BOSSY BOSS

Chapter 193 - Honeymoon



Chapter 193 - Honeymoon

- Daisy's POV -     

Akhirnya aku menikah.     

Yah, siapa yang sangka kalau dalam kehidupanku, aku menikah tiga kali. Rasanya mungkin memalukan bagi siapa pun yang beranggapan seolah aku ini murahan.     

Aku tidak pernah memaksa laki-laki untuk menikahiku. Bahkan aku terkesan menjauh dan menghindar. Tapi memang tidak ada yang tahu rencana seseorang. Pada akhirnya aku menikah lagi.     

Kelihatannya membosankan mendengar dan tahu aku menikah lagi. Berurusan dengan laki-laki dan seperti itu terus. Tapi memang begitu kehidupanku ini. Bahkan aku masih belum bisa benar-benar melepas masa lalu.     

Terkadang masa lalu itu datang tanpa aku pikirkan. Siapa yang tidak merasa terbeban ketika hal-hal masa lalu yang menyakitkan itu datang seperti tamu?     

Menikah dengan Jeremy adalah hal yang sudah lama direncanakan. Kalian yang mengikuti kehidupanku, pastilah tahu bagaimana hubunganku dengan Jeremy dahulu.     

Seperti ikatan yang putus dan tersambung lagi, itulah hubunganku dengan Jeremy. Aku tidak akan membiarkan hubunganku yang terakhir ini hancur. Aku tidak ingin menjadi seorang janda lagi, walau pun sebelum menikah aku tidak merasa harus menikah. Tapi karena semua ini sudah terikat, maka aku harus menyelamatkan pernikahanku.     

Pernikahan yang diadakan dengan sederhana, membuatku senang dan lega. Jeremy tahu aku tidak begitu suka dengan keramaian. Syukurlah, pernikahan berjalan dengan lancar.     

Jeremy memutuskan untuk menetap di rumahku. Ia tahu rumahku adalah rumah peninggalan dari Raja dan ia sangat menghargai segala hal yang Raja tinggalkan untukku.     

"Semua barang kamu yang penting sudah masuk semua?" tanyaku pada Jeremy saat kami akan meninggalkan rumahnya.     

"Iya, sudah, kok. Jangan khawatir."     

"Jenny bagaimana? Dia baik-baik saja ditinggal di sini?"     

"Ada teman Jenny nanti yang akan tinggal di sini."     

Aku mengangguk dan tenang. Jenny memang di rumah sendirian karena adiknya yang laki-laki sudah kembali ke Amerika untuk sekolah di sana.     

"Baik-baik ya, Jen. Kalau butuh apa-apa, hubungi aku, ya?" ujarku seraya memeluknya.     

"Tenang, kak. Sering-sering main ke sini ya, kak."     

Aku dan Jeremy akhirnya berjalan menuju arah rumahku. Sebelum itu, kami memutuskan untuk makan di luar dan membeli beberapa bahan makanan. Aku ini seorang istri sekarang, jadi setidaknya aku harus berperilaku menjadi seorang istri untuk suamiku.     

"Nggak usah beli bahan masakan. Aku nggak mengharuskan kamu masak, Daisy," ucap Jeremy.     

"Tapi memang bahan masakan sudah menipis, Jer. Lagi pula apa salahnya, kan, menyimpan beberapa?"     

Jeremy menggelengkan kepalanya. "Aku nggak mau kamu capek. Cukup di rumah aja dan santai. OK? Aku memperistri anak orang bukan untuk dijadikan pembantu."     

Apa kalian mau laki-laki seperti Jeremy? Kurasa semua mau, aku pun termasuk salah satunya. Jangan anggap tidak ada laki-laki yang sepertinya. Aku yakin ada, tinggal bagaimana dirimu meyakinkan diri.     

"Jer … "     

"Kita ke supermarket. Beli camilan dan beberapa bahan yang habis. Tapi bukan berarti aku menyuruhnya masak. OK?" ujarnya memberiku peringatan.     

"OK. Deal."     

Setelah makan, tentu supermarket besar menjadi tujuan kami. Jeremy mendorong troli sementara aku memilih camilan yang aku mau, yang biasa Jason makan dan tentu saja pilihan Jeremy juga.     

Sementara itu Jeremy memasukkan beberapa bahan makanan yang menurutnya kayak untuk masak dengan cepat. Sebab memang Jeremy sangat paham tentang dapur.     

"Sebenarnya kalau belanja bahan masakan, lebih hemat beli di pasar loh, Jer," ujarku menyimpulkan.     

"Memang. Tapi kita berada di satu tempat dengan tujuan yang sama, jadi apa boleh buat, kan? Lagian, hemat atau nggaknya, bukan masalah buat aku."     

Belum sempat aku membalas ucapannya, Jeremy sudah menambahkan lagi. "Lagi pula, aku nggak mau kamu kepanasan di pasar. Istriku nggak boleh capek-capek."     

***     

Hal pertama yang aku dan Jeremy lakukan saat sampai rumah adalah bercinta. Ya, bercinta. Sebenarnya ini dimulai dari Jeremy. Saat aku membuka pintu rumah, aku pikir dia akan menuruni barang-barangnya dan juga belanjaan kami. Tapi ternyata saat pintu terbuka, Jeremy langsung membalikkan tubuhku dan menciumku.     

Kalian bisa tebak sendiri apa hal selanjutnya yang terjadi pada kami. Tanpa pakaian, bercinta di setiap sudut rumah dan bahagia karena akhirnya kami memang sudah resmi menikah.     

Padahal tadi aku berniat untuk menjemput Jason setelah menaruh belanjaan, tapi ternyata rencana itu berubah.     

Jeremy bahkan lebih liar dari yang kupikir. Tidak seperti saat kami masih berpacaran yang masih berhati-hati, kali ini seperti tidak ada ampun bagiku.     

Seks memang bekerja dalam kehidupanku. Aku pernah bilang bukan, semua berawal sejak aku mengenal Zen. Setelah itu kalian tahu sendiri.     

Setelah kami bercinta, Jeremy bahkan enggan melepaskanku. Ia masih menciumku dan menghujaniku dengan kata-kata cinta yang ia selalu miliki.     

Biasanya, aku selalu ada alasan untuk tidak menyukai beberapa sifat seseorang. Tapi dengan Jeremy, berbeda. Setiap karakter atau pun sifat yang ia miliki, aku menyukainya. Mungkin karena Jeremy selalu memahamiku? Aku tidak tahu juga.     

Pengalaman saat bersama Zen, betapa pun sulit untukku. Aku tidak pernah dipahami. Selalu patuh padanya dan seakan takut juga. Dengan Raja, yah, dia memiliki seperti Jeremy juga. Tapi Raja adalah laki-laki yang lebih mendominasi.     

"Kita harus menjemput Jason, Jer," ujarku berusaha keluar dari ranjang.     

"Hmm, ya. Sebentar lagi. Kenapa kamu sangat cantik, Daisy?" tanya Jeremy dengan suara beratnya.     

Aku tertawa kecil. Ia selalu menanyakan hal yang sama dan kadang aku sendiri bingung menanggapinya. Menurutku, aku ini biasa saja.     

"Karena aku istrimu," jawabku konyol.     

"Bukan. Karena kamu aku cintai, maka dari itu kamu selalu cantik," ralatnya singkat.     

Bukankah itu jawaban yang masuk akal untuk logika? Aku rasa kekasih atau pun suami kalian yang selalu bertanya hal yang sama seperti Jeremy, pasti pada dasarnya memiliki jawaban yang sama. Hanya saja, kadang beberapa laki-laki terlalu gengsi mengatakan yang sebenarnya.     

Wanita mana pun yang dipuji pasangannya, pasti merasa bahagia, bukan? Aku senang mendengar bagian itu. Tapi aku juga tidak boleh merasa tinggi hati. Jadi kalian, tetaplah rendah hati untuk hal-hal yang membuat kalian bahagia, OK?     

Setelah aku selesai mandi, aku lebih dlu menyiapkan pakaian Jeremy. Sebenarnya kami mandi bersama karena Jeremy yang menginginkannya, tapi aku keluar lebih karena aku sudah selesai.     

Kupilih salah satu pakaian yang masih berada di dalam kopernya. Aku lebih senang Jeremy menggunakan baju polos berwarna hitam dengan celana jeans pendek berwarna hitam. Ketampanannya bertambah berkali-kali lipat.     

"Kamu memilih ini?" tanyanya saat ia keluar kamar mandi.     

"Hmm, pakailah." Sebenarnya aku malu karena menyiapkan ini. Seolah benar-benar aku ini baru pertama kali menikah.     

Jeremy memelukku dari belakang dan mencium leherku. Aroma maskulinnya benar-benar terasa dihidungku. "Terima kasih. Kebetulan tadi aku juga ingin memakai pakaian ini," ucapnya.     

***     

Tiba di rumah Ibu, Jason dan Lily sedang bermain bersama. Aku tidak akan mengganggu mereka karena aku juga tidak ingin langsung pulang. Jadi aku putuskan untuk duduk santai di ruang keluarga bersama yang lain.     

"Jeremy, saya ada sesuatu untuk kamu dan Daisy," tiba-tiba suara Papa mengisi ruangan ini sehingga kami saling memandang satu sama lain.     

"Ya, Pa? Ada apa?" Jeremy dengan lancar sudah berani untuk memanggil Papa.     

Papa memberikan sebuah amplop putih panjang pada Jeremy dan menyuruhnya membukanya. Lalu Papa duduk di sisi Ibu.     

"Itu hadiah honeymoon untuk kalian. Jason sementara di sini dulu saja. Lagian dia sudah biasa di sini, kan?" ujar Papa.     

Bibirku menganga. Aku langsung melihat kertas tipis yang Jeremy pegang. Sebuah tiket yang sudah dipesan Papa.     

"Pa, ini berlebihan. Kami nggak perlu untuk honeymoon, kok," timpalku merasa tidak enak.     

"Raka dan Reina pernah Papa berikan. Masa ke kalian nggak? Papa harus adil, kan? Lagian, Papa ingin kalian juga senang karena kami."     

Aku merasa terharu. Bagiamana pun, beliau memang benar. Ini bukan hal yang biasa. Walau dulu aku juga mendapatkan hal yang sama saat masih bersama Raja, tapi aku tidak berpikir bahwa Papa akan melakukan ini juga ketika aku bersama Jeremy.     

"Tiga hari lagi kalian berangkat. Bawa saja yang diperlukan karena vila itu sudah terisi barang-barangmu," kata Papa memberitahu.     

Refleks, aku memeluk Papa. Ini adalah kali pertama aku memeluknya. Sebab selama ini aku memang memberikan jarak pada beliau sejak tahu Zen ia bebaskan secara diam-diam tanpa kuketahui.     

"Terima kasih, Pa. Akan saya manfaatkan dengan benar hadiah ini," ucap Jeremy.     

***     

Pemandangan vila ini benar-benar eksotis. Aku tidak pernah kepikiran kalau Papa memiliki vila di sini. Padahal vila yang ia berikan pada Raka dan Raja saat dulu adalah vila yang berbeda.     

Bangunannya memang masih terbilang baru. Tapi ini terlalu mewah. Aku sampai kehabisan kata-kata untuk menjabarkan pemandangan ini.     

Sialnya, vila ini seperti menggambarkan kehidupan diriku yang memang Papa ketahui. Begitu terbuka dan eksotis. Bahkan kamar tidur itu benar-benar transparan. Memang sih, vila ini memiliki sifat privasi, tapi tetap saja aku merasa takut jika ada yang melihat kami.     

"Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Sayang," bisik Jeremy saat aku memang sedang memandang kamar tidur transparan ini.     

Desisannya yang menghembuskan suara nafasnya itu benar-benar menggeletik leher hingga kebagian telingaku.     

"Hmm, jadi apa?" tanyaku mencoba memejamkan mata menikmati sensasi ini.     

Udara yang bersih dengan khas bau tanaman hidup, menjernihkan pikirkanku sesaat. Lalu aku merasakan Jeremy menjatuhkan tali gaunku sebelah kanan, karena aku memang hanya mengenakan gaun.     

Jeremy mulai mengecup-kecup leher hingga kebagian bahuku dengan meninggalkan sensasi yang benar-benar nikmat.     

"Suasananya mendukung, bukan?" tanyanya lirih.     

Aku mengangguk. Sebab benar, suasana yang tidak terlalu panas tapi juga tidak mendung, sangat mendukung untuk mencoba bagaimana kasur itu rasanya.     

Dengan cepat Jeremy membalikkan tubuhku. Menjatuhkan lagi tali gaunku sebelah kanan hingga aku hanya menggantungnya dengan lenganku menahannya. Ia mulai mencium bibirku lembut.     

Adegan panas sebentar lagi akan di mulai kurasa. Sepertinya Papa memang sudah menyiapkan ini saat aku dan Jeremy saling bertemu.     

Kedua tangan Jeremy menyisir rambutku dengan penuh sensasi. Aku tidak bisa lagi menunggunya untuk memulai. Maka dari itu, kubalikkan dirinya lagi dan mendorongnya hingga ia terjatuh ke kasur itu.     

Kutindih tubuhnya dan aku menciumnya dengan liar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.