BOSSY BOSS

Chapter 129 - The Reaction



Chapter 129 - The Reaction

0"Ada atau nggak ada, ketika ingin kembali, pasti aku akan kembali. Tapi kalau aku nggak mau, bukan berarti perasaan itu ada, tapi lebih kepada aku nggak ingin bersamanya. Bukan juga karena masa lalu bersamanya, tapi yah nggak ingin aja," katanya dengan jelas.     
0

Aku hampir susah payah mencerna setiap penjelasannya. Namun akhirnya aku mengerti juga. Yah, walau pun jauh di lubuk hatiku, berharap Jeremy merasa kikuk atau semacamnya ketika aku mempertanyakan itu padanya. Nyatanya tidak.     

"Tapi pasti ada sedikit setidaknya dari alasan itu karena luka yang dia berikan, kan?" tanyaku lagi.     

Jeremy bergumam sementara aku tetap menatapnya. "Yah, bisa aja. Tapi itu bukan yang utama."     

Ketika aku ingin membalasnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Kubiarkan ia melihat dan menjawab panggilan itu yang barangkali penting.     

Jeremy lalu melihatku dan menyuruhku menunggu sebentar sementara ia keluar untuk menerima panggilannya.     

Sambil menunggu, aku mengeluarkan semua barang-barang belanjaan tadi. Aku harus mengaturnya sebelum Ama pulang.     

Kebanyakan barang belanjaan itu adalah makanan dan minuman. Ada yang harus kutaruh di kulkas, ada yang seharusnya di rak lemari saja. Tapi mengingat semua barang ini akan diletakkan di dapur membuatku enggan ke sana. Jadi sementara ini aku memilahnya dulu dan nanti aku akan memaksakan diri untuk menuju dapur. Tadi saja aku mengambil jus jeruk mencoba menahan nafasku.     

Setelah memilah-milah barang belanjaan, aku mengatur nafasku yang tersengal-sengal. Lalu Jeremy datang dan menatapku.     

"Kamu capek? Biar aku aja, oke?" Lagi-lagi Jeremy menawari dirinya untuk membantuku dan aku tentu tidak bisa menolak bantuannya karena memang aku memerlukannya.     

"Aku nggak bisa ke dapur, Jer. Jadi kamu bisa kan, mengatur semua ini di dapur?"     

"Dengan senang hati, Dai. Kamu di sini aja dan kerahkan perintahmu apa aja yang harus kulakukan. Karena aku belum terlalu hapal letak-letak barangmu harus di mana," katanya.     

Aku merubah posisiku ke arah dapur untuk mengarahkan Jeremy. Ia mengikuti instruksiku dan dengan cepat ia selesai. Jeremy lalu kembali ke sisiku dan menghela nafasnya. Kemudian ia menatapku seakan ingin mengatakan sesuatu dan aku menunggu ia mengatakannya.     

"Aku harus pergi, Daisy. Apa kamu nggak apa-apa?" tanyanya.     

"Oh, nggak apa-apa. Aku tahu kamu harus kembali bekerja, bukan?"     

Jeremy mengangguk tapi ia tak juga beranjak dari sofa. Malahan ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan meraih kedua tanganku dengan perlahan. Sejenak perutku bergejolak meronta. Seperti ada sesuatu yang beterbangan bahagia. Aku terpaku dan terkejut.     

"Daisy, orang itu kamu," katanya singkat.     

"Hah? Apa?"     

"Orang yang kuharap adalah kamu.," katanya mengartikan pembahasan yang kemarin ia katakan padaku. Aku hanya diam dan tak bereaksi apa pun sampai Jeremy berdiri dan aku mengantarnya sampai depan pintu.     

Sebelum Jeremy benar-benar masuk ke mobilnya, ia tersenyum padaku. Lalu mobilnya bergerak menjauh meninggalkan rumah.     

Aku masuk ke dalam rumah dan menghela nafas. Aku tahu kelak akan datang masa seperti ini. Sekuat ia berusaha, pada akhirnya ia juga akan menyatakannya. Aku sendiri belum tahu apa yang harus kulakukan karena memang aku tidak berpikir untuk kembali secepat itu dengannya.     

Raja... apa kamu tidak akan hadir ke dalam mimpiku? Apa karena langkahku memberinya kesempatan adalah hal yang membuatmu tenang lantas kamu tidak muncul lagi? Aku butuh kamu mendengarkanku, Raja.     

***     

Jeremy's -     

Sial! Baru saja kau mengatakannya padanya. Dia pasti syok dan tidak menyangka bahwa aku masih menginginkannya. Padahal sebenarnya aku bisa menahannya sedikit lagi. Kenapa juga aku harus terburu-buru? Apa karena munculnya Kayna?     

Padahal aku bisa menunggu Daisy lebih lama. Aku tidak peduli jika ia tidak memberikan respons saat ini. Setidaknya bersamanya saja sudah membuatku lebih dari cukup.     

Sekarang aku harus menyelesaikan hal ini bersama Kayna. Tadi ia yang meneleponku sebenarnya. Ia nekat sekali datang ke restoran untuk berbicara lebih banyak denganku. Padahal sebenarnya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi tapi sepertinya Kayna masih menginginkan waktu bersamaku.     

Sebelum aku sampai resto aku menyuruh karyawanku untuk membawa Kayna ke ruanganku saja dan menyajikan minuman atau camilan sesuai yang ia inginkan. Tapi saat aku sampai resto dan masuk ke dalam ruanganku, aku hanya melihat air mineral botol yang tersaji di depan Kayna.     

"Maaf, aku harus mengantar temanku yang tadi sampai rumahnya sekaligus membantunya," kataku padanya.     

"Apa dia spesial untukmu, Jer?" tanyanya.     

"Katakan maksud kedatanganmu, Kayna. Aku nggak bisa mengikuti apa yang kamu mau," jelasku langsung.     

Kayna mengangguk seolah mengerti dan kemudian meneguk air mineralnya. Matanya terlihat memerah beserta hidungnya yang kembang kempis. Apakah ia akan menangis?     

"Sekarang aku mengerti kenapa kamu mengalihkan pembicaraan. Kamu mencintai wanita hamil itu. Dan sepertinya memang nggak ada yang bisa kulakukan lagi agar kamu kembali padaku, Jer," katanya dengan jelas.     

Kayna berdiri dan meraih outer rajutnya. Ia mengenakannya di hadapanku dengan menyisakan parfum dengan aroma yang semerbak, yang kukenal dan belum pernah ia ganti sebelumnya, kurasa.     

"Kalau begitu aku harus pergi. Waktuku juga nggak banyak di Jakarta. Aku harus kembali ke Thailand segera," katanya.     

"Kamu tinggal di Thailand sekarang?" tanyaku. Aku tidak tahu bahwa ia sekarang tinggal di sana. Padahal aku sempat di Thailand selama lima bulan.     

Kayna hanya bergumam dan menatapku. "Memangnya kenapa?"     

"Nggak, nggak ada apa-apa."     

Kayna hanya diam dan menunggu sesuatu dariku. Aku pun hanya diam dan menunggu dia pergi. Bukankah ia akan pergi? Lalu apa yang ia tunggu-tunggu? Jadi, aku pun segera berdiri dan membuka pintu untuknya.     

"Ka-kamu nggak mau bicara sesuatu padaku?" tanyanya yang mulai menyadari bahwa aku memang mengusirnya secara halus.     

Kumiringkan kepalaku seolah aku sedang memikirkan apa yang mau kubicarakan padanya. "Ya. Ada..." kataku dengan sengaja menggantungkan perkataanku. "Tolong, jangan kembali kalau hanya membuka luka. Aku nggak pernah berminat kembali ke masa lalu, Kayna. Dan aku sudah pernah bilang ke kamu tentang itu."     

***     

Seminggu berlalu dan Jeremy tak juga menghubungiku atau datang ke rumah. Ia mungkin sibuk atau memang sedang menghindariku. Aku mencoba tidak ingin ambil pusing dan menikmati saja apa yang ada sekarang.     

Nafsu makanku semakin bertambah dan stok makanan yang Jeremy belikan terakhir kali hampir habis. Karena aku juga ingin berjalan-jalan, akhirnya aku memutuskan untuk ke supermarket seorang diri. Kuraih tasku dan kunci mobilku lalu meninggalkan rumah.     

Aku mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tahu aku sedang hamil, jadi aku tidak terlalu takut untuk mengemudi mobil. Tentu saja aku berhati-hati sekali.     

Jika seperti ini sendiri, aku merasa sangat menyedihkan. Aku memang terlalu mandiri dalam banyak hal tapi aku kadang ingin juga ditemani oleh seseorang setiap waktu. Sayangnya aku tidak berani mengambil risiko untuk serius pada salah satunya karena terlalu takut akan merasakan kehilangan lagi.     

Tapi aku sangat yakin sekali, di kesendirian ini aku tentunya dikelilingi laki-laki yang dekat denganku. Sementara ini aku masih dikelilingi Zen dan Jeremy. Walau keduanya seperti sedang menahan sesuatu agar tidak terlalu mengejarku, tapi aku cukup yakin dengan mereka.     

Bukannya aku merasa sombong, karena dari dulu memang aku selalu dikelilingi laki-laki yang masih memiliki perasaan padaku. Sementara aku sendiri bingung ada apa sih, denganku sampai mereka memilih aku ketimbang wanita lain? Padahal aku merasa biasa saja dan bahkan aku ini tidak jelas jika sudah memiliki perasaan pada orang lain.     

Sampai supermarket, aku turun perlahan dan mengambil troli. Kukelilingi setiap baris barang-barang yang dijual sejak barisan pertama. Aku memilih banyak makanan karena aku sangat banyak makan sejak kehamilan ini. Lalu saat aku berada di baris terakhir barang-barang, aku merasa lelah. Untungnya ada sebuah kursi yang bisa aku duduki sejenak.     

Kutarik dan hembuskan nafasku. Rasanya sangat berat sekali di tengah kehamilan ini. Apalagi aku hanya sendiri dan tubuhku sebenarnya lemah jika aku hamil. Sejak dulu juga begitu sampai aku harus keguguran di saat aku menginginkan anak itu.     

Tiba-tiba seseorang muncul saat aku melihat ke arah bawah. Sepatu fantofel, celana hitam kain dan saat aku melihat ke atas, aku mengenal laki-laki itu. Zen. Dia muncul di hadapanku dengan kedua tangannya ia selipkan di kantung celananya.     

Zen lalu ikut duduk di sisiku dan menatapku. "Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya terdengar khawatir.     

"Hmm, ya. Omong-omong, kamu di sini?"     

"Aku lagi belanja juga untuk di apartemen bersama Tino," katanya.     

Aku menoleh ke segala penjuru untuk melihat keberadaan Tino. Sudah lama sekali aku tidak melihat anak buah Zen yang setia itu.     

"Dia lagi ke bagian lain. Ayo sini, aku bantu kamu," katanya seakan tahu siapa yang kucari lalu mengambil alih troli belanjaanku.     

"Zen, nggak usah. Aku baik-baik saja."     

"Ayo," ujarnya. Ia langsung memberikan pergelangan lengannya agar aku mengalungkan tanganku di sana. Dan aku tahu aku tidak bisa menolaknya.     

Aku langsung mengalungkan tanganku di sana dan kami berjalan menuju kasir. Di sela-sela itu Zen menghubungi Tino bahwa mereka akan bertemu nanti di apartemen.     

Rasanya seperti berjalan dengan suami sendiri. Menyenangkan sekaligus terasa nyaman. Aku tidak bisa menghindari rasa senang ini. Aku mengulum senyumku sendiri.     

Setelah Zen berusaha susah payah untuk membayar belanjaanku, ia pun nekat mengantarku pulang. Padahal aku sudah menolak sebelumnya saat ia menghubungi Tino. Tapi ya sudah, pada akhirnya dia memerintah untuk dilakukan, bukan di tolak. Jadi, aku mengalah saja.     

"Aku pikir Jeremy akan menemanimu," ujar Zen.     

"Dia... sibuk."     

Zen tidak lagi membahas tentang Jeremy. Ia hanya ingin tahu tentang Jeremy sebatas itu. Lagi pula aku juga tidak tahu apa yang Jeremy lakukan selama seminggu ini tanpa memberi kabar padaku.     

"Daisy," panggilnya.     

Aku bergumam.     

"Apa aku boleh memegang perutmu?" tanyanya.     

"Itu... aku rasa-"     

"Sebentar saja. Aku ingin menyentuh perut Ibu hamil," katanya menyelaku.     

Aku mengangguk dan Zen segera menyentuh perutku. Pertama ia hanya diam di satu titik, lalu bergerak mengusapnya dengan lembut. Ada sesuatu yang membuat darahku berdesir ketika sentuhannya bergerak perlahan. Tidak seperti ketika Jeremy menyentuhnya.     

Lalu aku merasakan tendangan dari dalam. Tendangan yang sama seperti saat Jeremy menyentuhnya.     

"Apa itu dia?" tanya Zen dengan mata membelalak.     

"Aku rasa dia menyukaimu," kataku dengan senyuman.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.