BOSSY BOSS

Chapter 176 - Big Surprise For Myself



Chapter 176 - Big Surprise For Myself

0Sepertinya perjalanan kami cukup terhalang karena kebocoran ban mobil. Raka sedang mencoba mengganti ban mobil tersebut sementara aku menemaninya duduk si sisinya.     
0

Suasana sudah cukup dingin karena memang kami sudah memasuki wilayah puncak. Artinya ke vila Zen akan segera sampai, bukan?     

Biar begitu, tubuhku yang masih lemah nyatanya tidak cukup kuat untuk berada di luar. Aku pun berniat meminta izin Raka untuk ke dalam mobil.     

"Raka, apa aku bisa masuk ke dalam mobil?" tanyaku mulai menyelimuti diri sendiri.     

"Kenapa? Sebaiknya jangan, ya. Karena akan nambah beban."     

Aku mendengus. Bukan sebal, tapi karena aku tidak kuat dinginnya. Apalagi tempat ini sangat sepi.     

"Di bagasi ada bed cover sama tikar. Kamu gelar di bawah pohon itu, ya? Nggak akan dingin, kok," ujarnya.     

Aku rasa Raka tahu apa yang kubutuhkan dan kukeluhkan. Akhirnya aku mengambil barang itu dan menggelarnya persis seperti yang diperintahkan Raka.     

Aku berbaring sejenak dan menyelimuti diri dengan bed cover. Rasanya begitu tenang dan hangat. Entah kenapa Raka bisa membawa ini tapi yang pasti ini sangat cocok untukku.     

Setelah beberapa saat terbaring, aku menutup mataku. Kubiarkan alam membawaku tidur hingga nanti Raka akan membangunkanku.     

"Daisy?" sentuhan lembut membangunkanku dari tidur. Rasanya baru saja aku memejamkan mataku dan tiba-tiba Raka sudah membangunkanku.     

"Eh? Udah?" tanyaku beranjak.     

"Iya, udah. Keberatan nggak kita makan dulu? Udah sore soalnya."     

Aku menatap sekitar dan semakin sore rupanya udara semakin mengganas saja. Jadi aku menganggukkan kepalaku dan Raka membantuku berdiri.     

Raka juga yang mengemas kembali tikar serta bed cover itu dan memasukkannya kembali ke dalam bagasi. Aku hanya tinggal duduk manis di kursiku.     

Karena nyawaku belum terkumpul, aku hanya bisa melamun sampai Raka mengajakku berbicara.     

"Kamu ini, masih sama aja, ya? Masih lemah tubuhmu kalau kelelahan sebentar aja?" tanyanya.     

Kuanggukkan kepalaku. "Iya. Aku juga lupa minum vitamin, Raka. Dan aku juga nggak bawa obatnya juga."     

"Aduh, jangan sampai lelah banget, ya. Jangan buang-buang energimu kalau gitu," ujarnya.     

"Iya. Oh ya, apa ada telepon dari Reina? Aku takut dia khawatir," tanyaku.     

"Nggak ada. Tapi aku udah beritahu dia kalau aku masih sama temanku dan sepertinya pulang larut. Anggap aja lama nggak ngopi sama teman," ucapnya.     

Setelah mendengar itu aku bisa bernafas lega. Kulihat ponselku, tidak ada notif dari siapa pun kecuali karyawanku yang sudah kubalas semuanya.     

Raka menghentikan mobilnya di depan kafe mini yang hanya menyajikan berbagai indomi instan untuk di makan dan minuman kemasan instan juga. Aku sih, tidak apa. Toh, aku juga sudah lama tidak makan yang instan-instan.     

Setelah menu datang, kami makan dengan lahap. Aku menghabiskan indomiku lebih dulu dari pada Raka. Bahkan es susu cokelatku pun sudah habis juga. Perasaan kenyang menyelimuti perutku. Mendadak aku seperti kembali ke masa-masa sekolah.     

"Kamu tahu, nggak? Semua ini mengingatkanku dengan masa sekolahku," ujarku.     

"Oh, ya?"     

"Iya. Memangnya kamu nggak pernah menikmati hal semacam ini sejak sekolah? Atau kuliah?" tanyaku.     

"Dai, kamu tahulah aku dan Raja lebih banyak menghabiskan waktu di luar negeri. Makanan kami ya makanan cepat saji juga, tapi yah bukan indomi. Jadi, aku nggak ada pengalaman semacam itu."     

Ah, ya. Aku lupa tentang itu. Si kembar ini memang sejak dulu besar di luar negeri. Entah kenapa harus di sana. Tapi yah, mereka cukup OK sih, untuk lulusan dari luar negeri. Aku saja sempat iri.     

"Oh, ya. Kita nggak akan menginap, kan?" tanyanya.     

"Jangan gila! Tentu saja nggak. Aku akan bela-belain pulang larut agar kita nggak menginap, Raka. Urusanku hanya sebentar, kok."     

"Semoga aja begitu. Udah selesai? Kita lanjutin perjalanan. Sebentar lagi sampai, kok."     

Aku mengangguk. Setelah Raka membayar, kami melanjutkan perjalanan. Lalu perlahan mobil Raka melambat dan memasuki sebuah vila yang mana pintu gerbangnya terbuka.     

Vila tersebut besar. Ya, aku masih ingat bentuknya. Tapi catnya sudah berganti. Penerangannya sangat mengkilau dan sepertinya di dalam vila itu bukan hanya ada Zen di sana. Sebab aku melihat tiga mobil terparkir di halamannya yang luas.     

Jantungku berdegup kencang. Aku seakan tidak siap sekarang tapi aku halau saja. Tidak mungkin aku seperti ini terus, kan? Aku harus maju untuk diriku sendiri.     

"Kamu mau turun sendiri atau bersama aku?" tanya Raka.     

Aku menatapnya dan aku yakin Raka bisa melihat kepanikan di wajahku.     

"Baiklah, aku akan temani kamu," timpalnya menjawab pertanyaannya sendiri. Jadi, aku menganggukkan kepalaku dan kami pun keluar.     

Semakin dekat langkah kami ke arah vila itu, semakin aku menggenggam lengan jaket Raka.     

"Daisy, aku di sini, nggak perlu takut," ucapnya menguatkanku.     

Aku tahu. Tapi sebagian diriku yang merasa aku tidak bisa maju lagi. Tapi tetap kupaksakan, apa pun kecemasanku.     

Kutekan bel pintu vila itu berulang kali sampai seseorang tingginya hampir sama dengan Raka muncul.     

Sejenak aku diam. Ia juga diam. Tidak, bukan Zen. Tapi itu Devan. Saudara tiri Zen yang mana sempat berseteru kala itu. Aku yakin Devan masih mengenalku karena dia juga sama terkejutnya sepertiku.     

"Daisy?" nah kan, apa kubilang.     

"Apa Zen ada?" tanya Raka mewakili bibirku.     

"Errr, Zen sedang keluar sebentar. Dia lagi ke mini market. Sebentar lagi mungkin datang. Apa ... Kalian mau masuk?"     

Devan kedengarannya lebih bersahabat dari pada beberapa tahun yang lalu.     

"Terima kasih, Devan. Tapi nggak. Aku akan menunggu di sini," balasku.     

"OK. Tunggulah di sini, biar aku ambilkan minum."     

Devan langsung masuk sebelum aku menolaknya. Tapi biarlah. Setidaknya aku bisa mengatur kembali detak jantungku sebelum Zen datang.     

Ke mini market? Bahkan Zen bukan tipikal yang seperti itu. Rasanya lucu juga. Sekarang, bagaimana kabarnya? Apakah ia sudah memiliki istri atau mungkin kekasih? Lantas ia tidak lagi menggangguku? Atau memang Zen sudah taubat?     

Devan muncul dengan membawa dua soda untuk kami. Lalu satu soda di tangannya. Ia pun ikut duduk di hadapanku.     

"Jadi, ada apa ke sini, Daisy?" tanya Devan.     

"Hmm, aku ada urusan sama Zen. Jadi, biar dengan Zen aja aku bicara."     

"Tapi aku rasa Zen sedang nggak janji dengan siapa pun."     

"Memang. Tapi aku yang menginginkannya, Devan."     

Devan mengangguk penuh dan meneguk sodanya.     

"Apa lagi pesta? Kelihatannya ramai di dalam," tanyaku.     

"Ah, hanya perkumpulan keluarga."     

"Apa Tante Neva—"     

"Daisy, maaf jika nggak keberatan, aku udah melarang orang dalam yang mengenalmu untuk keluar. Jadi, kalau kamu ada urusan dengan Zen, maka tuntaskan dengannya. Di sini aku hanya penengah," jelasnya memotong ucapanku.     

Aku mengangguk mengerti. Sepertinya aku sudah terlalu buruk di mata mereka. Tentu saja. Keluargaku yang membuat Zen jadi di penjara dan aku sama sekali tidak muncul.     

"Mereka membenciku, ya?" tanyaku.     

"Bukan membenci. Hmm, lebih tepatnya nggak mau berurusan denganmu lagi. Maaf, Daisy."     

"Terima kasih, Devan. Itu sudah lebih dari cukup membantuku."     

Ia mengangguk lalu menatap Raka. Jadi kukenalkan saja sekalian dengannya agar ia juga tidak salah paham.     

"Zen ... Apa dia udah menikah?" tanyaku.     

"Bukan aku yang harus menjawabnya, Daisy. Tunggu dia aja, OK? Kalian, minum dulu aja. Aku harus ke belakang sebentar."     

Setelah Devan pergi, aku dan Raka membuka soda itu. Meneguknya karena haus dan terasa segar di mulut.     

Aku cukup lama menunggu kedatangan Zen. Membayangkan ia ke mini market, sepertinya ia agak kesusahan berbelanja seperti itu. Entah kenapa aku jadi tersenyum sendiri.     

"Kamu yakin mau nunggu dia?" tanya Raka.     

"Iya, Raka. Sebentar lagi, OK? Kamu nggak apa-apa, kan?"     

"Ya, nggak apa-apa sih. Aku takut kamu kelelahan."     

Aku tersenyum mendengar kekhawatirannya. Lalu aku menyentug tangannya dan mengusapnya.     

"Terima kasih ya, udah mau temani aku. Aku berhutang sama kamu, Raka "     

"Duh, kayak apa aja, Dai. Udahlah. Aku bantu juga karena aku bisa dan mau."     

Aku diam menanggapi ucapannya. Daripada aku balas berbalas kata-kata dengannya. Jadi aku hanya diam dan tersenyum sedikit. Berharap semoga Zen datang lebih cepat.     

"Hei, Daisy ... Ini ada kue. Makanlah. Ini buatan Tante Neva. Aku harap bisa mengobati rasa rindumu sedikit aja," ucap Devan tiba-tiba muncul.     

Aku menatap Raka dan ia mengangguk padaku. Jadi aku meraih satu kue tersebut dan kumakan. Rasanya masih sama seperti dulu yang pernah kurasa. Bukan perkara aku pernah menjadi mantunya, tapi karena memang enak jadi aku tidak akan berbohong.     

"Jadi, kalian akhirnya tinggal bersama?" tanyaku pada Devan.     

"Yah, namanya udah besar, nggak mungkin terus menerus bermusuhan, kan? Walau Ibu kami berbeda, senggaknya itu nggak akan memisahkan kami dari orang tua juga," balas Devan.     

Ya, dia benar.     

"Dan kamu sendiri, apa udah menikah, Devan?"     

Devan tertawa kecil. "Soal itu ... Belum, Daisy. Aku masih ingin sendiri."     

Aku mengangguk paham. Rasanya aku terlalu banyak bertanya tentang keluarga ini. Padahal keperluanku hanya dengan Zen.     

"Omong-omong, Zen lama, ya? Err, maksudku, masih lama?" tanyaku ingin memastikan.     

"Seharusnya sebentar lagi, sih. Mungkin dia udah masuk ke daerah sini."     

Sejak Devan berbicara begitu, degup jantungku berdetak lebih cepat. Iya, aku benar-benar berdebar rasanya. Entah kenapa aku merasa Zen memang semakin mendekat.     

Bahkan Devan bisa melihat aku memegang lengan Raka kuat untuk mengontrol diriku sendiri.     

"Apa dia baik-baik aja?" tanya Devan pada Raka.     

Aku mendengar mereka, tapi aku sedang tidak bisa meresponsnya.     

"Dia baik-baik aja. Jangan khawatir."     

Setelah itu aku mendengar sebuah mobil masuk ke dalam gerbang. Suara mobil sport itu menyeruak ke telingaku hingga aku menoleh ke arahnya. Dan tiba-tiba aku berdiri dari tempatku duduk.     

Kutatap mobil itu hingga pintu kemudinya terbuka. Nafasku memburu dan tersengal-sengal. Lalu tak lama seorang wanita dan anak balita berada dalam gendongan wanita itu pun ikut keluar.     

Sejenak aku mencerna semuanya. Lalu aku sadar siapa wanita itu.     

Zen masih menatapku dalam diamnya. Lalu ia menyuruh wanita itu masuk ke dalam duluan.     

Mataku yang awas pun mengikuti pergerakan wanita itu. Lalu aku kembali menatap Zen.     

"Daisy ... " lirihnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.