BOSSY BOSS

Chapter 142 - Meet His Parents



Chapter 142 - Meet His Parents

0Daisy terkesima saat melihat sebuah buket berisikan berbagai cokelat berada di atas meja kerjanya. Dilihatnya kanan kirinya namun tidak ada siapa pun kecuali beberapa karyawan yang berlalu lalang. Ditutupnya pintu ruangannya dan mengarah ke buket cokelat itu. Ada kartu nama di sana dan senyumnya langsung memudar seketika.     
0

Ia berharap seseorang yang mengirimi cokelat adalah Jeremy. Nyatanya bukan. Zen-lah yang telah mengiriminya cokelat setelah sekian lama mereka tidak bertemu. Terakhir bertemu pun tidak berakhir dengan baik-baik.     

Daisy menghela nafasnya dan mengeluarkan buket cokelat itu. Ia lalu menuju resepsionis dan menaruhnya di atasnya.     

"Anita, tolong bagikan cokelat-cokelat ini ke lainnya. Terserah mau kamu bagikan atau biarkan mereka yang ambil, atau malah kamu yang mau mengambilnya, saya nggak peduli. Apa ada yang masuk ke ruangan saya sebelum saya datang?" perintahnya sekaligus bertanya.     

"Nggak ada siapa pun, Bu. Ini saya biarkan saja yang lain mengambilnya ya, Bu."     

"Ya, terserah."     

Daisy kembali lagi ke dalam ruangannya dan duduk bersandar di kursinya. Zen tadi ke sini atau seseorang suruhan Zen menaruhnya di atas mejanya, Daisy merasa penasaran. Ia tidak ingin berurusan lagi dengan Zen. Tapi Daisy mencoba mengenyahkan rasa penasarannya dengan menyibukkan diri.     

Dering telepon ruangan Daisy berbunyi ketika ia sedang sibuk mengetik sesuatu. Ia pun mengangkatnya dan ternyata dari Anita, si resepsionis.     

"Bu, ada Pak Jeremy yang datang ingin menjemput Anda," ujarnya.     

Daisy langsung menoleh ke jam mejanya yang ternyata sudah sore dan ia sama sekali tidak menyangka bahwa waktu sudah berlalu begitu cepat di saat ia sedang sibuk.     

"Oke. Katakan padanya saya akan keluar sekarang. Terima kasih, Anita."     

Cepat-cepat Daisy mematikan laptopnya setelah menyimpan berkasnya dan meraih tasnya. Kemudian ia keluar ruangannya dan menuju Jeremy yang sedang menunggunya.     

Jeremy sering sekali datang memberi kejutan pada Daisy hanya untuk menjemputnya. Awalnya Daisy menolaknya namun lama-lama ia sudah terlalu biasa dengan sifat Jeremy yang mendadak itu.     

Setelah Daisy bicara pada sekuriti untuk menginapkan mobilnya di kantor, ia dan Jeremy pun langsung pergi meninggalkan kantor.     

"Jadi, kamu ke kantor nggak bilang-bilang aku, Daisy. Kamu tahu kan, betapa khawatirnya aku kalau kamu menyetir seorang diri?" omel Jeremy yang terdengar seperti bukan omelan. Jeremy sendiri tidak bisa benar-benar marah.     

"Maaf. Aku hanya nggak mau merepotkan siapa pun. Tadi sih, Raka menawari diri, tapi aku menolak. Lagian, aku sudah lumayan lama nggak pakai mobil, Jer."     

"Tolong, selama kamu hamil, biarkan aku yang antar jemput. Aku nggak masalah sibuk untuk dirimu, Sayang."     

Pipi Daisy bersemu dan ia mengangguk.     

"Kamu siap bertemu Mama dan Papaku?" tanya Jeremy tiba-tiba.     

Daisy mengerjapkan matanya beberapa kali. Pertanyaan Jeremy tidak pernah ia pikirkan padahal mereka memang merencanakan pernikahan. Bodohnya Daisy tidak mempersiapkan apa pun untuk bertemu dengan kedua orang tua Jeremy.     

"Sekarang?" tanya Daisy seraya menelan ludahnya.     

"Yah, kalau kamu mau persiapan, bersiap-siap saja dulu."     

Daisy menatap penampilannya yang sangat kantoran sekali. Ia pun mengangguk untuk bersiap-siap dulu sebelum bertemu dengan orang tua Jeremy.     

"Tapi tunggu ... apa kamu sudah bilang ke mereka mengenai kondisiku?" tanya Daisy sambil menunjukkan fisiknya yang sekarang.     

Jeremy mengangguk dengan senyum yang meneduhkan. "Mereka baik, Dai. Dan mereka nggak mempermasalahkan mengenai statusmu dan keadaanmu sekarang. Aku sudah memberikan pengertian pada mereka dari jauh hari."     

Bagaimana pun, Daisy merasa gugup. Ini adalah pertama kalinya baginya untuk bertemu dengan orang tua calon pasangannya dalam keadaan hamil dan berstatus janda. Pikirannya diisi hal-hal buruk yang kapan pun ia siap menerima hasil akhirnya.     

"Terima kasih, tapi aku masih gugup sebelum aku memastikannya sendiri."     

"Aku akan selalu di samping. Mereka open minded, Dai. Tenanglah."     

Hanya anggukkan kepala Daisy-lah sebagai respons untuk Jeremy sampai mereka sampai di rumah. Daisy langsung masuk dan melihat Ama tengah duduk menonton televisi. Mereka berpelukan sebentar melepas rindu lalu Daisy berpamitan untuk mandi dan bersiap-siap.     

Ama menyajikan minuman dan sedikit camilan untuk Jeremy di saat Daisy sedang bersiap-siap. Ia duduk dan menatap Jeremy dengan pandangan yang serius.     

"Kamu nggak akan menyakitinya, kan?" tanya Ama.     

Jeremy tersenyum kecil. "Membuatnya menangis saja aku nggak tega, Am. Bagaimana mungkin aku menyakitinya?"     

"Yah, aku juga ingin memastikan sebenarnya. Kasihan Daisy, ia terlalu menerima banyak luka."     

"Aku tahu. Aku janji denganmu, sebagai teman yang dekat dengannya. Aku nggak akan menyakitinya."     

Ama melipat kedua tangannya di dada dan kembali menatap Jeremy dengan pandangan serius. "Aku mau tanya, deh. Tapi maaf jika ini tentang masa lalu. Apa bisa kamu mendengarnya?"     

"Silakan."     

"Hmm ... bagaimana bisa kamu sesetia itu padanya sementara Daisy pernah menyakitimu? Kamu merasa sakit hati kan, saat itu?"     

Jeremy menghela nafasnya dan kembali ia teringat akan momen-momen terakhir Daisy memutuskannya saat mereka sedang berada di hubungan yang jarak jauh.     

"Aku memang masih mencintainya saat itu. Aku merelakannya, melepaskannya, mengikhlaskannya dan terutama memaafkannya. Tapi ada ikatan yang seperti menyuruhku untuk kembali padanya," jelas Jeremy.     

Untuk sekejap Ama merasa takjub mendengar jawaban Jeremy. Baginya, ia baru melihat ada laki-laki yang bersikap seperti itu. Ia sendiri sebagai wanita kadang masih merasa susah untuk memaafkan seseorang yang menyakitinya.     

"Bagaimana denganmu sendiri, Am? Aku dengar dari Daisy kamu sempat berpacaran dan dia memutuskanmu?" tanya Jeremy balik.     

"Ah, itu masa lalu. Sebaiknya nggak usah dibicarakan," timpal Ama dengan senyum kikuknya.     

"Rasanya nggak adil loh, Am, kamu tahu masa laluku sementara aku nggak," balas Jeremy memancingnya untuk bercerita.     

Ama menghembuskan nafasnya dan kembali menatap Jeremy. "Aku move on, Jer. Tapi aku belum bisa memaafkannya. Rasanya nggak adil saja."     

"Artinya kamu sepenuhnya belum move on, Am."     

"Ba-bagaimana bisa? Aku merasa sudah, kok."     

"Proses move on yang benar-benar komplit adalah ketika kamu memaafkannya," ujar Jeremy jelas.     

"Aku hanya menganggap yang lalu ya berlalu, Jer. Aku rasa memaafkannya juga percuma, toh dia nggak ada di hidupku lagi."     

Jeremy mengulum senyumnya sesaat. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar penuturan Ama. "Ada atau nggak ada, kamu harus memaafkannya. Itu sebuah keseharusan. Karena kamu akan mengingat-ingat dia terus menerus. Memori bersamanya hingga timbul lagi perasaan sedihmu. Jangan berbohong padaku. Aku tahu apa yang kamu rasakan."     

Percuma menutupi kebohongan pada Jeremy ketika ia adalah dokter Psikolog yang mengerti apa yang pasiennya rasakan.     

"Duh, Jer ... jadi tentang aku, ya, sekarang?" tanya Ama.     

Tiba-tiba tepukan di bahunya membuat Ama menoleh. Daisy sudah selesai bersiap rupanya. Ia tersenyum pada temannya dan ikut duduk di sampingnya.     

"Iya, tentang kamu. Lumayan loh, kamu konsultasi gratis dengan Jeremy secara sukarela mau membantumu," timpal Daisy.     

***     

Sepanjang dalam perjalanan, Daisy hanya diam. Ia merasa gugup karena jarak menuju rumah Jeremy semakin dekat. Sebentar lagi waktunya ia bertemu dengan orang tua Jeremy yang belum ia kenal dengan dekat. Mereka pernah bertemu sekali dan setelah itu tidak bertemu lagi. Itu pun dia lupa akan nama orang tuanya Jeremy.     

Jeremy menggenggam tangan Daisy dengan satu tangannya yang bebas dari setir mobil. Mengusapnya sehingga menghantarkan aliran yang hangat pada dirinya. Kenyamanan walau belum terlalu benar-benar menghilangkan kegugupannya.     

Hingga sampai depan rumah yang megah, mobil berhenti. Daisy tak juga keluar dari mobil sementara Jeremy sudah membukakan pintu untuknya dan mengulurkan tangan padanya.     

Digigitnya bibirnya dengan wajah yang masih menunjukkan ekspresi gugupnya. Daisy menatap Jeremy dan Jeremy tersenyum. "Ayo, aku pegang tanganmu," katanya.     

Perlahan Daisy keluar. Kakinya terasa goyah padahal ia hanya mengenakan sepatu sandal yang datar. Langkahnya pun terasa berat dan jantungnya berdetak lebih cepat.     

"Lihat, Jenny saja di depan nungguin kamu," ujar Jeremy yang menggandeng Daisy menuju pintu.     

Daisy hanya tersenyum dan menatap Jenny. Setelah akhirnya ia menginjakkan kakinya di rumah Jeremy. Kedua orang tua Jeremy, Jenny dan adik laki-laki Jeremy bernama Jico, tersenyum padanya. Penyambutan yang membuat Daisy perlahan hilang akan rasa gugupnya.     

"Selamat datang, Daisy. Senang bertemu denganmu," sambut Evelin, Ibu Jeremy. Beliau memeluk Daisy dan mencium pipi kanan kirinya. Sementara Ayahnya, Darko menerima salaman Daisy yang mencium tangannya.     

"Terima kasih Om dan Tante untuk sambutan kalian. Dan adik-adik Jeremy, tentunya," balas Daisy dengan perasaan lega.     

Daisy memastikan tidak ada wajah-wajah galak atau marah padanya. Semua wajah keluarga Daisy benar-benar ramah dan terkesan sangat baik.     

"Ayo, duduk sebelum kita makan malam," ajak Darko.     

Daisy duduk di sisi Jeremy. Mereka berkumpul menjadi satu dan saling berbicara sebagai pengenalan keakraban. Rasa cemas pada diri Daisy pun memudar perlahan ketika semuanya menganggap Daisy seperti keluarga mereka.     

"Jadi, apa kamu mau menikah di detik-detik ini atau menunggu kelahiran anakmu?" tanya Evelin mengganti topik pembicaraan.     

"Hmm, saya ikut bagaimana keputusan Jeremy, Tante."     

"Ma, aku mau menikah saat dia masih dalam keadaan hamil. Aku ingin memberikan nama terakhirku untuknya," sambung Jeremy seraya mengusap perut Daisy.     

Evelin tersenyum senang. Terlebih adik Jeremy, Jenny, begitu bersemangat ketika membicarakan tentang anak Daisy. "Aku nggak sabar menjadi Tante untuk ponakanku!" ucapnya.     

"Oke, Tante dan Om setuju. Sebenarnya kami sudah mempersiapkan banyak hal untuk kalian. Jeremy sudah tahu. Hanya tinggal kamu dan keluargamu saja, Sayang."     

Daisy menatap Jeremy dengan pandangan 'apa maksudnya'.     

"Kamu hanya perlu mengukur gaun pernikahanmu. Kami belum bisa memastikan ukuranmu karena kehamilanmu. Jadi, Tante mau menawarkan hari. Bagaimana kalau besok?" tanya Evelin.     

"A... besok... hmm," Daisy tergagap karena semua ini terlalu cepat. Pikirnya mereka akan melakukannya beberapa minggu lagi, nyatanya Evelin mempercepatnya.     

Semua tertawa melihat reaksi Daisy. Hingga Daisy merasa malu karena kegugupannya yang bodoh itu. Jeremy hanya mengusa-usap punggungnya untuk menenangkannya.     

"Kamu gugup, ya? Tenang saja, Sayang. Kami semua baik dan nggak menggigit. Tapi sebenarnya wajar sih kalau calon pasangan di bawa ke rumah orang tua pasangannya dan membahas hal yang serius untuk pertama kalinya merasa gugup. Tante juga merasakan hal yang sama kok, saat Om Darko membawa Tante ke rumah orang tuanya," jelas Evelin pada Daisy yang membuatnya merasa tidak seorang diri merasakan ini.     

"Ah, iya, Tante. Saya gugup. Tapi besok pun nggak masalah, Tante. Saya mau mengukur gaun pernikahan itu," jawab Daisy akhirnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.