BOSSY BOSS

Chapter 196 - Dark & Blind



Chapter 196 - Dark & Blind

0Jeremy tidak ingin kehilangan Daisy. Tapi ia juga tidak ingin membuat Daisy jadi teringat insiden kecelakaan saat itu terjadi pada Raja.     
0

Melihat Daisy yang masih terbaring dan tidak sadar-sadar membuatnya sedikit frustasi. Seharusnya yang lebih terluka adalah dirinya, bukan Daisy. Tapi nasib malang menimpa Daisy. Dan Jeremy masih saja menyalahkan dirinya.     

Jeremy bahkan tidak mau meninggalkan Daisy sejak selesai pengobatan. Baginya, Daisy adalah segalanya yang harus sembuh dan pulih.     

"Jer, lo bisa tidur sekarang. Biar gue yang gantiin lo," ujar Raka.     

"Terima kasih, tapi gue nggak akan pergi dari sini, Ka. Lo aja yang tidur."     

Raka berdecak dan mengangkat kursi untuk duduk di seberangnya. "Lo mau sampai kapan begini? Lo juga ada kerjaan, kan? Ayo, jalani aktivitas lo seperti biasa. Daisy pasti bakal marah kalau lo sampai lalai begini."     

Jeremy hanya diam dan tetap memandang Daisy. Berharap Daisy memberikan pergerakan. "Dia juga harusnya tahu, dia harus bangun buat gue semangat untuk kerja," balas Jeremy.     

Raka sedikit tertawa menanggapi ucapan Jeremy. Jelas tawanya itu menimbulkan mata Jeremy memandangnya. "Kenapa? Ada yang lucu?"     

"Hmm yah, gue jadi ingat ucapan Daisy yang sama kayak lo saat Raja terbaring seperti dia," jelas Raka seraya mengingat masa lalu.     

"Dia mengatakan hal yang sama?" Tanya Jeremy.     

"Iya. Persis. Gue yakin Daisy mendengar lo. Kita cuma harus sabar buat menunggunya sadar."     

***     

Saat mendengar berita terbaru Daisy, Zen terpaku. Tubuhnya benar-benar kaku tapi ia tidak bisa berbuat apapun.     

Perasaan dan raganya ingin sekali datang ke rumah sakit untuk menjenguknya, tapi ia yakin sekali, bahwa Raka atau pun Jeremy, pasti tidak mengizinkannya.     

Jadi, dari kejauhan, Zen hanya bisa mengupayakan agar segala dokter dari mana pun harus membuatnya sembuh dan sadar.     

"Apa pun, lakukan yang terbaik. Saya nggak terima kegagalan. Kalau sampai ada kegagalan, rumah sakit dan segala izin dokter dan suster ini, akan saya cabut!" Ancam Zen.     

Setelah Zen mengatakan itu, ia menuju ke ruang ICU di mana ia hanya bisa menatap Daisy dari kaca luar. Ia tidak bisa masuk karena ada Jeremy di sana menunggunya.     

Sudah sesering itu Zen keluar masuk ke rumah sakit hanya untuk menjenguk Daisy dari kejauhan. Ia selalu tidak punya kesempatan untuk mendekatinya karena Jeremy seperti tidak pernah beranjak dari ruangan Daisy.     

"Kapan aku bisa melihatmu secara langsung, Daisy? Aku ingin memegang tanganmu seperti dia memegangmu juga," lirih Zen.     

Tiba-tiba satu sentuhan di bahunya membuatnya terkejut. Zen berbalik dan ternyata Raka-lah yang mengejutkannya.     

"Gue lihat lo sering keluar masuk, ada apa, Zen? Apa lo mau menculik Daisy lagi?" Tanya Raka.     

Zen menggelengkan kepalanya. Ia lalu menunjukkan jari manisnya yang menandakan bahwa ia sudah menikah.     

"Gue udah menikah. Daisy tahu siapa orangnya. Dan nggak, gue kesini bukan untuk menculiknya, gue cuma pengen lihat dia," jelas Zen.     

"Daisy tahu siapa istri lo?" Tanya Raka mengangkat satu alisnya heran.     

"Lo pasti heran dan bingung. Lo bisa tanya langsung sama dia saat dia sudah sadar nantinya."     

Zen langsung pergi dari hadapan Raka sementara Raka menghentikan langkah Zen dengan memegang lengannya.     

"Gue bisa buat lo ketemu Daisy secara langsung. Tapi jangan lama-lama. Anggap aja gue paham bagaimana perasaan lo terhadap Daisy sampai saat ini. Tunggu di sini."     

Raka melangkah ke depan sementara Zen berbalik untuk melihat apa yang akan Raka lakukan.     

***     

"Makan dulu sana di kantin. Gue gantiin," ujar Raka membujuk Jeremy.     

Jeremy berdiri dan menatap Daisy sebentar lalu ia alihkan pada Raka. "Kalau ada apa-apa langsung kabari gue. Kebetulan gue juga lapar dan butuh energi lebih buat jaga dia, kan?"     

Raka mengangguk dan membiarkan Jeremy keluar dengan langkah gontai. Saat itu juga mata Raka langsung menatap Zen dan mengangguk padanya.     

"Gue akan berjaga di luar. Tolong gunain waktu lo sebaik mungkin," ujar Raka.     

"Hmm, thanks, Raka."     

Sementara Raka keluar, Zen masih kaku. Ia enggan menyentuh tangan Daisy. Seolah sadar bahwa banyak hal yang telah ia lakukan padanya dengan sebuah kesalahan.     

Kedua tangannya mengepal dan tak bisa terbuka.     

"Maaf," hanya itu yang bisa Zen katakan pada Daisy dan ia pun segera keluar.     

"Thanks sekali lagi, Raka. Gue nggak bisa lama-lama."     

Begitu saja Zen langsung meninggalkan Raka dan Raka juga tidak berusaha menghentikannya.     

Tak lama setelah itu Jeremy muncul. Beruntunglah, batin Raka.     

"Kenapa lo di luar, Raka? Kenapa nggak di dalam?" Tanya Jeremy. Sejak Daisy terbaring, Jeremy lebih sering marah-marah.     

"Tadi gue batuk dan yah, gue nggak mungkin batuk di depan Daisy, kan?"     

Jeremy menghela nafasnya dan langsung masuk tanpa mempedulikan ucapan Raka yang baginya tidak masuk akal.     

Saat itu juga Jeremy terkesima karena ia melihat Daisy mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia langsung memegang Daisy dan berteriak pada Raka.     

"Sadar! Daisy sadar!" Katanya pada Raka. Raka pun refleks langsung memanggil perawat dan dokter.     

"Sayang, kamu sadar? Ini aku. Kamu bisa dengar aku, kan?"     

Daisy masih berusaha membuka matanya penuh. Sementara dokter dan perawat memeriksa keadaan Daisy.     

Jeremy yang senang dengan perkembangan itu tak bisa menahan gejolak bersyukurnya. Ia berharap Daisy berbicara padanya dan menatapnya.     

"Ge-lap," ujar Daisy lirih.     

Baik Jeremy, Raka serta perawat juga dokter saling menatap satu sama lain. Senyum di wajah Jeremy memudar.     

"A-aku … nggak … bisa … melihat. Jer? A-aku dengar … kamu. Pegang a-aku."     

Jeremy melangkah perlahan untuk mendekat. Tangannya ia lambai-lambaikan di depan wajah Daisy. Dan sadar, Daisy sama sekali tidak menggerakan matanya untuk melihat.     

"Dokter?" Tanya Jeremy.     

"Maaf Bu, sepertinya Ibu mengalami kebutaan. Itu terjadi karena saat kecelakaan," jelas dokter dengan berat hati.     

"Bagaimana solusinya, dok?" Tanya Raka.     

"Donor mata. Jika memang ingin segera mencari pendonor mata, maka kami akan memberikan formulir untuk Anda isi, Pak."     

"Ya. Berikan formulir itu, dok."     

Sementara itu Daisy hanya diam dan menitikkan air mata. Ia mendengar semua percakapan itu, tapi tidak bisa berbicara apa-apa.     

"Tapi mohon maaf karena harus menunggu sesuai nomor antrean, Pak."     

"Lakukan secepatnya, dok. Saat sudah dapat, langsung lakukan. Saya akan membayar berapa pun harganya," ujar Jeremy berkeras.     

Daisy memegang tangan Jeremy. Memberinya relaksasi agar Jeremy mengontrol amarahnya.     

"Sudah. Nggak apa-apa. Sesuai antrean saja, dok. Saya nggak apa-apa," potong Daisy dengan suara pelannya. Ia masih belum bisa berbicara banyak karena masih merasa syok.     

Sementara itu Jeremy memberikan isyarat pada dokter agar melakukan sesuai apa yang dikatakan Jeremy.     

Dokter pun mengangguk dan kemudian menyuruh Jeremy mengikutinya untuk mengisi formulir.     

Raka yang menemani Daisy masih belum bisa mengatakan apa pun. Tapi dari aromanya, Daisy tahu Raka di sana.     

"Katakan sesuatu, Raka," ucap Daisy.     

Raka hanya diam. Ia menangis. Baru kali ini ia menangis untuk Daisy. Merasa kasihan dan tersiksa melihat Daisy tidak bisa melihat untuk jangka waktu yang tidak bisa di duganya.     

"Aku … nggak apa-apa … Raka," ujar Daisy seraya menitikkan air matanya lagi. "Iya, aku … nggak apa-apa."     

***     

Lissa menyajikan kopi hitam di meja ruang tamu, di mana Zen tengah duduk. Ia menatap Zen yang sangat serius memperhatikan ponselnya.     

"Apa yang kamu lihat, Sayang?" Tanya Lissa.     

"Daisy … aku dengar dia mengalami kebutaan karena kecelakaan itu," ucap Zen.     

Lissa menghela nafasnya. Ia memang tahu bahwa menikah dengan Zen, berkonsekuensi bahwa Zen akan memantau Daisy dari jauh. Hal itu sudah Zen katakan sejak awal sebelum mereka benar-benar memutuskan untuk menikah.     

"Kasihan sekali. Lalu bagaimana?" Tanya Lissa.     

"Suaminya mempercepat dokter untuk melakukan donor mata jika sudah ada pendonornya," jawab Zen.     

"Semoga dia cepat mendapatkan pendonor itu," harap Lissa.     

Zen mengangguk. Ia lalu menatap Lissa yang hanya diam berpikir sesuatu. Seolah tahu apa yang istrinya pikirkan, Zen pun memangku Lissa dengan mudahnya mengangkatnya.     

"Aw! Zen!" Teriak Lissa tertawa.     

"Jangan cemburu. Aku hanya khawatir, itu saja," ucap Zen mengecup pangkal telinganya.     

Lissa tersenyum. Hal seperti inilah yang selalu Zen lakukan ketika mereka membahas Daisy. Zen tentu tahu bahwa Lissa seorang yang mudah cemburu. Untuk itu, saat Zen berusaha ingin menjenguk Daisy, Lissa tidak pernah mau ikut untuk menyaksikan suaminya yang masih terpaku pada mantan istrinya.     

"Wajar kan, kalau aku cemburu? Tapi aku selalu yakin bahwa cuma aku milikmu seorang," balas Lissa.     

Dengan perasaan sayang, Zen akhirnya menghujani wajah Lissa dengan ciuman-ciuman cinta yang tidak bisa Lissa tolak.     

"Kamu selalu memahamiku, Lissa."     

"Kamu juga. Aku mencintaimu."     

"Aku mencintaimu lebih," balas Zen tak mau kalah.     

Belum selesai mereka berciuman setelah mengatakan kata-kata cinta. Bel apartemen berbunyi. Lissa pun berdiri dan bergegas menuju pintu.     

Kemudian Lissa mematung karena melihat siapa yang datang ke apartemen suaminya itu.     

Daisy.     

"Lissa? Apa itu kamu?" Tanya Daisy yang masih memegang lengan Raka untuk memandunya.     

"Ka-kamu tahu bahwa ini aku?" Tanya Lissa heran.     

Daisy tersenyum lemah mendengar pertanyaan Lissa. "Sepertinya kalian pasti sudah tahu kabarku. Dan, tentu saja aku tahu itu kamu. Wangi tubuhmu bisa aku hapal, Lissa."     

Kemudian Zen muncul dengan perlahan saat ia mendengar suara Daisy. Ia sama diamnya seperti Lissa.     

Daisy sendiri menggunakan indra penciumannya dan ia memalingkan wajahnya ke arah di mana Zen berada.     

"Zen? Kamu di depanku sekarang?"     

"Daisy … " lirih Zen. Ia menatap Raka untuk meminta penjelasan apa maksud kedatangannya. Sudah pasti Jeremy tidak tahu tentang ini, pikir Zen.     

Perlahan Zen mendekat. Kemudian refleks tangannya menyentuh rambut Daisy dan menyelipkannya ke belakang telinga Daisy.     

Dahinya yang masih diperban itu menimbulkan rasa sakit di dada Zen.     

"Aku tahu kamu pernah sekali masuk ke ruang ICU, Zen. Aku bisa merasakan kehadiranmu saat itu. Entah itu mimpi atua bukan, gapi mungkin berkatmu, maka aku bangun walau tanpa bisa melihat lagi. Jadi, aku ke sini cuma mau mengucapkan terima kasih, Zen," ungkap Daisy.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.