The Eyes are Opened

KOSAN RUMAH TUA



KOSAN RUMAH TUA

0"Ndra! Aku balik dulu ya! Ini kosan ku." Ucap Mey yang berjalan bersamaku setelah pulang dari Joga.     
0

"Oh iya. Daahhh..."     

"Kos mu dimana ce?" Tanyaku pada ce Litha, senior ku yang juga tinggal di daerah yang sama.     

"Itu di rumah blok A-12."     

"Lho lak seberangan ce?"     

"Iya. Hehehehe... Enak kamu nggak jalan sendirian ke kosan. Kamu bukannya kemarin berangkat sama teman satu kosan mu ya?"     

"Iya ce."     

"Lha terus temanmu itu kemana? Kok nggak kelihatan?"     

"Tadi bareng temannya naik mobil ce. Oh itu dia baru sampe." Ucapku sambil menunjuk ke arah mobil putih yang terparkir di depan pintu gerbang kos ku.     

"Owala... Kok kamu ya nggak ikutan aja naik mobil?"     

"Hehehehe... Nggak ce. Nggak kenal juga sama yang punya mobil. Lagian kalau naik mobil, mungkin aku nggak bisa temeni cece jalan pulang ke kosan. Hahahahaha..."     

"Hahahaha... Bisa ae kamu ini. Ya udah ya Ndra. Byee..." Ucap Ce Litha yang langsung berjalan ke arah rumah kosan yang ada di seberang kosanku. Akupun juga langsung berjalan ke arah gerbang yang masih terbuka, di tambah Karin yang masih belum masuk dan sedang mengobrol dengan temannya.     

"Permisi yaa... Numpang lewat." Ucapku pada Karin dan teman-temannya y ang menghalangi hampir seluruh jalan masuk ke kosan dan mereka pun hanya mengangguk dan memberiku jalan beberapa meter.     

Setellah tiba di kamar, akupun langsung menaruh tas dan barang-barangku begitu saja di dekat lemari baju. Tak lupa untuk mengganti baju tidur dan mencuci muka serta menggosok gigi. Setelah itu aku pun langsu tertidur pulas.     

Hari berganti dengan sangat cepat.     

Tak terasa hari yang panjang dan melelahkan pun akhirnya usai. Akupun dapat menikmati tempat tidur yang nyamanku di rumah keduaku ini.     

Suara mbak Sum yang sudah terdengar sejak pagi tadi pun seakan menjadi alarmku untuk mengetahui jika saat itu sudah pagi. Sudah hampir satu jam, mbak Sum sudah berteriak-teriak memanggil nama Rani, anak yang tinggal di kamar lantai dua. Entah kenapa Rani dan teman-temannya selalu membuat keributan di pagi hari. Hampir seluruh lantai dua di isi dengan anak-anak yang merantau dari Ambon, sehingga bisa di pastikan jika di lantai dua saling mengenal satu dengan yang lainnya.     

Namun lama kelamaan, suara mbak Sum yang selalu berteriak di dekat jemuran belakang, tepat di dekat jendela kamarku membuat ku terganggu. Di tambah juga dengan Karin yang hingga saat ini selalu memata-mataiku, dan beberapa kali melaporkannya ke Dito. Entah dari mana Karin bisa mendapatkan kontanya Dito, namun itu sangat menggangguku dan aku tak suka jika privasiku di usik oleh orang lain. Hal inilah yang membuatku dengan Karin semakin tak bisa akrab lagi seperti dulu. Seakan-akan Karin menyimpan suatu kepahitan di hatinya terhadapku. Padahal aku sudah mencoba berbicara dengan Karin baik-baik dan beberapa kali juga aku menanyakan sikapnya kepadaku, namun ia sering kali menutupi hal tersebut dan tidak mengakui perasaannya. Bahkan sering kali ia menyalah-nyalahkan sikapku yang terlalu naiff dan lugu. Aku kesal dan marah, namun aku t ak ingin aku luapin begitu saja. Apalagi Karin dan aku sudah berteman sejak lama, bahkan kedua orang tua kami sudah mengenal baik satu sama lain. Hingga akhirnya setelah beberapa hari aku pulang dari Jogja, aku memutuskan untuk mencari kosan baru yang lebih dekat dengan jalan, serta akses untuk membeli makan maupun fotocopy lebih dekat dari pada kosanku yang saat ini.     

Hari Sabtu, 27 Oktober 2012.     

Tepat satu minggu sudah setelah aku pulang dari Jogja, saat itu aku sedang tidak ada kegiatan apapun di kosan. Tugas kampus juga sudah selesai aku kerjakan sejak dari beberapa hari yang lalu. Sering kali setiap hari Sabtu aku hanya bisa berdiam diri di kamar, dan jarang sekali untuk pergi-pergi bersama teman-teman kuliah. Namun karena ini aku sedang kosong, aku memutuskan untuk mencari kos-kosan terdekat sejak pagi.     

Dari jam 07.00 WIB aku sudah bangun, mandi dan sarapan dengan nasi goreng yang aku beli semalam. Setelah sarapan, aku langsung mengenakan jaket tipis dan tak lupa topi serta buku note dan pensil. Aku langsung berjalan mencari rumah kos yang masih menerima anak kos baru. Hampir delapan rumah dari sisi kanan dan kiri yang ada di blok ku ini sudah terisi penuh semua, sehingga aku memutuskan berjalan lebih jauh lagi ke depan untuk memastikan ada rumah kos yang sedang kosong atau tidak.     

Ketika aku sedang berjalan santai menuju ke jalan utama di perumahan kosanku, aku melihat seorang pembantu kos yang sedang memasang palng tulisan di depan pagarnya. Dengan cepatpun aku langsung melihat isi tulisan plang tersebut.     

"MENERIMA KOST PUTRI."     

"Wah! Ada kamar kos kosong nih! Tapi rumahnya besar banget. Mahal nggak ya?" Ucapku saat melihat rumah dengan desain interior yang masih kuno. Dimana banyak gebyok khas Jepara yang terpasang di tiap daun pintu masuk di kosan tersebut. Tidak hanya itu saja, lampu-lampu penerangan di setiap sudut rumah pun masih menggunakan lampu gantung klasik Jawa dan terlihat di teras depan rumah yang masih menggunakan perabotan kayu jati untuk bangku dan meja tamunya.     

"Udah lah coba tanya aja dulu. Toh kalau nggak cocok harganya ya cari lagi." Gumamku sambil menekan bel yang ada di pinggir pintu gerbang dari rumah kosan tersebut.     

[Ting-Tong! Ting-Tong!]     

Tak begitu lama setelah aku menekan bel rumah kos tersebut, tiba-tiba dari pintu kecil yang ada di ujung dari rumah tersebut keluar seorang ibu-ibu paruh baya dengan mengenakan daster batik jawa kuno menghampiriku.     

"Iyaa deekk... ada apa ya?" Tanya ibu tersebut sambil berdiri di balik pagar besi tersebut.     

"Ah, saya mau cari kos-kosan ada nggak bu? Tadi saya barusan lihat ibunya tadi abis gantungin papan ini." Ucapku sambil menunjuk ke papan tulisan yang ada di depan pintu pagarnya.     

"Owala! Iya dek! Ada kamar kosong di sini. Tapi cuman satu aja yang sedang kosong. Baru juga kemarin orang yang nempatin keluar."     

"Boleh saya lihat dulu nggak bu kamarnya?"     

"Iya-iya boleh. Bentar ya, saya ambil kuncinya dulu." Ucap ibu itu sembari berlari kecil maasuk melalui pintu kecil yang ada di ujung rumah tersebut.     

Setelah menunggu lima menit di depan pagar, keluarlah ibu yang tadi serta seorang ibu lain yang memiliki tubuh yang lebih besar, rambutnya yang mulai memutih serta terlihat necis dari tampilannya. Kalung, gelang dan cincin emas yang ia pakai menunjukkan perbedaan yang sangat kontras dengan ibu yang aku temui sebelumnya. Dari kejauhan ibu yang baru keluar itupun langsung menyapaku dan tersenyum manis. Akupun membalasnya dengan menganggukkan kepala dan tersenyum kembali kepadanya.     

"Mau lihat kos ya?" Tanya ibu itu sambil tersenyum sambil mengajakku masuk ke dalam rumah kosnya.     

"Iya bu. Ibu ibu kosnya?" Tanyaku memberanikan diri.     

"Iya. Saya ibu kosnya. Yang mbak ini yang biasanya bersih-bersih kosan."     

"Baru kuliah di univ depan dek?"     

"Iya bu. Baru masuk angkatan pertama. Harga kamarnya berapa'an ya bu perbulan?"     

"Kalau di sini ada kamar yang harganya dari lima ratus sampai satu juta setengah. Tapi yang sedang kosong ini yang harganya lima ratus."     

"Oh... gitu..."     

Rumah kos yang dari depan terlihat sangat besar dan megah ternyata di bagi dua oleh ibu kos yang ada di hadapanku. Halaman parkir yang berukuran 4 meter x 2,5 meter ini pemandangan pertama yang aku lihat saat mbak kos membukakan pintu untukku. Terlihat sangat penuh dan padat di halaman kosan ini. Banyak berbagai jenis kendaraan motor yang sudah terparkir di sini. Lalu aku di ajak untuk masuk melalui pintu utama kosan yang terlihat lebih sempit dan kecil untuk ukuran ruang tamu kosan. Hanya 2,5 x 3 meter luas ruang tamu kosan ini, itupun terpotong tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua. Tangga yang besar dan melingkar merupakan akses jalan masuk menuju kamar-kamar kos yang akan aku lihat hari itu. Namun siapa sangka saat aku melihat lantai ruangan kosan yang begitu luas dan besar tak sebanding dengan pintu masuk kosan ini membuatku sedikit takjub. Hall ruang tengah kosan ini sangat luas dan lapang, terisi meja makan yang cukup besar dan juga sebuah televisi tabung yang tegantung di sudut tembok kosan ini. Ada sebuah bangku sofa usang yang tergeletak di tengah-tengah ruang hall tersebut. Terlihat sofa lama yang sudah lama tidak terawat bahkan tidak pernah di cuci menjadi salah satu tempat duduk anak-anak kos di sana. Saat aku sedang melihat-lihat kosan tersebut, hampir tidak ada anak yang terlihat di sana. Sehingga terasa sangat sunyi dan sepi pagi itu. Lalu ibu kos dan mbak kos langsung mengantarkan ku ke sebuah kamar yang terdapat di ujung hall tersebut. Terlihat dari depan, kamar yang memiliki jendela yang menghadap ke hall tengah, di sisi kiri terdapat rak sepatu yang sudah di bersihkan beserta tong sampah yang di balik di atasnya, tak lupa keset lantai yang di susun rapi di antara sela-sela rak sepatu tersebut. Lalu di sisi kanan persis di bawah jendela kamar tersebut, ada sebuah jemuran handuk lipat yang di sandarkan di dinding kamar tersebut.     

"Ini dek kamarnya. Nggak begitu luas dari pada kamar yang lain memang, tapi semua fasilitasnya sudah sama dengan kamar yang lain kok. Ini kasurnya saya pakai springbed, meja dan lemarinya pakai merek yang bagus juga. Ow ya mbak, ini bangkunya belum ada nanti tolong ambilkan ya!" Ucap ibu kos ini dengan ramah kepada pembatu kosan yang sedang menjaga di depan pintu kamar.     

"Ini fasilitas yang di dapat apa aja ya bu?"     

"Di sini sudah dapat ini, yang adek bisa lihat di depan kamar ini, bantal guling sudah tersedia, tapi kalau nggak mau di pakai dan mau pakai punyanya sendiri bisa nanti saya simpankan lagi, lalu dapat nasi putih setiap hari free, cuci setrika juga, listrik sudah termasuk harga kosan, air galon untuk pertama kali masuk kos."     

"Ohh... gitu. Itu air galonnya setelah itu giman bu belinya?"     

"Kalau di sini, adeknya bisa di titipin ke mbak Sri. Ini namanya mbak Sri yang nanti akan urus semua kebutuhan kosan, baik itu cuci baju, setrika, air galon yang habis, masak nasi, bersih-bersih kosan ini semuanya sama mbak Sri. Jadi kalau habis bisa nitip ke mbak Sri, nanti sama bapak kos akan di pesankan sejumlah galon yang kosong. Gitu dek."     

"Oh gitu. Enak juga ya."     

"Iya dek... Di sini sudah enak lah. Tapi ya kalau kipas angin adeknya bawa sendiri, dan masih belum ada internetnya dek."     

"Iya nggak apa kalau itu bu. Bisa di tempati mulai kapan ya bu kamar ini?"     

"Terserah adeknya mau kapan. Nanti hubungi nomor saya aja, ini nomornya nanti biar mbak Sri yang bersihkan lagi." Ucap Ibu kos sambil memberikan satu lembar kertas kecil yang berisikan nomor teleponnya dan juga nama beliau tertera di atas sana.     

"Ohh... Nama ibu, Ibu Harjati ya?"     

"Iya dek. Saya Ibu Haryati. Anak-anak sini biasanya panggil saya dengan bu Yati gitu dek. Ow ya saya tunjukan sekalian rumah kos ini ya..." Ucap Bu Yati sambil mengajakku untuk berkeliling di ke dalam rumah kos miliknya.     

Terlihat rumah kos ini memiliki kamar yang lumayan banyak, dan denah rumah kos ini seperti huruf F terbalik. Dimana ada dua kamar yang terlihat lebih besar di sisi kanan dari kamarku, lalu di seberang dan di sepanjang lorong kebelakang, terlihat ada 4 kamar di sisi kanan, 2 di sisi kiri. Belok ke kiri terdapat lorong lagi yang berisi kamar dan juga dapur dan tempat cuci piring. Di lorong terakhir itu terdapat 3 kamar di sisi kiri dan 3 kamar di sisi kanan. Namun hanya 2 kamar yang terisi di sisi kanan, karena pintu terakhir merupakan kamar penghubung dengan pemilik rumah. Di dalam kosan ini terdapat dua kamar mandi yang dapat di gunakan bersama, yakni di depan, di sisi kiri tangga jalan masuk, dan yang terakhir di belakang, persis di depan pintu kamar penghubung pemilik rumah. Lalu ibu kos menunjukkan dapur yang biasa di gunakan untuk anak-anak kos di sini untuk memasak. Terlihat kecil dan sesak untuk ukuran dapur 2 x 2 meter sudah lengkap dengan kompor 2 mata api dan juga perlengkapan memasaknya. Dan sekilas ada pintu lagi di dapur tersebut dan terlihat anak tangga di bawahnya. Yang menghubungkan dengan kosan dan rumah induk dari pemilik kosan ini. Begitu banyak barang yang tergeletak dan tersimpan di setiap sudut ruangan kosan ini sehingga membuat kosan ini terlihat sangat penuh sesak. Setelah melihat dan berkeliling kosan ini, akupun langsung mengakhirinya dan berencana untuk melihat kosan yang lain.     

Terik matahari yang mulai terpancar sangat terik membuatku menyipitkan kedua mataku untuk dapat melihat ke sekeliling. Langsung ku pakai topi dan juga jaket agar tidak membakar kulitku dan mulai mencari-cari kosan yang lain. Berjalan di dekat gang pertama, terlihat tidak ada rumah yang menyediakan kamar kosan yang sedang kosong. Lalu aku memutuskan untuk berjalan lebih jauh ke belakang perumahan, ke gang kedua. Terlihat di sepanjang jalan gang dua perumahan itu masih banyak kosan yang menawarkan kamar kosongnya dengan berbagai macam harga. Mulai dari harga Rp. 450.000 rupiah sampai dengan Rp. 800.000 rupiah. Lalu aku berjalan lagi menuju ke gang ke tiga, dimana terlihat di sepanjang jalan banyak rumah-rumah yang di jadikan tempat usaha, seperti depot kecil dan salon dengan harga yang sangat terjangkau bagi kantong mahasiswa. Beberapa rumah kos di sana juga sudah terlihat bagus dan seperti bangunan baru. Namun hanya beberapa saja yang kosong yang aku kunjungi.     

"Terima kasih ya mbak. Nanti kalau saya jadi, saya akan hubungi lagi." Ucapku setelah melihat rumah kosan yang terakhir aku datangi.     

"Waahh... di sini mahal-mahal. Satu kamar rata-rata tujuh ratus sampai satu juga. Ya emang sih... Sudah kebanyakan pakai AC, dan listrik token sendiri. Tapi... budget dari papa ya kemahalan kalau segini. Lebih bersih sih iya. Lebih besar ya iya, cuman kalau di pikir-pikir lagi jauh juga ya? Apalagi aku di sini nggak punya kendaraan sama sekali lagi. Bisa gempor kalau aku harus PP kampus kos pas jeda jamnya cuman 1 jam. Huft!" Gumamku sambil beristirahat sejenak di bawah pohon.     

Jam arlojiku sudah menujukkan pukul 11.00 WIB siang, akupun langsung masuk ke depot kecil yang tak jauh tempat aku beristirahat. Di sana tercium aroma masakan yang mengingatkan ku masakan rumah, dan langsung duduk memesan satu menu untuk ku makan. Tak lama aku duduk, beberapa orang langsung masuk kedalam depot tersebut, dan dalam sekejap depot tersebut langsung ramai di kunjungi mahasiswa yang hendak makan di sana. Bahkan beberapa orang masih mengenakan seragam kerja pun makan di sana. Terlihat di daftar menu, "Warung Biru" yang terpampang besar di daftar menu depot tersebut. Lalu, berbagai macam dan jenis masakan yang tersaji di daftar menu tersebut dengan harga yang sangat murah. Aku akhirnya memilih nasi campur telur dadar kornet untuk makan siangku beserta satu gelas es teh biasa. Setelah selesai makan siang, aku langsung membayar hanya Rp. 15.000 rupiah untuk satu porsi nasi campur telur dadar kornet yang sudah cukup banyak untukku. Lalu akhirnya siang itu aku putuskan untuk pulang ke kosanku dan segera menghubungi papa terkait kepindahan kosanku yang saat ini.     

[Trrrr-Trrrrr-Trrrr-Trrrrr...]     

["Hallo? Ya Ndra?"] Terdengar suara papa dari balik ponselku.     

"Pa. lagi di mana?"     

["Di rumah aja. Kenapa? Kamu mau pulang ta?"]     

"Nggak. Pa, Andra mau pindah kosan."     

["Lho kenapa? Kan enak di sana to sudahan? Kenapa pindah?"]     

"Andra nggak nyaman lama-lama disini. Berisik, terus lagi si Karin suka adu domba Andra sama Dito."     

["Mau pindah dimana? Harga kosnya berapa? Emang kamu sudah cari-cari??"]     

"Sudah. Andra barusan aja keliling komplek buat cari kosan sampe jalan kaki ke gang tiga. Ow ya papa tetep masih nggak mau kasih Andra kendaraan ta? Sepeda motor atau sepeda kayuh gitu?"     

["Terus dari yang sudah kamu lihat ada yang cocok nggak lho? Humm... nanti dulu ya kalau masalah itu. Kalau kamu butuh apa-apa kan bisa tuh minta tolong kak Dita. Ya?"]     

"Ya ada sih pa. Tetep satu gang ini, lebih depan. Jadi kalau mau beli makan juga nggak terlalu jauh dari jalan raya, terus fasilitasnya lebih oke sih dari sini. Dapat air minum juga."     

["Ya sudah lho kalau kamu cocok. Harganya berapa? jangan yang mahal-mahal lho Ndra!"]     

"Sama kok pa. Lima ratus juga. Gimana? Boleh nggak? Kalau boleh, besok apa minggu depan Andra pindahan."     

["Ya udah minggu depan aja, papa tak kesana bantuin kamu pindahan. Yang bisa kamu pindah dulu, ya kamu pindahin dulu. Ngerti?"]     

"Iya pa. Makasi ya pa..."     

["Lha terus temanmu Karin itu gimana? Kamu tinggal sendiri?"]     

"Biarin aja deh. Nggak tahu aku, toh ya aku sudah nggak berteman sana dia beberapa bulan belakangan ini?"     

["Apa nggak bisa di bicarakan baik-baik ta kalian ini?"]     

"Nggak bisa pa. Sudah Andra bicarakan baik-baik tetep aja anaknya kaya gitu. Ya sudah pa, Andra mau telepon ibu kos yang baru dulu buat kasih tahu. Ow ya pa, kirimin Andra uang dulu dong? Buat DP, sapa tahu nanti di minta'i."     

["Ya. Ya sudah kalau gitu. Papa tutup teleponnya. Kamu jaga dirimu baik-baik di sana. Kalau ada apa-apa bilang kak Dita ya?"]     

"Iya pa. Byee..."     

**************     

Tak terasa seminggu telah berlalu, aku yang hampir setiap hari selalu mondar mandir untuk membawa setiap barangku pindahan pun akhirnya terbayar sudah setelah papa datang ke kosanku. Beberapa barang yang sangat berat dan besar langsung di bawa papa di dalam mobil, dan aku langsung berpamitan dengan Mbok Sum dan pembantu kos yang lainnya, serta tak lupa untuk memberikan bingkisan kecil kepada mereka sebagai tanda terima kasihku selama aku ngekos di sana. Lalu tepat jam 11.00 WIB, aku mulai memasuki kosan baru serta menata tiap sudut kamar yang ada. meskipun kamar yang sekarang lebih kecil dari pada kamar ku yang sebelumnya, namun aku merasa sangat nyaman tinggal di sana. Seenggaknya tidak ada orang yang menjadi pengusik dalam hidupku.     

Setelah semuanya beres dan rapi, serta semua barang dan bajuku sudah tertata rapi di dalam lemari koos baru, akupun mulai malam itu langsung menempati kamar baruku. Sembari menantikan malam tiba, aku menyempatkan diri untuk berkenalan dengan anak-anak kos yang saat itu sedang berkumpul di hall kosan. Lalu papa langsung mengajakku untuk jalan sejenak sekaligus makan siang. Namun siapa sangka jika kosan yang baru aku tempati sekarang ini merupakan kosan yang paling angker di kompleks perumahan ini, dan menjadi teror tersendiri saat aku tinggal di sana. Meskipun tidak ada satupun orang yang memberi tahuku tentang hal ini, namun saat aku baru pindah ke sana, aku tak merasakan hal negatif apapun yang terjadi. Hanya saja hawa di dalam rumah kosan berbeda dengan hawa yang ada di kos lamaku. Lebih dingin, sunyi, dan lebih tenang. Namun hari itu aku tidak ada pikiran jelek sama sekali tentang kosanku dan aku berusaha untuk beradaptasi lagi saat menempati kosan tersebut baik itu dengan anak-anak yang tinggal di sana, maupun dengan pemilik dan pembantu kosan yang terlihat seenaknya sendiri saat bekerja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.