BOSSY BOSS

Chapter 160 - A Curious Incident



Chapter 160 - A Curious Incident

0Ada hal yang membuat Daisy kadang menolak ajakan piknik dari keluarganya. Rasa iri dan cemburu melihat Reina bersama Raka juga anaknya yang bahagia, membuatnya merasa kasihan pada Jason. Daisy tidak tahu bagaimana perasaan anaknya, tapi memang yang ia lihat Jason terlihat biasa saja. Tapi tetap saja, naluri keibuannya pasti merasakan remuk ketika melihat ada keluarga yang lengkap sementara anaknya tidak.     
0

"Kenapa dia di sini?" tanya Daisy yang terkejut melihat Reza datang ke tempat piknik mereka. Reza berdiri di pintu kemudinya saat semuanya memarkirkan mobilnya di sisinya.     

"Dai, Ibu yang ajak Nak Reza. Ibu harap kamu nggak apa-apa, ya?" jawab Ibunya.     

"Om Reza!" Jason tiba-tiba berteriak kencang dan berlari ke arah Reza. Reza menangkapnya dan menggendongnya.     

Daisy yang bertolak pinggang pun menghela nafasnya. Ia tidak bisa menolak jika melihat kegirangan pada wajah anaknya.     

"Sesekali. Nggak apa-apalah, Dai," celetuk Raka menyentuh bahunya.     

Daisy hanya diam dan mengikuti mereka yang melangkah maju mencari tempat yang santai untuk berpiknik. Sesekali ia juga melihat dan memastikan Jason yang terus menerus menempel pada Reza.     

Padahal Jason dan Reza hanya bertemu dua kali dengan sekarang, tapi kelihatan sekali keduanya sangat akrab.     

"Mereka akrab, ya?" ujar Reina di sisi Daisy.     

"Hmm ... ya. Kelihatannya begitu." Jujur saja, Daisy enggan mengakuinya, tapi memang begitulah yang ia lihat. Apalagi Jason masih kecil dan ia terlihat sangat benar-benar menyukai Reza.     

Tidak ada yang tahu Reza adalah mantan kekasihnya di masa kuliah. Untungnya Daisy menyimpan rahasia itu diam-diam. Ia juga merasa bahwa Reza pun melakukan hal yang sama.     

"Kamu sendiri bagaimana dengan Reza?" tanya Reina.     

"Aku? Aku nggak gimana-gimana dengannya, Reina."     

"Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Reina kemudian.     

Perasaan Daisy sudah tidak enak jika Reina sudah bertanya seperti itu. Pasti ada hal serius yang akan ia bahas. "Ya, silakan," jawab Daisy akhirnya.     

"Apa kamu nggak mau menikah lagi, Dai? Jason butuh sosok Ayah, kan?" tanyanya.     

Daisy sudah tahu ke mana arah pembicaraan Reina sebelumnya. Ia sudah terbiasa walau pun mereka jarang menanyakan itu. Pasti selalu ada pertanyaan untuk janda beranak satu mengenai 'menikah lagi'.     

"Aku ... aku nggak tahu tentang itu, Rei. Lagi pula, aku masih sibuk mencukupi kebutuhan Jason," jawab Daisy.     

Reina berdecak dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dai, apa kamu nggak sadar kalau kebutuhan Jason itu sudah lebih dari cukup? Mau sampai kapan kamu bekerja keras dan istirahat hanya malam setelah kamu bekerja? Hah?"     

Reina benar. Dia selalu benar menilai sesuatu. Ia bahkan terlalu peka terhadap banyak hal. Tidak heran jika ia memang layak menjadi seorang kakak. Sekarang pembicaraan mereka benar-benar terlihat seperti kakak dan adik.     

"Aku rasa kebutuhan Jason belum begitu cukup. Aku harus mengumpulkan kebutuhannya minimal sampai ia harus kuliah, Rei."     

"Daisy, jangan bercanda, deh. Apa kamu nggak ada laki-laki yang kamu sukai?" tanya Reina heran.     

Daisy langsung menggelengkan kepalanya tanpa berpikir panjang. Untuk saat ini ia memang belum menyukai siapa pun. Mungkin berdebar untuk laki-laki lain, ada. Tapi untu menyukai atau mencintai, sama sekali belum ada.     

Laki-laki terakhir yang ia sukai dan ia cintai hanya Jeremy. Tapi perasaan itu menghilang begitu saja setelah akhirnya Jeremy memilih pergi dari kehidupannya. Daisy sadar bahwa ia terlalu banyak menyakiti Jeremy.     

Pernikahannya yang gagal karena ia diculik Zen sudah cukup membuatnya begitu lelah untuk memulai suatu hubungan yang baru. Bahkan setelah ia bebas dari culikan Zen pun, pada akhirnya Daisy memilih untuk sama sekali tidak menikah dengan Jeremy.     

Walau Jeremy kelihatannya tidak masalah. Tapi Daisy tahu hal itu menyakitinya. Apalagi Jeremy yang memutuskan sendiri bahwa ia akan menetap di luar negeri untuk melupakannya.     

"Apa Reza nggak membuat hatimu berdebar?" tanya Reina memecah lamunannya.     

"Kenapa harus berdebar? Suka saja aku nggak, kok."     

"Setahu aku, Dai ... kalau kita berdebar hebat karena seseorang, itu artinya kita menyukainya. Jangan bilang kamu nggak tahu soal itu."     

Mengaku tidak tahu rasanya percuma. Ia berdebar dengan satu-satunya laki-laki yang menyebalkan. Terlalu mirip dengan Zen. Karakternya pun kadang mirip dengan Raja juga. Entah kenapa laki-laki yang buruk selalu tampak menarik di mata Daisy.     

"Aku biasa saja dengan Reza. Nggak ada perasaan yang spesial, Rei."     

Reina menghela nafasnya. "Ya sudahlah, kalau begitu. Ayo, bergabung di tikar!"     

Daisy membiarkan Reina lebih dulu mendahuluinya dan setelah itu ia menyusulnya. Daisy juga terpaksa duduk di sisi Reza yang sedang memangku Jason.     

***     

Lagi-lagi Daisy pulang tanpa Jason di rumah. Anaknya benar-benar betah merasa tinggal di rumah Weiske. Walau pun Daisy tidak masalah, tapi ia sedikit ragu jika ada yang meragukan keibuannya. Tapi yah, sejauh ini memang ia tidak mendengar apa pun perihal Jason yang sering menginap di rumah Weiske.     

Paginya yang terbangun karena alarm membuat energinya kembali normal. Hari ini ia tanpa Ama di rumahnya. Daisy benar-benar seorang diri seperti saat ia masih tinggal di kost. Dan ia merasa seperti seorang gadis yang bebas tanpa siapa pun.     

Daisy memasak sarapan sendiri. Sarapan yang sederhana yang ia makan dalam perjalanannya menuju kantor.     

Setibanya di ruangannya, ia terkejut karena ada Ricky dan wanita yang menambah keterkejutannya. Daisy masih menyantap rotinya yang kemudian ia berhenti mengunyah.     

"Maurin?" katanya pada wanita itu. Ia terkejut bukan main karena Ricky datang bersama wanita yang tak lain dan tak bukan adalah kliennya.     

"Kalian saling kenal," itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang Ricky ucapkan.     

Mendadak Daisy kebingungan dan ketika ia melihat Ricky mengangguk sebagai isyarat, Daisy sadar. Sadar bahwa wanita yang mengejar-mengejar Ricky adalah Maurin.     

Daisy tidak berpikir bahwa Maurin adalah tipikal wanita pengejar laki-laki. Tapi yah, dia juga tidak begitu terkejut karena keduanya pun baru bertemu dan berkenalan untuk bisnis pada waktu itu.     

"Jadi, kamu ... kekasihnya Ricky?" tanya Maurin tak percaya.     

Mulutnya menganga dan ia menutupinya karena keterkejutannya. Daisy tidak tahu apakah ia harus mengangguk atau mengatakan tidak. Masalahnya adalah Maurin kliennya dan mereka sudah menganggap satu sama lain sebagai teman walau pun baru kenal.     

"Jawab aku, Daisy!" sentak Maurin.     

Daisy agak terkejut karena Maurin membentaknya. Bahkan terdengar lebih galak dan sangat tidak sopan. Mau tidak mau, Daisy akhirnya memerankan perannya.     

"Ya. Aku kekasihnya. Memangnya, ada apa ini?" tanyanya berpura-pura tidak tahu.     

"Maurin, kamu sudah tahu sekarang. Sebaiknya kamu pergi," ujar Ricky.     

"Sejak kapan kalian bersama? Apa kamu nggak tahu kalau dia punya anak? Dia juga janda?" seru Maurin menatap Ricky dengan mata yang memelototinya.     

Daisy menahan amarahnya ketika Maurin mengatakan itu. Walau pun benar, tetap saja itu tidak sopan untuk didengar atau dibahas di depan Ricky.     

Ricky menghela nafasnya membalas tatapan Maurin. "Aku tahu, Maurin. Memang ada masalah dengan statusnya? Karena aku nggak merasa itu masalah buatku."     

Kini gantian Daisy yang terkejut karena ternyata Ricky tahu mengenai statusnya. Dan Daisy sadar bahwa Ricky selama ini tahu tentang seluk beluknya.     

"Aku nggak nyangka pilihanmu serendah itu, Rick!" seru Maurin seraya menatap Daisy dengan ejekan.     

Daisy maju perlahan dan tiba-tiba ... "PLAKKK!!!"     

Tamparan keras Daisy mendarat di pipi Maurin. "Jaga ucapanmu, Maurin!" ucap Daisy dengan penekanan.     

Mata Maurin memerah dan berkaca-kaca. Ia menatap Daisy dan ingin menamparnya balik. Sayangnya, ketika tangannya melayang, Daisy lebih dulu mencegahnya.     

"Kamu pikir kamu siapa? Sekarang lihat, siapa yang lebih rendah? Aku atau kamu?" geram Daisy.     

Daisy langsung menepis tangan Maurin dengan kuat hingga Maurin meringis kesakitan menyentuh tangannya. "Aku nggak akan tinggal diam, Dai! Hubungan kalian akan hancur!" ancamnya.     

"Silakan. Sebelum itu, kamu yang lebih dulu aku hancurkan," ancam Daisy balik dan Maurin segera pergi dari ruangannya.     

Daisy merosot di sofanya ketika Maurin keluar. Ricky yang masih diam di tempatnya menatap Daisy dalam kebisuan. Ia memang sedari tadi hanya diam karena ingin melihat reaksi Daisy. Nyatanya, Ricky merasa takjub dengan perlakuan Daisy.     

"Kenapa kamu bawa dia ke sini pagi-pagi, sih? Kenapa nggak hubungiku dulu?" tanya Daisy kesal.     

"Maaf. Pagi-pagi dia ke kantorku dan melabrakku. Dia nggak sabar ingin melihat kekasihku, katanya."     

Daisy berdecak. Ia memijat pangkal hidungnya. Tangannya sedikit gemetar karena ia menampar Maurin tadi sangat keras. Bahkan tadi ia sempat melihat sudut bibir Maurin mengeluarkan darah segar.     

"Ini pertama kali bagiku. Bertengkar hebat dengan wanita yang merendahkanku," ujar Daisy.     

"Itu bukan salahmu. Orang berhak membela dirinya sendiri."     

"Ya. Tadi itu bukan salahku, tapi salahmu. Kamu melibatkan aku, Ricky. Kenapa juga kamu nggak bilang kalau Maurin-lah wanita itu?"     

Memang salah Ricky karena ia tidak memberitahukannya sejak awal. Tapi semua sudah Ricky atur agar ada aksi yang istimewa seperti tadi. Karena Ricky juga tahu bagaimana liciknya Maurin jika Daisy sampai benar-benar bekerja sama dengannya.     

"Aku punya alasan lain, Daisy. Dengarkan aku," kata Ricky.     

Daisy hanya diam dan ia mengangguk ragu.     

"Maurin itu pebisnis yang licik. Aku tahu kamu bekerja sama dengannya. Tapi setelah aku tahu kamu belum memulai lebih banyak bisnis dengannya, maka aku mengurungkan niatku memberitahumu siapa wanita yang mengejar-ngejarku," jelas Ricky.     

Daisy tidak peduli dengan penjelasan Ricky. Masuk akal atau tidak, ia tidak peduli. "Sudahlah. Bukan masalah lagi sekarang. Artinya status kita selesai, bukan? Kepalsuan ini."     

"Belum, Dai. Apa kamu nggak dengar ancamannya?"     

"Kamu takut dengan ancamannya?"     

"Nggak. Sama sekali nggak. Tapi aku rasa, sebaiknya kita tetap menjalani kepalsuan ini sampai ia benar-benar lelah," ujar Ricky memberikan alasan yang masuk akal.     

Daisy berdecak. Ia lalu memikirkan mengenai perjanjian itu. "Lalu bagaimana dengan perjanjian kesepakatan itu?" tanyanya.     

"Kamu mau bentuk uang, bukan? Aku sudah mengirimnya ke rekeningmu," kata Ricky santai.     

"OK. Aku akan cek dulu."     

Daisy berdiri untuk menuju mejanya. Namun ia hampir terjatuh yang kemudian Ricky langsung menangkapnya.     

Jarak mereka begitu dekat sampai hembusan keduanya terdengar jelas. Jantung Daisy kembali berdebar-debar. Ia rasa Ricky merasakan debaran jantungnya.     

Tiba-tiba dengan lancang, tanpa permisi karena ada kesempatan, Ricky mendaratkan bibirnya ke bibir Daisy. Melumatnya perlahan hingga Daisy pun membalas ciuman itu dengan hasrat yang sudah lama tidak ia rasakan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.