The Eyes are Opened

Tak Mendapat Restu



Tak Mendapat Restu

0"Oh, sudah pulang Ndra? Sudah makan?" Tanya mama saat sedang menonton TV di kamar.     
0

"Sudah. Tadi beli mie ayam depan sekolah sama anak-anak."     

"Hari ini kamu ada les nggak? Kalau ada les, cepet mandi-mandi terus berangkat sana."     

"Iya nanti aja mandinya, lesnya kan masih jam lima." Ucapku sambil rebahan di sebelah mama.     

"Sudaahhh... mandi-mandi dulu sana. Nanti gedandapan* mbingungi orang."     

"Halah ma... sek ta lah... tak klesetan** bentar. Andra ya capek lho dari pulang sekolah, mosok yo langsung mbok suruh siap-siap pergi les. Enggak-nggak ma... lek sampe gedandapan. Orang Andra mau klesetan bentar paling sak jam ae kok."     

"Kamu itu nek bilang e klesetan satu jam ujung-ujung e ya kebablasen***, terus alesan nggak les! Mama sudah bayarin kamu les kok males-malesan! Wes sak karepmu Ndra nek nanti telat!" Ujar mama sambil memalingkan badannya dan terus menikmati serial TV kesukaannya.     

Saat itu aku sedang mengulur waktu untuk berbicara ke mama sebelum aku mulai membuka pembicaraan tentang lamaran Dito semalam. Rasanya perasaanku bercampur aduk nggak karuan, baru kali ini aku benar-benar merasa takut berbicara sama mama, meskipun di posisi ini aku nggak melakukan kesalahan sama sekali. Sambil berkali-kali aku melihat detik jam di ponselku untuk memastikan waktu yang tepat untuk berbicara sama mama, aku pura-pura untuk tidur sesaat. Lalu setelah lima belas menit waktu yang telah berlalu, aku memutuskan untuk memulai pembicaraanku.     

"Apa sih Ndra, kok dari tadi gak bisa diem tu lho! Ada apaa..." Ucap mama yang seakan sudah tahu aku hendak berbicara sesuatu dengannya.     

"Nggak kok ma. Nggak apa." Jawabku yang masih sedikit ragu-ragu.     

"Apa'o. Mama tahu kamu mau cerita sesuatu kan sama mama?"     

"Ih, mama sok tahu deh."     

"Bukan sok tahu, tapi mama punya filling aja. Yaa... kaannn..."     

"Iya se ma. Tapi kalau Andra cerita jangan marah dulu ya. Mama harus dengering dulu. Janji sama Andra." Ucapku agar untuk mengurangi marah mama yang meledak-ledak jika aku memberi tahu kalau Dito mau melamarku.     

"Iya. Mama janji nggak marah, asalkan kamu bicara apa adanya."     

"Lha mama ini gimana se, janji kok masih pake asalkan. Janji ya janji ma. Apapun yang Andra kasih tahu mama pokok e nggak boleh marah-marah, titik."     

"Yaaa... Emang kamu mau cerita apa?"     

"Uhmmm... Gini ma, mama masih ingat nggak dengan mimpinya Andra kapan hari?"     

"Hmm. Kenapa?"     

"Uhmm... Dito mau lamar Andra ma."     

"Terus?"     

"Ya nggak terus-terus ma... Lha mama gimana lho..."     

"Wes nggak usah aneh-aneh. Sekolah dulu sampai selesai, kuliah kalau kamu memang mau kuliah, terus baru kerja. Nanti kalau kamu sudah siap, baru mau dilamar atau nikah terserah kamu. Kalau sekarang mama nggak setuju." Jawab mama dengan tegas.     

"Uah sana mandi sana! Sudah jam berapa ini?!" Lanjutnya lagi sambilmematikan televisi.     

Akupun langsung keluar kamar mama dan bergegas untuk siap-siap pergi les. Waktu itu aku tidak memberi tahu Dito jika aku hendak les mata pelajaran, dan memang tidak ada niat untuk minta di jemput olehnya. Namun sore itu tiba-tiba saja Dito sudah menungguku di depan tempat lesku tanpa memberi tahuku juga. Aku sempat terkejut dan dengan cepat memberi tahu mama untuk tidak menjemputku.     

"Kamu kok ada di sini ko?" Tanyaku saat menghampirinya setelah keluar dari tempat les.     

"Ya emang aku nggak boleh jemput kamu? Tadi abis beli bahan buat keperluan kamar penginapan, lalu sekalian aja aku jemput kamu. Kenapa?"     

"Ya, nggak apa... Tapi tumben aja nggakkasih kabar kalau mau jemput."     

"Ya kebetulan aja tadi kerjaannya ternyata lebih cepat dari yang aku kira, makanya aku langsung ke sini, mau ketemu mama papamu juga."     

"Hah? Mau ngapain?"     

"Mau ijin lamar anaknya. Hehehehehe... sudah makan belum? Makan dulu yuk. Aku laper sudahan ini."     

"Ya udah kita makan dulu di nasi goreng Cak Bar aja ya. Aku lagi pengen makan itu." Jawabku sambil naik ke sepeda motornya.     

"Oke. Kita makan di Cak Bar." Ucapnya.     

Akhirnya aku dan Dito langsung berjalan menuju ke nasi goreng langganan kami. Kami makan malam sejenak sebelum Dito mengantarkanku ke rumah. Di saat kami sedang makan nasi goreng di Cak Bar, terlihat dari raut wajah Dito sedang sedikit tegang dan sesekali pandangannya yang tak dapat fokus saat berbicara denganku. Aku merasa Dito memang sedang gugup sebelum bertemu dengan kedua orang tuaku perihal meminta ijin untuk melamarku. Aku hanya terdiam dan menganggap tak tahu apapun saat itu, aku hanya terus menyantap makan malam yang ada dihadapanku. Lalu saat aku menghabiskan sisa nasi gorengku, tiba-tiba...     

"Nik, Mama papamu mau nggak ya di bungkusin nasi goreng?"     

"Nggak tahu ko. Tadi sore sih aku lihat mama sudah siapin bahan buat makan malam. Rasanya nggak perlu deh. Nanti nggak kemakan kan sayang. Kenapa? Kamu mau belikan sesuatu buat mama papa di rumah biar kamu minta ijinnya lancar ta? Hehehehe..."     

"Iya. Hehehehe... Paling nggak kan mama papamu seneng-seneng dulu aku kasih bingkisan. Hehehehehe... Enaknya di beli'in apa ya nik?"     

"Uhmmm... Terang bulan sama martabak telor aja ko. Itu suka'annya mama papa."     

"Oke. Nanti anterin setelah kita selesai makan ya. Apa kamu sudah selesai makan ta? Mau pulang sekarang aja?"     

"Iya. Ini aku sudah selesai makan kok. Ya udah, yuk. Dari pada tambah malam nanti'e." Jawabku yang langsung berdiri sembari menunggu Dito membayar makan malam kami saat itu.     

Sesampainya di rumah, Dito bertemu papa yang sedang menikmati makan malam bersama mama di ruang makan. Tanpa rasa ragu lagi, Dito langsung menghampiri kedua orang tuaku sambil memberikan bingkisan untuk mereka.     

"Lho ini apa To?" Tanya papa.     

"Ah, itu buat om dan tante. Hehehe... Tadi kami abis makan sekalian mau belikan makanan kesukaan tante dan om. Tapi Andra bilang tante sudah masak, jadi saya belikan ini aja ya om... Semoga suka. Hehehehe..."     

"Waduuhhh... Ngerpoti lak an ini... Makasi-makasi lho To. Kalian sudah makan beneran ta? Nggak mau makan lagi? Ini mamanya Andra lagi masak semur daging."     

"Ah, nggak repot-repot kok om. Hehehehe... Waahhh... masakan kesuka'an saya itu om. Hehehe..."     

"Ayo makan lagi To kalau kamu mau. Sini-sini tante ambilin nasinya ya..." Ucap mama dengan semangat. Akupun dengan sigap membantu mama di dapur untuk mengambilkan nasi buat Dito.     

("Kalian ini beneran sudah makan apa belum to?") Bisik mama sewaktu di dapur.     

("Sudah ma. Tadi makan nasi goreng di Cak Bar lho. Tapi emang ini masakan kesukaannya Dito sih. Semur. Ya nggak usah banyak-banyak ma. Nanti kekenyangan lagi tuh anak.") Ujarku.     

"Ini ko, makan o." Ucapku sambilmenyodorkan semangkok penuh semur daging dan sepiring nasi di sebelahnya.     

"Wuik! Kok banyak nik?"     

"Kebanyakan ta? Mau di kurangin nasinya? Nggak apa kalau kamu ngerasa kebanyakan..."     

"Udah nggak usah wes. Nggak apa, tak habisin aja." Jawabnya sambil mengaduk mangkok semurnya dan langsung melahapnya.     

Melihat hal tersebut, mama papa hanya tersenyum melihat Dito yang ikut makan dengan sangat lahap saat itu. Terutama mama yang terlihat sangat senang Dito begitu menyukai masakannya hingga kuah terakhirpun di habiskannya.     

"Enak Dit?" Tanya mama.     

"Iya te, enak. Hehehe..."     

"Mau tambah lagi?"     

"Nggak te, makasi banyak. Ini sudah kenyang banget."     

"Ya sudah kalau gitu, tante masuk dulu ya..."     

"Oh, ma, pa, tunggu sebentar." Ujarku menghentikan mama papa yang hendak masuk ke dalam kamar.     

"Ada perlu apa Ndra?" Tanya mama.     

"Ini Dito mau ngajak bicara bentar." Jawabku.     

Akhirnya malam itu Dito memberanikan diri untuk berbicara kepada mama papaku niatnya untuk melamarku. Benar saja, saat mendengar pernyataan Dito, mama papaku juga sedikit terkejut melihat aku yang masih duduk di bangku sekolah SMA. Aku hanya bisa terdiam duduk di sebelah mama dan tak berani megucapkan sepatah kata apapun. Dan dengan jelas, papa malam itu langsung menolak maksud lamaran Dito kepadaku.     

"Ya maaf Dit, bukannya tujuanmu malam ini tidak baik, nggak. Tetapi om belum bisa merestui kalian ke jenjang yang lebih serius untuk saat ini. Dikarenakan ya memang Dyandra yang kamu kenal saat ini masih sekolah, belum lagi nanti dia mempunyai keinginan untuk kuliah di ibu kota, lalu dia juga harus menggapai cita-cita masa depannya dulu lah... Biar dia menikmati dunia kerja dulu. Nah, kalau sudah di masa itu, kalian sudah sama-sama dewasa dan matang, silahkan kalau kalian mau melanjutkan hubungan kalian ke jenjang yang lebih serius. Tapi kalau sekarang, maaf Dito, om nggak merestui kalian."     

"Tapi om, ini saya ingin lamaran aja dulu om. Kalau nunggu Dyandra sampai om mengijinkan untuk Dyandra boleh nikah nggak masalah kok om. Yang penting Dyandranya mau saya lamar dulu."     

"Nggak Dito. Kalau maumu seperti itu juga saya nggak menyetujuinya. Lagian dimana-mana itu orang habis lamaran pasti beberapa bulan kedepan, atau paling lama satu tahun kedepan sudah menyiapkan untuk pernikahan. Kalau kamu ngajak Dyandra lamaran sekarang, lalu kamu mau tunggu sampai dia siap menikah, nggak baik Dito. Nanti kalau ada jeleknya, kalian nggak berjodoh gimana? Kan kasian Dyandra. Kalau laki ya nggak masalah putus setelah tunangan. Lha anak saya perempuan Dito. Saya nggak mau ada apa-apa sama anak saya ya. Apalagi ini menyangkut dengan masa depannya." Ucap papa yang mulai meninggi nadanya saat berbicara dengan Dito.     

"Jadi tahu kan maksud saya Dito? Saya tahu kamu sudah masuk ke dunia kerja, pemikiranmu juga sudah mulai dewasa, tetapi anak saya ini masih sekolah Dito. Jadi jangan bawa anak saya ke tempat yang seharusnya belum ia jajaki. Kasian masa mudanya hilang hanya karena satu orang pria saja. Biarkan dia bermain-main dulu. Meskipun dia berpacaran sama kamu, tapi biarkan dia bermain dengan siapapun yang dia mau. Jangan halang-halangi Dyandra berteman.mengerti ya Dito?" Ucap papa terakhir kali dengan sangat tegas pada Dito. Ditopun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terus menunduk dan tak berani melihat ke arah papa sedikitpun.     

"Sudah ya Dito? Sudah nggak ada yang mau Dito bicarakan lagi kan?" Tanya papa dengan baik-baik. Namun Dito saat itu hanya diam sambil menundukkan kepalanya tanpa menjawab pertanyaan papa satu kata pun. Aku yang saat itu melihat sikapnya itu sekilas terlihat Dito seakan tak dapat menerima pernyataan panjang dari papa malam itu. Dan benar saja Dito langsung menjawab papa dan terus meyakinkan papa untuk menerima permintaannya agar aku dapat tunangan dahulu dengannya.     

"Uhmm... Om. Apa benar nggak ada kesempatan buat saya untuk bisa melamar anak om dalam waktu dekat ini? Saya benar-benar sayang dan cinta sama Dyandra om. Saya akan berjanji untuk menjaga Dyandra dan nggak akan menyakitinya kok om. Beneran kok om, meskipun hanya lamaran saja, nggak apa om saya mau tunggu sampai Dyandra siap untuk menikah dengan saya. Tolong pertimbangkan ini lagi om." Pintanya dengan wajah memelas.     

Papa yang tadinya sudah mau pergi meninggalkan ruang tamu bersama mama, akhirnya mengurungkan diri setelah mendengar Dito yang terus meminta restu untuk dapat melamarku. Ekspresi papa yang sudah terlihat muali tegang dan kesal dengan Dito yang tak bisa di ajak bicara baik-baik membuat papa terus menghela nafasnya berkali-kali agar emosinya tidak meledak malam itu.     

"Ma, tolong buatkan aku sama Dito minuman dingin dong." Pinta papa ke mama yang saat itu sudah kesal menghadapi Dito. Dan mama pun tanpa mengucapkan sepatah kata apapun langsung pergi meninggalkan ruang tamu sambil mengajakku ke dapur dan meninggalkan papa dengan Dito berdua di ruang tamu. Seakan mama sudah mengerti kode dari papa jika papa saat itu ingin berbicara berdua dengan Dito sendirian tanpa ada orang lain yang mendengarnya, termasuk aku.     

"Lihat tuh Dito Ndra, keras kepala banget sih jadi orang. Di kasih tahu papamu baik-baik kok ya masih aja terus berusaha buat ngelamar kamu. Ya gini lho Ndra kalau kamu cari cowok yang nggak tamat sekolahnya dengan benar. Ujung-ujungnya itu kalau sudah punya pasangan itu cuman nikah-punya anak-jadi ibu rumah tangga. Mama gini-gini meskipun dulu sekolah cuman bisa sampai SMP ya tapi mama nggak mau anaknya mama semua menikah muda. Mama maunya ya semua anaknya mama bisa sekolah setinggi-tingginya biar dapat kerjaan yang layak, nggak susah lah cari kerja intinya gitu. Kalau kamu ngikuti Dito mau nikah muda, sekolahmu nggak bisa sampai tinggi seperti yang kamu mau, ya nanti ujung-ujungnya ya jaga toko, atau jadi ibu rumah tangga. Di keluarga Dito nanti juga belum tentu kamu bisa di hargai orang tuanya kalau nggak sekolah tinggi. Yang sekolah tinggi atau sarjana aja belum tentu juga bisa di hargai sama mertuanya kok jaman sekarang. Udah pokoknya kamu nurut aja dulu sama mama papa. Mama sama papa juga tahu yang terbaik buat anak. Ngerti kamu Ndra?"     

"Iya ma. Lagian Andra juga nggak mau lamaran atau menikah dulu se, soalnya Dito sudah bilang ke Andra kalau nanti Andra sudah lamaran sama Dito, Andra nggak di bolehin buat kuliah ma. Andra di suruh langsung kerja aja."     

"Lho kok gitu? Nggak bener itu si Dito? Masa kamu mau sekolah lebih tinggi nggak boleh? Emang kenapa alasannya?"     

"Katanya Dito nggak suka kalau nanti Andra punya kenalan cowok waktu kuliah. Atau di dekati cowok sewaktu kuliah ma. Makanya Dito sekarang bersikeras buat ngelamar Andra biar Andra nggak bisa kemana-mana."     

"Waahhhh... kalau kaya gini ya nggak bisa mama diam aja lho Ndra. Kamu sekolah, kamu kuliah itu ya nggak bisa di strength hanya cewek aja temannya. Apalagi kalau kuliah jaman sekarang ini pasti banyak anak cewek maupun cowoknya, belum lagi nanti ada tugas-tugas yang di kerjakan bersama kaya kerja kelompok gitu. Kalau Dito sampai kaya gitu sudah, mama akan putusi kalian nggak boleh pacaran aja kalau nggak."     

"Ya jangan gitu juga ma..."     

"Lha terus maumu gimana? Masih mau terus lanjut sama cowok yang ottoriter sama hidupmu gini? Kamu mau gini nggak boleh, gitu nggak boleh. Sekarang aja kamu sudah nggak pernah lagi ikut kelas dance, sampai berhenti kan? Itu pasti berhentinya gara-gara Dito juga kan? Ya gak?"     

"Nggak ma..."     

"Sudah, nggak usah kamu tutup-tutupi Dito itu sekarang Ndra. Bilang apa adanya, sejujur-jujurnya kamu. Mama nggak pernah ajarin kamu untuk berbicara bohong ya! Ajo jawab jujur!"     

"Kok mama malah marah sama Andra sih?"     

"Ya kamu mama tanya kaya gitu aja kok ya kamu tutup-tutupi! Bener apa nggak!" Ucap mama dengan tegas.     

"Iya sih... emang awalnya Dito yang nggak suka Andra ikut dance kaya gitu."     

Setelah mendengar jawabanku, tanpa berbicara lagi,mama langsung berjalan untuk menemui Dito di ruang tamu yang masih bersama papa. Papa pun terkejut dengan kedatangan mama yang tiba-tiba disertai dengan mimik wajah mama yang terlihat marah kepada Dito.     

"Ada apa ma?" Ucap papa pelan saat mama telah duduk disandingnya.     

"Nggak. Jadi gimana pa?" Tanya mama balik sambil terus memandang mata papa dalam seakan memberi kode ke papa.     

"Papa sudah putuskan buat hubungan Dito dan Dyandra, untuk saat ini sampai Dyandra selesai kuliah atau sampai Dyandra sudah kerja dan siap menikah, Dyandra tidak akan papa ijinkan untuk dilamar pria yang di sukainya lebih dulu. Nanti setelah Dyandra sudah selesai kuliah dan kerja, di situlah biar Dyandra akan memutuskan segalanya sendiri. Baik dia mau menikah ataupun tidak. Jadi kalau Dito malam ini masih mengotot untuk meminta restu kepada kami mengijinkan kalian lamaran, om minta maaf ya, lebih baik hubungan kalian sampai di sini saja. Jangan temui Dyandra atau hubungi Dyandra anak om lagi. Karena masih banyak kok cowok-cowok di luar sana yang kemungkinan jodoh anak om. Kalau pun Tuhan menjodohkan kalian berdua juga seharusnya kamu bisa sabar menunggu sampai Dyandra juga sudah siap dan matang dalam hal menuju ke pernikahan. Karena pernikahan itu sakral lho To. Dan itu untuk seumur hidup. Paham kamu?!" Terang papa.     

"Iya om." Jawab Dito sambil terus menatap kebawah.     

"Gimana Dit? Om nggak dengar."     

"Iya om. Saya paham." Jawabnya sekali lagi sambil terus memandang ke bawah. Melihat reaksi Dito seperti itu, mama pun langsung ikut bersuara karena merasa gemas dengan sikap Dito yang seperti itu.     

"Nyo, kamu itu kalau di ajak ngobrol dengan orang yang lebih tua atau siapapun lah, tolong dilihat wajahnya. Jangan lihat ke bawah seperti itu. Memangnya kami ada di bawah kakimu sampai kamu harus menjawab sambil menunduk seperti itu?" Ucap mama dengan tegas. Dengan cepat pun Dito langsung mengangkat wajahnya sambil melihat mama dan papa serta mengulangi jawabannya di depan papa.     

"Iya om, saya mengerti." Jawabnya dengan tegas.     

"Oke. Gitu lho. Jawaban yang gentleman untuk seorang pria muda. Jangan kaya pengecut yang di tantang sama preman. Ngerti kamu."     

"Iya om!"     

"Ya sudah om kalau gitu, saya mau pamit pulang sekalian ya. Sudah malam juga ini." Ucap Dito yang langsung mengambil tas dan kunci sepeda motornya hendak beranjakdari tempat duduknya.     

"Lho? Sudah mau pulang? Nggak mau ngobrol dulu sama Dyandra?" Tanya mama.     

"Nggak tante. Ini sudah malam juga. Nggak enak saya nanti ganggu Dyandra tidur lagi. Hehehe... Nik, aku balik dulu ya. Mari tante, mari om. Terima kasih banyak atas makanan dan waktunya hari ini." Pamitnya kepadaku dan kepada mama papa sebelum ia meninggalkan rumahku. Akupun langsung mengantarnya pulang hingga ke depan pintu gerbang rumah, tempat sepedanya diparkirkan.     

"Hati-hati di jalan ya ko." Ucapku saat Dito hendak meninggalkan rumahku.     

"Iya. Makasi ya malam ini. Bye nik..." Jawabnya.     

Terlihat dari ekspresinya saat akan meninggalkan rumahku terakhir kali, Dito terlihat sedikit sedih berampur kecewa di wajahnya. Seakan ia ada rasa tak terima dengan apa yang telah ia dengar dari kedua orang tuaku tentang keinginnanya itu, namun ada perasaan yang harus ia relakan dan harus ia ikhlaskan untuk sementara waktu. Sekan semua perasaan tersebut bercampur aduk di hatinya malam itu sampai-sampai ia tak menghubungiku lagi sepulang dari rumahku.     

"Nggak biasanya Dito kalau sudah pulang dari rumahku nggak kasih kabar kaya gini? Biasanya juga selalu telepon kalau sudah di rumah. Ini sudah satu jam lebih setelah ia pulang dari rumahku tapi nggak ada kabar. Apa dia baik-baik aja ya di jalan? Masa dia patah hati setelah di tolak lamarannya sama papa mama terus bawa sepedanya kenceng-kenceng terus sampai kecelaka'an? Iihh! Jangan sampai lahhh... Duuuhhh Ndraa... kamu kok ngomongnya aneh-aneh kaya gini sih! Sudah-sudah Ndra... tunggu aja sampai Ditonya yang hubungi kamu duluan." Gumamku saat aku sudah berada di dalam kamar sambil tiduran di tempat tidur.     

Hari berganti lagi, seperti biasanya setiap pagi aku langsung melakukan kebiasaanku yakni berdoa setiap pagi setelah bangun tidur sebelum aku melakukan aktivitas apapun sembari meminta petunjuk untuk hari ini agar di beri rahmat sepanjang hari. Lalu aku langsung pergi mandi dan menyiapkan keperluan untuk pergi sekolah. Hari ini aku pergi lebih pagi dari pada biasanya. Kebetulan sekali Pak Daud juga hari ini jam 05.50 WIB sudah datang. Sesampainya di sekolah aku langsung melihat layar ponselku yang masih kosong tak ada pesan masuk satupun dari Dito. Aku membuka kontak masukku juga tak ada pesan yang masuk yang tanpa sengaja sudah terbuka, hanya pesan terakhirku semalam yang masih ada dan belum dibalasnya. Aku merasa hari itu Dito bakalan nggak menghubungiku seharian setelah ditolak papa semalam. Namun sampai bel jam pertama berbunyi sampai bel pulang sekolah berbunyi, aku masih belum mendapatkan balasan pesan dari Dito sama sekali. Aku mulai merasa heran dengan sikap Dito yang seperti itu, seakan ia tak dapat menerima keputusan yang diberikan kedua orang tuaku. Akhirnya untuk memastikan kembali kondisinya, aku mencoba menghubunginya lagi saat aku berjalan menuju ke gerbang sekolah. Beberapa kali aku menghubunginya, namun tak ada satu panggilanku yang di terima oleh Dito. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan pesan kepadanya dan masih berharap Dito akan membalas pesanku. Namun sepanjang hari itu, sampai malam pun sebelum aku tidur, Dito tak kunjung menghubungi ku kembali, baik membalas pesan singkatku maupun teleponku. Akhirnya aku memutuskan untuk tak menghubunginya sampai dia yang menghubungiku duluan, lalu aku ingin memastikan hubungan ini sebagai langkah terakhir jika Dito masih terus bersikap seperti ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.