempat menjawab karena kami sudah sampai rumahku. Jeremy dan aku pun keluar bersamaan. Ia mengantarku sampai depan pintu rumah.     

"Terima kasih ya, Jer untuk hari ini," ucapku.     

"Sama-sama. Senang membuatmu senang, Daisy."     

Kami tersenyum beberapa saat sampai suasana menjadi canggung. "Hmm, kalau gitu aku masuk, ya," kataku kemudian.     

"Oke. Selamat malam, Daisy," ucapnya.     

"Selamat malam juga, Jer."     

Aku masuk dan menutup pintu perlahan seraya melihatnya sampai benar-benar tidak terlihat.     

Jantungku berdetak cepat setelah aku benar-benar tidak melihatnya. Aku bisa merasakan gemuruh dalam dadaku bergerak cepat.     

Kulihat jendela dan memastikan bahwa Jeremy sudah pergi. Ia masuk ke dalam mobilnya dan kemudian mobilnya berjalan keluar dari rumahku.     

Kuhela nafasku lega dan kemudian aku melangkah masuk ke kamar. Keadaan rumah sepi, sepertinya Ama sudah tidur lebih awal, jadi aku langsung tidur juga saja.     

***     

- Zen's –     

Sepertinya efek bertemu dengan Daisy masih terasa bagiku. Sedikit pun wajah cantiknya tidak lantas hilang dari pikiranku.     

Bagiku ia terlihat menawan seperti dulu. Aku masih menggilainya seperti saat dulu juga. Walau kami sudah bercerai, tapi perasaanku padanya masih menetap.     

Sayangnya aku belum bisa mengambil lagi hatinya. Sepertinya akan sulit mengingat ia baru saja ditinggal oleh suaminya ke alam lain. Apalagi sekarang Daisy masih terlihat terpukul dengan semua ini.     

Aku tidak ingin mendesaknya bersamaku. Cukup bertemu dan berbicara dengannya saja sudah cukup membuatku senang.     

Dan tentang Rosi... Ah, dia benar-benar terobsesi denganku. Aku sedikit menyesal bertemu dan membuatnya hamil tanpa sengaja. Tapi kupikir kehamilannya adalah mukjizat untukku di saat aku tidak tahu perkembangan dan pertumbuhan Vista, anak pertamaku bersama Kanya. Sehingga aku mungkin bisa menebus kesalahanku.     

Tapi saat Rosi keguguran, aku mengalami hal yang terpuruk. Kehilangan anak kedua kalinya setelah bersama Daisy membuatku merasa dalam kondisi buruk. Aku tidak peduli siapa pun sampai Daisy datang dan mengatakan semuanya padaku.     

Aku harus mengurus Rosi sebelum ia nekat lagi bertemu dengan Daisy. Tidak akan siapa pun kubiarkan untuk mengganggu ketenangannya di masa kehamilannya.     

Dan ya, hari ini aku menyuruh Rosi datang ke kantorku. Aku menyuruh Vito untuk menjemputnya agar Rosi tidak perlu susah payah naik motor.     

"Bos, dia sudah di sini. Apa ada yang Anda perlukan lagi?" info Vito sekaligus bertanya.     

"Suruh OB buat minuman untuknya. Dan tolong es kopi buat saya," kataku.     

Rosi masuk ke dalam ruanganku dengan canggung. Pakaiannya sekarang benar-benar berubah. Celana jeans dan baju polos bias berwarna hitam. Rambutnya ia biarkan diikat menjadi satu secara asal-asalan.     

Ia duduk di hadapanku dengan wajah dinginnya. Aku tahu kehilangan membuatnya berubah drastis. Tapi aku tidak berpikir bahwa penampilannya akan sangat kontras dengan yang dulu.     

"Ada apa, Zen? Langsung saja," katanya.     

"Kenapa kamu harus berbicara macam-macam pada Daisy? Aku nggak memerintahkan kamu untuk melakukan itu, Rosi."     

Wajah Rosi terlihat terkejut. Sepertinya ia tidak tahu kalau Daisy menemuiku dan mengatakan itu padaku. Ia terdiam beberapa saat sampai minuman datang untuknya dan ia langsung menenggaknya setelah itu.     

"Dia datang ke kamu?" tanyanya.     

"Hmm, ya. Tolong jangan melakukan hal itu lagi, Ros. Aku nggak butuh untuk kembali padanya. Lihat dia sehat saja aku sudah senang," kataku terdengar tegas.     

"Hanya itu yang mau kamu bicarakan denganku?" tanyanya.     

Kuanggukkan kepalaku menatapnya dengan serius. Ia hanya tertawa kecil dan mengulum senyumnya.     

Rosi berdiri dan menatap lurus ke hadapanku. "Oke. Kita udah selesai, Zen. Jangan khawatir karena aku nggak akan mengganggunya. Dan aku memilih pergi darimu setelah kehilangan anak kita."     

Ia berbalik dan keluar begitu saja usai mengucapkan perkataannya. Aku membiarkannya dan tak tidak berniat mengejarnya.     

Kuseduh es kopi buatan OB-ku dan menghembuskan nafas lega.     

Selesai. Selesai sudah tentang Rosi. Aku tahu bahwa ia sungguh-sungguh dengan ucapannya. Jadi, aku tidak perlu memusingkannya.     

***     

Aku berniat mengunci Daisy hari ini. Tidak dalam rangka apa pun, hanya ingin berkunjung dan barangkali aku bisa mengajaknya makan siang. Aku tidak perlu mengabarinya karena aku ingin membuat kejutan.     

Saat sampai kantornya, aku langsung menuju ruangannya dan mengetuk pintunya. Setelah aku mendengar sahutan bahwa aku dipersilakan masuk, aku melangkah ke dalam tanpa rasa keraguan.     

Kutatap Daisy yang tengah duduk bersandar di kursi goyangnya itu. Ia terpaku menatapku dalam beberapa saat.     

"Selamat siang," sapaku.     

"Si-siang. A-ada apa... ini?" tanyanya gugup.     

Wajah gugupnya terlihat lucu dan menggemaskan. Aku pun melangkah maju dan duduk di hadapannya tanpa menunggunya menyuruhku.     

"Apa kamu bersedia makan siang denganku?" tanyaku.     

"Kenapa nggak mengabari dulu, Zen?" tanyanya.     

"Aku sengaja membuat kejutan, Daisy. Kamu tahu aku nggak terima penolakan, bukan?"     

"Ah, itu... Benar. Aku, ada janji sama seseorang untuk makan bersamanya, Zen. Jadi maaf, kali ini aku benar-benae harus menolakmu," katanya dengan sopan.     

Seseorang? Ah... Pasti Jeremy. Dia dekat dengan Jeremy sejak suaminya meninggal. Laki-laki itu sempat berpacaran dengannya, melamarnya, lalu Daisy berpaling dan meninggalkannya. Sekarang dia sepertinya memberi kesempatan buat Jeremy.     

Aku sudah cukup tahu semua tentangnya. Dan aku memang sedikit cemburu dengan kedekatannya. Sangag cemburu, lebih tepatnya.     

Daisy berdiri dan meraih tasnya. Dengan perut buncitnya ia terlihat mempesona.     

"Aku harus keluar. Sebaiknya kamu kembali saja, Zen," katanya dengan sedikit terburu-buru.     

Saat ia melewatiku, tiba-tiba ia tersandung kakinya sendiri dan aku dengan sigap menangkapnya.     

Hampir saja ia jatuh sendiri dan terkena lantai. Bahaya sekali jika sampai itu terjadi.     

"Daisy... Bahaya kalau kamu masih mengenakan sandal tinggi," kataku sedikit khawatir.     

Posisi tubuhnya masih bersentuhan denganku. Aku bisa merasakan debaran jantungnya saat aku menangkapnya. Ia terlihat sama takutnya lebih dariku.     

"Ma-af, a-ku nggak berhati-hati."     

Ia selalu terlihat bahwa semua ini adalah salahnya. Selalu meminta maaf atas dasar hal yang bahkan tidak ia lakukan.     

Kulepaskan ia perlahan dengan tetap menggenggamnya erat-erat.     

Lalu kami keluar bersama dengan kecanggungan yang masih melekat pada diri kami.     

Saat hampir berada di pintu utama kantor, Daisy berhenti di hadapanku dan menatapku.     

"Sebaiknya kamu keluar nanti aja setelah aku pergi, Zen," katanya.     

"Ada apa? Apa kamu sedang menjaga hati seseorang sekarang?" tanyaku.     

"Lakukan saja, aku mohon," katanya.     

Aku mengalah dan membiarkan ia berjalan menjauhiku. Lalu setelah itu, aku sedikit mengintip siapa yang akan makan bersamanya selain pikiranku tertuju pada Jeremy. Namun ternyata sesuai dengan dugaanku, dia bersama Jeremy.     

Kulihat sebentar Jeremy begitu terlihat tulus dan baik padanya. Sangat gentle berbalikan dariku.     

Mobilnya menjauh dari kantor dan aku masih diam di tempat. Sepertinya kesempatan untukku tidak ada dalam daftar Daisy.     

***     

- Daisy's –     

Aku menghela nafas saat dari kaca mobil aku tidak melihat Zen muncul. Setidaknya Jeremy tidak melihat dia muncul dan keluar denganku. Aku tidak ingin menjelaskan apa pun pada Jeremy di saat aku sendiri tidak ingin melibatkan Zen lebih jauh dalam hubungan kami.     

Zen, masa laluku. Sekuat apa pun pikiranku menginginkan bersamanya, tapi bertemu dengannya saja sudah cukup membuatku lega.     

Lagi pula, Jeremy lebih banyak membuktikan padaku bahwa ia serius denganku. Aku sudah melihatnya sejak dulu, hanya saja aku masih egois saat itu. Dan sekarang, aku hanya ingin menikmati hari-hari bersama.     

"Hmm, Jer... Apa kamu bisa carikan mangga muda? Aku... Mendadak ingin itu," tanyaku padanya saat kami dalam perjalanan.     

Entah kenapa di saat aku memikirkan mereka semua, aku menginginkan mangga muda. Aku terus menelan ludah karena membayangkan makan mangga muda dengan sambal gula Jawanya.     

"Eh? Kamu ngidam?" tanya Jeremy.     

Aku baru sadar saat ia bertanya itu. Sepertinya aku memang mengidam mangga muda. Padahal dari dulu aku tidak suka mangga muda. Aku suka mangga yang matang.     

"Sepertinya iya, Jer. Apa kamu tahu di mana kita bisa membelinya?"     

Jeremy mengangguk dan tersenyum. "Tentu saja aku tahu. Sabar ya, anak ganteng," katanya seraya tangannya mengusap perutku.     

Aku membeku ketika tangannya tiba-tiba berada di perutku. Bagaimana tidak, tidak ada yang menyentuh perutku selain Raja.     

Tapi ada yang aneh pada perutku saat Jeremy mengusap perutku. Seperti dia merasa senang dengan sentuhan itu. Bahkan ada gejolak yang menggelenyar senang karenanya.     

"Jeremy... Bisa taruh tanganmu lagi di perutku?" tanyaku ingin memastikan.     

"Ada apa?"     

"Taruh saja. Kamu pasti nanti tahu."     

Jeremy menaruh tangannya di perutku dan diam di sana. Lalu sesuatu seperti menendang perutku tepat di bagian Jeremy. Jeremy langsung menatapku dengan senyumannya.     

"Dia... meresponsku, Daisy," katanya dengan takjub.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.