BOSSY BOSS

Chapter 175 - Chit Chat With Raka



Chapter 175 - Chit Chat With Raka

0Katakanlah aku berlebihan, tapi ya, semua yang diucapkannya terdengar bagai sambaran petir bagiku.     
0

Aku tidak salah mendengar lagi. Jeremy memang sudah waktunya untuk menikah. Maka dari itu keluarganya sudah menuntutnya untuk segera menikah. Apalagi diberi waktu berdurasi selama 1 bulan. Dengan pilihannya atau pilihan mereka.     

Aku syok. Seperti baru saja terkena lemparan bola basket yang sangat besar hantamannya, lalu aku menjadi sedikit linglung.     

Baru kusadari Jeremy mengguncang tubuhku, membangunkanku dari kesadaranku.     

"Daisy, maaf, aku nggak bermaksud membuatmu terkejut," ucapnya.     

Kukerjapkan mataku untuk menahan air mata yang sudah ada di pelupuk.     

"Aku ... Aku nggak apa-apa, Jer. Aku baik-baik aja."     

Entah kenapa aku merasa aku sangat bohong pada diriku sendiri. Ketika aku tidak tahu bagaimana perasaanku kali ini, aku tetap membohongi diriku lagi bahwa aku baik-baik saja.     

"Ayo, kita pulang. Biar aku perjelas di rumah," ajaknya lalu menarik tanganku begitu saja.     

Herannya aku hanya diam dan tunduk pada apa yang ia lakukan padaku. Wajahku tampak bingung dan aku seperti mati rasa.     

Mungkinkah ini cara semesta menghukumku karena terlalu lama membiarkan orang yang menyayangiku tanpa status kepastian?     

Sampai rumah, Jeremy membuatku terduduk di sofa. Kali ini aku sepertinya benar-benar syok. Aku sama sekali tidak bisa bergerak bebas. Hanya diam dan memandang ke depan.     

Jadi, apakah aku benar-benar terlihat baik-baik saja?     

"Daisy, aku nggak akan menikah dengan pilihan keluargaku. Mereka hanya memberi waktu dan aku harus segera menemukan pilihanku," ucapnya.     

Aku mengangguk. Aku paham dan mengerti ucapannya. Tapi aku tidak bisa menoleh ke arahnya.     

"Tolong, beri aku jawaban ... Apakah kamu mau menikah denganku? Hanya kamu harapan aku satu-satunya, Daisy."     

Pertanyaan seperti ini sudah pernah aku duga akan keluar dari mulutnya, cepat atau lambat. Dan dari dugaanku itu, aku tidak pernah sekali pun menyiapkan jawaban yang cocok.     

"Aku akan beri kamu waktu, Daisy. Nggak masalah jika kamu mau memberiku waktu selama 1 bulan. Aku hanya butuh jawabanmu," katanya lagi.     

Kuanggukkan kepalaku dan menatap padanya. "Maaf, aku pasti menyusahkan posisimu, ya?" Akhirnya aku bisa berbicara walau terdengar serak.     

Jeremy menggelengkan kepalanya. Ia mengusap kepalaku dan memelukku dalam dekapan dadanya. "Kamu nggak menyusahkanku. Tapi aku harap jawabanmu adalah jawaban yang selama ini kuinginkan, Dai."     

Aku tahu. Sangat tahu bagaimana Jeremy sangat menginginkan untuk memperistriku. Aku juga tak munafik sebenarnya aku butuh seorang suami mau pun Ayah untuk anakku. Tapi aku juga belum memikirkannya sejauh ini.     

Kuanggukkan saja kepalaku untuk menenangkannya. Aku juga butuh waktu untuk benar-benar meyakini apakah aku ingin sekali menikah atau tidak.     

Rasanya masa depan yang kuinginkan sudah hancur begitu saja sejak mengenal Zen. Semua dimulai darinya.     

"Apa bisa kamu tinggalkan aku sendirian, Jer?" tanyaku padanya.     

"Nggak. Kali ini aku nggak akan meninggalkanmu."     

"Aku mohon. Aku butuh waktu sendiri."     

Jeremy tampak lesu mendengar jawabanku. Tapi aku yakin ia akan menuruti apa yang kuinginkan.     

"Berjanjilah kalau ada apa-apa segera hubungi aku?" tanyanya.     

"Iya. Aku janji."     

Jeremy mengecup keningku lalu ia benar-benar keluar dari rumahku dan menuju mobilnya. Sekarang aku benar-benar sendiri.     

Kuhubungi Raka untuk menanyakan perihal Zen yang benar apakah Papa sudah mencabut tuntutannya atau belum.     

Raka akan segera datang setelah aku memintanya. Aku hanya harus bersiap-siap karena aku butuh dirinya untuk mengantarkanku menemui Zen.     

Tak lama Raka masuk ke dalam rumahku dan ia duduk di sofa sementara aku menjamukan segelas air padanya.     

"Dai, ada apa? Sepertinya sangat serius," tanyanya.     

"Iya, serius. Aku mau langsung aja, ya. Aku pernah dengar sekali pembicaraanmu dan Papa mengenai beliau yang ingin cabut tuntutan Zen. Apakah benar?"     

Raka terlihat kaget. Ia bahkan tidak langsung menjawab pertanyaanku.     

"Raka, jawab aku. Kalau kamu diam artinya—"     

"Tunggu, ada apa sebenarnya? Kenapa jadi membahas tentang Zen?" tanya Raka akhirnya.     

"Jangan menjawab dengan pertanyaan, Raka. Please, jawab aja pertanyaanku," timpalku.     

"Maaf kamu nggak tahu tentang ini, tapi ya, benar, Papa mencabut tuntutannya dan Zen sudah bebas dengan alasan Zen sudah bertaubat," jawabnya lancar.     

Aku hanya mengangguk pasrah dan kuraih tasku lalu aku berdiri. "Kamu pasti tahu kan, di mana Zen sekarang? Aku ingin bertemu dengannya."     

"Woah, Daisy! Apa maksudmu? Kenapa harus bertemu?"     

"Aku butuh melihat dia apakah dia benar-benar udah taubat atau hanya sekadar wajah luarnya aja, Raka," jelasku.     

Terlebih aku ingin memastikan apakah ada niat atau keinginan di mata Zen yang menginginkan aku lagi atau tidak. Karena aku tidak bisa jika ia terus menerus mengejarku sementara aku hanya ingin bersama Jeremy.     

Jadi, semua ini saling menyambung. Aku butuh kepastian melihat Zen yang benar-benar taubat tak akan menggangguku lagi, sehingga aku bisa benar-benar tenang dengan Jeremy nanti.     

"OK, tenang. Aku harus kasih tahu kamu dulu. Zen sekarang menetap di pedesaan. Yah, vila sih, sebenarnya. Mungkin kamu tahu? Dan ke sana juga memakan waktu cukup banyak, bukan?" jelas Raka.     

Kuanggukkan kepalaku. "Lalu?"     

"Kita butuh amunisi. Setidaknya makanan untuk di jalan?"     

Kuhela nafasku. Walau kedengarannya sepele, sepertinya yang dikatakan Raka ada benarnya.     

"Plus, aku juga harus memberitahu Reina, Daisy," tambahnya.     

"Iya, silakan. Aku akan bawa camilan yang bisa kubawa dari rumah. Kamu bisa sambil hubungi Reina," kataku.     

Kutinggalkan Raka sejenak dan aku meraih tas kantung spund bond yang mana bisa kuisi camilan-camilan untuk di mobil.     

Sementara itu pikiranku berkelit tentang Zen yang tinggal di vila. Rasanya aneh jika ia menetap di sana usai dari penjara. Dan lagi, dia juga tidak mengejarku, selama yang kutahu.     

Ah, tapi aku belum percaya sampai aku melihatnya sendiri. Jadi, aku benar-benar harus memastikannya.     

"Udah selesai?" tanya Raka menuju dapur.     

"Ah, ya, udah. Kamu bagaimana? Reina nggak apa-apa?"     

Raka menggaruk-garuk tengkuk lehernya dan menyengir. "Sebenarnya aku nggak bilang pergi denganmu. Tapi aku harap kamu nggak bilang ke dia, ya?"     

Aku menghela nafas dan mengangguk. Jika itu yang terbaik, maka aku harus mengiyakan. Lagi pula hal seperti ini tidak perlu waktu yang banyak.     

"Dan kamu, jangan bilang sama Jeremy, OK?"     

"OK. Ayo, kita pergi."     

Raka membawa tas spund bond itu dan menaruhnya di kursi penumpang. Sementara itu aku duduk di depan tepat di sebelah kursi sopir.     

Mobil melaju meninggalkan rumah dan kuhela nafasku menandakan aku bersiap, mau tidak mau.     

Awalnya lagu di mobil menemani kesunyian kami. Lalu Raka mengajak berbicara agar tidak terlalu kaku.     

"Dai, pernah nggak kamu kepikiran akan menikah denganku?" tiba-tiba pertanyaan acaknya itu membuatku seakan jatuh tersungkur.     

"Hah? Kenapa tiba-tiba tanya begitu?" tanyaku.     

Raka mengedikkan bahunya. "Yah, nggak ada maksud apa-apa. Hanya random ask aja. Jadi, jawab aja sesuai apa yang ada di kepalamu."     

Aku langsung menggelengkan kepalaku sebagai jawaban untuknya. "Nggak sama sekali. Aku kan, jatuh cintanya sama Raja, bukan sama kamu Raka."     

"Tapi wajah kami sama. Masa nggak ada sedikit pun perasaan ingin menikah denganku?" tanyanya lagi.     

Aku berdecak. "Memangnya kenapa kalau sama? Tetap aja kamu beda. Karaktermu dan Raja itu beda. Bahkan kalau kamu menyamainya pun nggak akan bisa," sergahku.     

"Duh, aku merasa di tolak, nih."     

Kupukul lengannya agak keras dengan kesal sekaligus bercanda. Kadang ucapannya itu terasa benar di telinga, tapi aku tidak ingin sesuatu terjadi di antara kami.     

Raka tertawa keras dan kemudian ia mulai berhenti untuk mengatur nafasnya.     

"Apa masih jauh? Aku agak lupa sama lokasi vilanya," tanyaku.     

"Yah, masih jauh. Sabar, ya. Sebaiknya kamu bukakan camilan untukku, Daisy," pintanya.     

Ah, ya, aku hampir lupa kalau kami punya camilan yang belum tersentuh sejak berangkat tadi. Jadi kubuka satu dan menaruhnya di antara kursi sopir dan yang kududuki.     

"Sekarang aku mau tanya sama kamu," tanyaku balik padanya.     

"Tanya aja."     

"Kenapa sih, kamu bisa menikahi Reina sementara dia udah banyak membuatmu terluka?" tanyaku.     

Samar, pandangan Raka terlihat seperti menerawang sesuatu. "Gini aja, kenapa Jeremy tetap bersamamu padahal kamu juga memberinya luka yang nggak terhitung jumlahnya?"     

Cinta. Semua karena cinta. Kuanggukkan kepalaku karena aku mengerti jawabannya.     

"Iya, semua karena cinta. Kadang kita bisa menyamakan nasib seseorang, tapi ya bukan bermaksud mengadu nasib, kan?"     

"Iya-iya. Lalu apa kamu pernah memikirkan lagi luka-luka itu?" tanyaku.     

Raka mengangguk. "Pernah. Sering dan kadang bikin sesak. Tapi aku coba menutupi semua itu sama rasa cintaku, Dai."     

Aku membulatkan bibirku membentuk O. Berarti sama intinya. Aku pernah berada di posisinya. Pertama dengan Zen, lalu dengan Raja. Walau Raja tidak pernah mengkhianatiku, tapi memikirkan ia pernah bersama Reina, cukup membuatku kesal juga.     

"Dan tentang perselingkuhanmu itu?" tanyaku tanpa merasa berhati-hati.     

Aku melihat rahangnya menegang. Ia pasti teringat akan kenikmatan yang sementara itu. Yah, walau itu sudah lama sekali, tapi tetap saja. Luka itu lebih sering terlihat terbuka lagi ketika tak sengaja di sentuh.     

"Hmm, kamu belum tahu ya, kalau Reina tahu akan perselingkuhanku itu?" tanyanya.     

Kugelengkan kepala. "Hah? Reina tahu?"     

"Iya. Saat proses persalinan, aku tiba-tiba langsung ceplos aja ngomong kalau aku selingkuh darinya."     

"Kenapa bisa gitu, Raka?" tanyaku.     

"Ya, karena aku lihat persalinannya sedikit kesusahan, jadi aku sedikit memercayai bahwa semua kesusahannya karena aku yang kurang jujur padanya," jelasnya.     

Aku takjub mendengar penjelasannya di bagian itu. Benar-benar mulia sekali niat jujurnya itu.     

"Lalu, apa setelah itu? Reina marah?" tanyaku.     

Raka tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dia nggak marah. Terkejut dan kecewa pasti. Tapi dia bilang semua itu wajar, ya anggaplah seperti karma untuknya. Begitu yang dia bilang ke aku."     

Aku baru tahu seperti itu hati Reina. Ada nilai kebaikan di dalamnya. Wanita mana pun pasti akan marah jika diselingkuhi, tidak peduli apakah itu karmanya atau bukan.     

"Eh ... Loh?" tiba-tiba Raka berseru kaget. Aku jelas ikut terkejut dan menatapnya.     

"Hah? Ada apa, Raka?"     

"Sepertinya ban mobil kiri depan bocor, Dai. Apa kamu nggak merasakannya?"     

Aku memang merasakan sedikit miring. Tapi aku tidak tahu kalau itu artinya bocor. Aku pikir kami sedang melewati jalanan yang cukup rusak jadi mobil mengikuti bentuk jalanan itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.