BOSSY BOSS

Chapter 159 - A Lil Secret



Chapter 159 - A Lil Secret

0Suara sepatu Daisy menggema ketika ia masuk ke dalam rumah Ricky. Sejenak ia berhenti dan memandang sekelilingnya. Tidak banyak barang, tapi semua tersusun rapi. Entah Ricky menyimpan barang-barangnya secara tersembunyi atau memang hanya seginilah barang-barangnya di rumah yang cukup besar Daisy.     
0

"Silakan duduk, Daisy," ujar Ricky menyuruhnya duduk.     

Daisy duduk tegak di sofa yang tersedia. Ia memilih duduk di sofa single yang mana Ricky tidak akan macam-macam dengannya. Ia hanya ingin berjaga-jaga saja dari hal yang tidak diinginkan.     

Ricky muncul dengan satu soda kaleng dan bir kaleng di kedua tangannya. Diletakkannya minuman itu di hadapan Daisy. "Maaf, aku nggak terbiasa menyediakan minuman buatan untuk tamu. Hanya yang seperti ini yang aku punya," ujarnya pada Daisy.     

Daisy menaikkan satu alisnya. Lagi-lagi ia merasa seperti dejavu. Jamuan yang diberikan Ricky sangat khas Zen sekali. Tapi Daisy tidak ingin mengingatnya begitu sering, jadi ia pasrah saja dengan apa yang akan di hadapinya dan tetap berjaga-jaga.     

"Terima kasih. Ini lebih dari cukup," ucapnya dengan sopan.     

Daisy membuka soda kaleng itu hingga berbunyi dan meneguknya sedikit. Ricky memerhatikan Daisy yang sedang meminum soda dengan menelan ludahnya, membuat Daisy sedikit risi dan bertanya-tanya ada apa.     

"Ada apa, Pak?" tanya Daisy akhirnya.     

"Aku kepikiran tentang kesepakatan yang ingin kamu ajukan," jawabnya.     

"Saya ingin setengah harta Anda jadi milik saya," ucap Daisy tanpa berpikir ulang.     

Ricky tercengang dan mencerna perkataan Daisy. Selama ini Daisy belum pernah meminta hal seperti itu pada laki-laki yang mendekatinya. Tentu saja belum pernah. Reza dan Ricky adalah laki-laki yang mendekatinya setelah lima tahun telah berlalu.     

Daisy tidak ingin diperlemah oleh siapa pun. Tidak pada laki-laki lagi. Ia akan memanfaatkan banyak hal dari laki-laki yang mendekatinya sehingga ketika laki-laki mana pun yang meninggalkannya kelak, setidaknya ia memiliki sebuah keuntungan.     

"Kenapa? Anda keberatan? Kalau memang keberatan, maaf, saya nggak bisa menjadi kekasih palsumu," kata Daisy meremehkan.     

Ia langsung berdiri dan memilih untuk pergi meninggalkan Ricky yang belum memberikan jawaban. "Deal," jawab Ricky akhirnya.     

Daisy tersenyum penuh dengan kemenangan dan ia kembali duduk di sofanya. "Kalau begitu, saya ingin melakukan perjanjian itu sekarang. Buat itu sekarang dan tanda tangan di atas materai."     

"OK. Tunggu sebentar.     

Ricky berdiri dan naik ke atas untuk menuju kamarnya. Lalu tak lama ia meraih kertas dan pulpen kemudian mereka membuat surat itu yang ditandatangani di atas materai. Setelah itu tinggal Ricky menyerahkannya pada pengacaranya untuk diproses.     

Mereka pun akhirnya berbicara hal-hal sederhana untuk saling mendekatkan diri satu sama lain demi menjalani hubungan palsu hanya untuk satu wanita yang mengejar Ricky.     

Awalnya Daisy belum terbiasa akan hal itu, bahkan masih sulit untuknya untuk tidak berbicara formal pada Ricky karena ia masih menganggap Ricky adalah kliennya. Walau begitu, akhirnya Daisy mulai bisa bicara informal padanya walau sedikit mengalami kesusahan.     

Waktu yang menunjukkan sudah sore membuat Daisy lantas harus berpamit diri. Ia harus menuju rumah orang tuanya untuk melihat Jason. Walau mereka tidak dekat, tapi Daisy merindukan anaknya.     

Ricky mengantar Daisy sampai rumahnya terlebih dahulu karena Daisy memaksakan diri bahwa ia harus pergi ke rumah orang tuanya dengan mobilnya sendiri. Ia tidak ingin keluarganya atau bahkan sahabatnya tahu tentang Ricky. Apalagi pasti mereka terlihat terkejut karena wajah Ricky yang mirip dengan Zen.     

"Terima kasih, Daisy. Aku pasti akan sangat merindukanmu," ucap Ricky saat ia berhenti di gerbang rumah Daisy.     

"Kita baru kenal. Sebaiknya simpan rindumu itu. Hubungan kita hanya di atas kertas saja," timpal Daisy.     

Belum sempat membalas ucapannya, Daisy keluar mobil Ricky dengan membawa dua kantung belanjaan yang cukup besar.     

Untungnya saat ia masuk ke dalam rumah, Ama tidak ada. Dan Daisy pun langsung mengendarai mobilnya usai ia menaruh asal barang belanjaannya.     

Sampai rumah orang tuanya, belum masuk ke dalam Jason sudah menyambutnya dengan wajah riangnya, membuat Daisy sangat tersentuh.     

Daisy memeluknya ketika ia bersimpuh. "Mama kangen Jason, ini," ujar Daisy masih memeluk Jason. Ia lalu menggendong Jason dan berdiri.     

"Jason juga kangen Mama. Tapi sekarang Jason sudah nggak kangen Mama. Kan, sudah ketemu," balas Jason dengan suara yang lucu.     

Daisy mencium-cium Jason dengan gemas dan ia masuk ke dalam seraya tetap menggendong Jason. Di dalam mainan Jason dan Lily benar-benar berserakan di mana-mana. Tapi Daisy senang karena setidaknya anaknya bermain hal yang memang sewajarnya.     

"Daisy? Pantas saja Jason keluar, kayaknya dia hapal suara mobil Mamanya," timpal Reina ketika melihat kedatangannya.     

Daisy menurunkan Jason dan membiarkannya bermain kembali dengan Lily. "Iya, dia memang hapal suara mobilku. Apa semua baik-baik saja, Reina?" tanya Daisy yang lalu ikut duduk dengannya.     

"Baik-baik saja. Senggaknya Lily juga nggak kesepian di rumah, begitu pun Jason."     

"Ya, aku senang mereka akrab," balas Daisy. Ia menatap Jason yang sibuk bermain lego dengan Lily. Sesekali keduanya tertawa terpingkal-pingkal yang hanya mereka pahami. Daisy dan Reina hanya bisa ikut tertawa karena keduanya lucu.     

"Besok Minggu, menginaplah di sini. sesekali," kata Reina berharap.     

"Reina aku—"     

"Ayolah ... jangan terlalu sering mengurung diri. Kita berencana besok piknik. Tadinya mau hubungi kamu kalau kamu nggak ke sini."     

Daisy menghela nafasnya dan ia mengangguk. Rencana pergi dengan keluarga sepertinya tidak buruk, batinnya.     

Jika ia di rumah orang tuanya, Daisy lebih sering berada di kamar membaca buku-bukunya yang belum selesai. Ia membiarkan Jason tetap beraktivitas di luar kamarnya dan kalau mengantuk, biasanya Jason akan langsung menuju kamar Daisy.     

"Papa memang mencabut tuntutannya. Papa rasa dia bukan Zen yang dulu. Tolong, jangan sampai Daisy tahu." Suara Thomas membuat Daisy berhenti ketika ia akan menuju kamarnya.     

Letak kamarnya memang harus melewati ruangan Thomas, sehingga pembicaraan yang tadinya Daisy belum tangkap, terdengar jelas apa maksudnya.     

"Pa, kita nggak memberitahu pun, Daisy pasti akan tahu nantinya. Bagaimana jika dia masih trauma dengan Zen dan ketika Zen berkeliaran, Daisy nggak tenang?" itu suara Raka, pikir Daisy.     

Daisy pun memilih untuk menguping pembicaraan mereka. Tapi pembicaraan itu membuatnya tercengang. Zen dibebaskan. Thomas mencabut tuntutannya karena merasa Zen sudah bukan orang yang dulu.     

"Kalau sampai dia tahu, biar Papa yang bicara dan memberinya pengertian," balas Thomas.     

Tiba-tiba air mata Daisy terjatuh. Ia pun lalu mempercepat langkahnya menuju kamarnya. Dibenamkannya wajahnya di bantal dan ia mulai menangis di sana.     

Mendengar Zen dibebaskan membuat dirinya terguncang. Ia masih belum bisa menerima kebebasan Zen lantaran ia masih terus mengingat apa saja yang Zen lakukan untuknya terakhir kali. Karena keegoisan dan keobsesiannya pada Daisy hingga harus menyanderanya.     

"Nggak! Aku nggak boleh lemah seperti ini! Seharusnya nggak boleh menangis seperti ini!" tiba-tiba ia beranjak dan menyeka air matanya. Ia ingat bahwa ia tidak boleh lemah untuk siapa pun.     

***     

Daisy membantu Weiske dan Reina yang sedang menyiapkan makanan dan minuman di dapur untuk di bawa piknik. Ia lebih banyak diam sejak semalam setelah mendengar percakapan Thomas dan Raka. Walau pun mereka terbiasa dengan diamnya Daisy, tapi mereka tahu bahwa diamnya Daisy itu ada sesuatu yang ia sembunyikan.     

Jadi, ketika mereka makan bersama sebelum benar-benar berangkat piknik, Weiske bertanya padanya, "Nak, kamu kenapa? Apa ada masalah pada pekerjaanmu?"     

Daisy hanya menggeleng dengan senyuman. Tapi ia lalu menatap Raka dan Thomas secara bersamaan.     

"Kalau ada masalah, bilang, Daisy. Mungkin kita bisa membantu?" ucap Reina menyadari ada yang aneh pada Daisy.     

"Aku baik-baik saja. Cuma masih mengantuk saja," katanya asal.     

Kemudian yang lain diam dan tidak berani bertanya lagi. Mereka makan dalam keheningan dan Daisy lebih dulu selesai. Apalagi makanannya tidak habis. Yang lain hanya melihat Daisy yang meninggalkan meja makan lebih dulu.     

"Mama biasanya lagi marah itu," tiba-tiba Jason bicara layaknya orang dewasa.     

Mereka semua saling lempar pandang bersamaan karena takjub mendengar Jason memberitahu mereka.     

"Dari mana Jason tahu?" tanya Reina mengeluarkan sosok keibuannya.     

"Mama pernah marah sama Tante Ama di rumah. Mama diamin Tante, terus akhirnya Tante Ama tanya sampai akhirnya Mama bilang deh, apa masalahnya," jawab Jason dengan buru-buru sekaligus mengatur nafasnya.     

Reina mengusap-usap rambut Jason setelah Jason menjelaskannya dengan sedikit terburu-buru. "Jason kok, pintar, sih?"     

"Iya, dong. Mama selalu ajarin Jason buat memperhatikan suasana dan keadaan. Terus Jason nantinya disuruh Mama tanya sama Mama apa saja yang berbeda dan nggak," jelas Jason lagi.     

Raka tersedak mendengar Jason. Ia menahan tawanya karena Jason sangat lucu menjelaskan semua itu. Mereka tertawa kecil dan juga benar-benar merasa Daisy mengajarkan sesuatu yang baik pada Jason walau diusia yang masih belia.     

Mereka akhirnya pergi piknik bersama dengan tiga mobil. Daisy memilih mengendarai mobilnya walau Raka dan Reina menyuruhnya untuk satu mobil saja. Tapi ia menolak karena ingin sendiri. Sementara Jason tetap bersama Raka dan Reina dan Daisy tidak masalah akan itu.     

"Jason nggak pernah sedih kalau ditinggal Mama begitu?" tanya Reina saat mereka di mobil. Ia ingin mengulik cerita dari Jason tentang mereka. Karena memang Jason lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah orang tuanya ketimbang di rumah Ibunya sendiri.     

Jason menggelengkan kepalanya dengan cepat seraya tetap memainkan legonya.     

"Soalnya ada Lily, Mama," tiba-tiba Lily menimpali.     

Reina tersenyum pada anaknya itu.     

"Jason tahu Mama sibuk. Kata Mama, Mama kerja buat Jason. Jadi Jason nggak sedih. Karena kalau Jason sedih, nanti Mama kerjanya juga sedih."     

Reina lalu lempar pandangan pada Raka yang mengangguk-angguk prihatin. Walau bagaimana pun juga, Jason pasti buth perhatian dari Ibu kandungnya.     

"Jason sering ke makamnya Papa, nggak?" tanya Reina. Selama ini mereka tidak tahu tentang kunjungan Daisy yang masih tetap ke makam Raja.     

Jason hanya diam tapi Reina tahu bahwa Jason sedang menutupi sesuatu. "Hayo, nggak boleh bohong loh, Jason. Mama nggak pernah ngajarin Jason buat bohong, kan?"     

Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat lagi. "Tapi Mama ajarin Jason buat nggak membongkar rahasia. Apalagi itu rahasianya Mama."     

Tiba-tiba Reina mengulurkan jari kelingkingnya pada Jason. "Tante janji Tante sama Om nggak akan bilang ke Mama kalau Jason buka rahasia Mama."     

Sejenak Jason seperti memikirkan kata-kata Reina untuk ia cerna. Lalu ia juga akhirnya mengulurkan jari kelingkingnya yang mungil dan mengaitkannya ke jari kelingking Reina. "OK, Tante."     

"Terus, jawabannya apa? Apa Mama sering ke makam Papa?"     

"Iya ... Mama sering ke makam Papa. Mama taruh bunga di sana. Bunga wangi, Tante," jawab Jason akhirnya.     

Raka hanya diam dan rahangnya mengeras mendengar itu. Mereka lalu berpikir bahwa Daisy tak benar-benar melupakan Raja seperti yang kelihatannya, ia terlihat baik-baik saja selama ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.