The Eyes are Opened

Holiday : "Rumah Belanda" (Part 05)



Holiday : "Rumah Belanda" (Part 05)

0Siang itu aku sedang sendirian di kamar dan sedang menonton televisi untuk mengurangi rasa bosanku. Tak ada satu orang pun yang menemaniku di saat aku tak dapat melakukan aktivitas apapun, selain berbaring di tempat tidur. Untuk ke toilet saja aku menahan diri untuk air terlalu banyak agar tak buang air kecil sesering mungkin, karena aku baru saja buang air di bantu tante dan om Andre sebelum mereka meninggalkan kamar ini. Di saat aku sedang fokus menonton siaran acara kesukaanku, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu di depan kamarku beberapa kali. Akupun hanya bisa berteriak dari dalam kamar agar orang yang di luar kamar dapat mengetahui kondisiku. Hingga akhirnya aku merasa sangat gugup saat di datangi oleh manager dari penginapan ini bersama dengan pemiliknya. Aku benar-benar nggak tahu harus bagaimana saat menghadapi kedatangan mereka ke kamarku begitu cepat. Aku hanya di beri tahu tante jika sore nanti pemilik penginapan ingin mengobati kakiku yang sakit ini. Aku juga tak menyadari jika mereka memiliki akses bebas untuk dapat masuk ke kamar tamu dengan seijin tamu yang menempati. Hingga akhirnya mereka pun masuk ke dalam kamarku setelah membuka pintu kamarku dengan menggunakan kunci cadangan yang mereka miliki.     
0

[Ceklek! Ceklek!]     

Terdengar suara kunci pintu yang terbuka, lalu diikuti dengan suara langkah kaki yang terdengar memasuki kamarku. Bukan hanya itu saja, seluruh kamarku seketika tercium aroma bunga melati yang segar semerbak di seluruh kamar dan aku pun langsung menatap ke arah orang yang berjalan mendekati tempat tidurku.     

"Selamat siang Bu Dyandra.." Ucapnya dengan suara lembut yang sama yang kudengar dari balik pintu tadi. Terlihat di hadapanku seorang wanita muda dengan gaya yang sangat sederhana, tinggi kurang lebih 160-an, memiliki kulit kuning langsat, rambut hitam yang bergelombang serta menggunakan pakaian blazer biru langit dan blouse putih di dalamnya dan juga celana kain panjang yang senada dengan blazer yang ia kenakan berdiri tepat di sisi kanan tempat tidurku.     

"Siang Bu.." Jawabku yang masih gugup dan terkagum akan paras cantik manager penginapan itu.     

"Permisi Bu, saya mau memperkenalkan, ini di sebelah saya ada Oma Alida pemilik dari penginapan Haven ini ingin memeriksa kondisi kaki nona Dyandra." Ucap manager sambil menunjukkan ke dua tangannya ke arah seorang wanita tua yang berdiri di belakangnya. Dan saat melihat wanita tua itu, seketika aku teringat kejadian sebelum aku tertidur pulas telah bertemu dengan wanita tua itu. Dan wanita itu pula yang telah memberikanku minuman dari dalam gelas tembikar.     

Wanita itu hanya tersenyum kepadaku sambil terus menatapku dalam. Akupun hanya menganggukkan kepalaku sambil tersenyum kembali kepada beliau. Tanpa banyak berbicara, manager penginapan itu langsung mendekati tempat tidurku dan membuka selimut yang menutupi kakiku. Di saat ia membuka selimut yang aku kenakan tercium aroma busuk yang menyeruak keluar hingga aku tak dapat menahan aroma itu dan dengan cepat mengambil minyak angin yang ada di sebelahku sebagai penawar aroma itu. Namun anehnya manager penginapan itu tak ada reaksi satu pun yang menunjukkan bahwa ia mencium bau busuk dari perban kakiku. Begitu pula dengan Oma Alida yang saat itu berdiri di depan kakiku.     

("Orang-orang ini apa nggak ngecium bau busuk apa? Kok bisa sih dengan santainya mengangkat satu persatu obat tradisionalnya tanpa ekspresi gitu?") Gumamku dalam hati.     

"Kenapa? Kamu merasa heran ya nak dengan kami kok nggak ngecium bau busuk?" Ucap Oma Alida dengan nada yang tenang dan lembut kepadaku sambil tersenyum setelah mengatakan hal tersebut. Seakan Oma Alida dapat membaca pikiranku saat ini juga. Akupun tercengang hingga terdiam saat Beliau mengatakan hal tersebut.     

"Tenang aja kok.. Emang kami nggak mencium bau busuk seperti yang kamu rasakan.. Jika kamu samapi mencium bau busuk, itu pertanda bagus, karena obat yang saya berikan itu bekerja. Lihat ini kakimu yang tadinya bengkak, sekarang sudah mengecil dan kembali ke bentuk semula kan? Kami hanya mencium aroma obat saja karena obat ini hanya akan bereaksi pada orang yang di berikan obat dan hasilnya ya ini, bau busuk yang menyengat. Jika obat ini di minum, nantinya saat buang air besar, feses kamu juga akan bau busuk, malah ada yang lebih busuk seperti bau daging busuk. Itu normal aja kok." Terangnya sambil terus membersihkan bekas dan sisa-sisa obat yang menempel di kakiku.     

("Waahhh.. gila sih ini orang.. Kok bisa kaya dokter gitu sih? Apalagi bisa tahu apa yang aku pikirkan lagi barusan. Apa orang ini bukan manusia ya? Tapi aku nggak merasa apa-apa sama Beliau..") Gumamku sekali lagi saat Oma Alida memberikan obat yang baru pada kakiku di bantu dengan Bu Jeannette, managernya.     

Di saat aku sedang bergumam dalam hatiku sambil mmeperhatikan dua orang yang sedang membalut kakiku dengan kain kasa, tiba-tiba Oma Alida melihat ke arahku sambil tersenyum lebar seakan lagi-lagi Beliau mengetahui isi pikiranku saat ini.     

"Tenang naakk.. saya ini bukan dukun atau sejenisnya kok. Saya ini memang seorang dokter lulusan dari Belanda sejak tahun 1965. Jadi saya sudah jadi sokter itu sudah lama sekali. Saya juga sudah banyak melakukan observasi tentang obat-obatan yang ada di sekitar saya. Makanya saya saat ini menggunakan tanaman obat untuk penyembuhan pasien saya." Ucapnya dengan senyuman. Terlihat saat itu senyum Oma Alida sangat manis, sekilas aku dapat melihat masa lalunya saat muda, Beliau tampak cantik dan anggun saat itu. Begitupun sekarang Beliau masih sangat cantik di usianya yang tak semuda dulu. Hingga tanpa sadar aku menggumam saat sekilas melihat masa muda Oma Alida.     

"Cantik banget pas mudanyaaa.." Ucapku lirih.     

"Ya?" Tanya Jeannette yang mendengar ucapanku meskipun sangat lirih.     

"Ah, nggak apa kok. Hehehe..." Jawabku dengan malu-malu. Lalu aku melihat ke arah Oma Alida yang berdiri di belakang Jeannnette sambil tersenyum kepadaku dan langsung menepuk pundak managernya seakan memberikan satu isyarat tertentu.     

Benar saja, Jeannette langsung menganggukkan kepalanyadan langsung meninggalkan kamarku sambil membersihkan sisa-sisa sampah pengobatan yang baru saja aku jalani. Lalu setelah Jeannette keluar kamar, Oma Alida berjalan dengan sangat pelan mendekati tempat tidurku, tepat di bagian kiri, Beliau duduk di sandingku. Tak berbicara apapun saat itu, hanya senyuman manis yang terus Beliau tunjukkan kepadaku. Lalu Beliau memegang tanggan kiriku dengan tatapan yang sangat dalam sambil memperhatikanku. Seketika itu juga aku merasakan di bawa oleh Oma Alida pada masa lampau, dimana penginapan ini masih sangat sederhana dan belum terlalu besar seperti sekarang. Hanya beberapa kamar yang bisa di tempati, di sekitar penginapan terdapat halaman yang sangat luas, di tumbuhi berbagai macam jenis bunga sehingga terlihat sangat cantik dan indah saat mata memandang. Lalu aku melihat pula kolam renang yang baru saja aku pakai untuk berenang masih sama posisinya, hanya bentuk dan fasilitas kolamnya yang berbeda dengan yang sekarang. Lalu aku di ajak untuk menelusuri di sekitar penginapan, seakan Beliau sedang mencari seseorang saat itu. Aku melihat banyak sekali turis-turis Belanda yang menginap di sana, dan beberapa pria mengenakan pakaian perang keluar masuk penginapan saat itu. Suasana yang aku lihat saat itu sangat kental sekali dengan budaya Belanda, meskipun ada beberapa sudut ruangan di dalam penginapan itu terdapat aksen Jawa seperti perabotan meja dan kursi yang di gunakan, lemari di setiap kamar. Namun hampir 90% masih menggunakan kebudayaan Belanda, seperti bahasa yang digunakan, tulisan, hiasan dinding, serta makanan yang di hidangkan. Setelah lama berkeliling di sekitar penginapan, tiba-tiba Oma Alida menghentikan langkahnya sambil memandang lurus ke depan. Akupun mengikuti arah pandangnya yang ternyata Beliau sedang melihat ke arah seorang wanita yang cantik parasnya dengan rambutnya yang berwarna keemasaan saat terkena sinar matahari sedang berkebun di dekat kebun teh bersama dengan seorang pria yang terlihat sangat gagah dari belakang.     

"Itu adalah kakek buyut dan nenek buyut saya." Ucapnya sambil terus memandangi kedua orang itu dari kejauhan.     

Akupun masih sedikit kebingunan dengan apa yang di sampaikan Oma Alida saat itu, namun perlahan aku mengerti apa yang di maksudkan Oma Alida saat itu. Ketika perempuan itu membalikkan tubuhnya hendak mengambil selang air, sontak aku terkejut dengan wajah yang aku lihat. Iya. Wajah yang aku lihat saat itu sama dengan wajah yang aku lihat ketika aku berada di kolam renang. Paras yang cantik dan rupawan, serta rambut yang kuning keemasan adalah orang yang sama yang aku lihat saat itu.     

"Ituuuu... bukannya perempuan yang selalu ada di pinggir kolam renang ya?" Gumamku pelan namun Oma Alida ternyata dapat mendengarkan ucapanku meskipun terdengar tak begitu jelas.     

"Iya. Benar yang kau ucapkan nak.. Beliau memang suka sekali dengan pemandangan di dekat kolam renang. Karena di sana terdapat makam anak pertamanya yang telah meninggal saat baru lahir. Lalu di sana juga tempat nenek buyut bersama kakek buyut saya menghabiskan waktu mereka berdua bersama yaitu dengan berkebun seperti yang kau lihat saat ini. Jauh sebelum kebun bunga ini, kau bisa melihat jauh ke arah sana nak?"     

"Iya. Itu kebun teh?"     

"Iya benar. Itu kebun teh yang dulunya milik warga sini, namun karena pemilik kebun teh itu tak lama kemudian meninggal, dan juga pemilik kebun teh itu sangat baik kepada kakek dan nenek buyut saya, begitu pula sebaliknya, makanya kebun teh itu akhirnya di beli oleh kakek saya dan kami rawat hingga sekarang." Jelasnya.     

"Ow ya kamu bilang, kamu melihat nenek buyut saya di dekat kolam renang?" Tanya Beliau.     

"Iya. Beberapa hari lalu saya melihat sosok yang sama persis dengan mendiang nenek buyut Oma Alida, waktu saya berenang pun juga saya melihat mendiang berenang ke arah saya, hingga membuat kaki saya kram dan bengkak seperti ini." Jawabku.     

Setelah mendengar jawabanku, Oma Alida seketika meneteskan air mata dan membuatku penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Lalu kami dalam sekejap pun langsung kembali ke penginapan seperti sebelumnya.     

"Ibu, berarti bisa membaca pikiran saya dari tadi?" Tanyaku pelan setelah kami berada di kamar yang aku tempati.     

Oma Alida hanya mengangguk dan tersenyum kepadaku. Lalu Beliau mulai menceritakan apa yang aku lihat selama ini dan hubungan dengan kamar nomor sepuluh yang ada di lantai satu yang ternyata kamar tersebut merupakan kamar khsusus yang dari dulu di sediakan untuk kakek dan nenek buyut Oma Alida. Yang setiap hari di berikan segelas teh melati hangat dan beberapa lembar roti putih kesukaan mereka dan juga bunga-bunga yang memenuhi kamar itu. Setiap hari staff di penginapan akan membersihkan makanan dan minuman yang mereka antar dan langsung membuangnya. Nggak ada yang boleh memakan ataupun meminum bekas dari kamar nomor sepuluh. Untuk bunga-bunganya pun staff di penginapan selalu menggantinya dengan yang baru setiap seminggu sekali, baik itu sprei dan bedcover yang ada di dalamnya agar semua kebersihan kamar tetap terjaga dan almarhum kakek nenek tetap senang tinggal di sana.     

Mendengar hal tersebut aku sempat bertanya-tanya, kenapa wajah yang aku lihat pada sosok perempuan yang juga nenek buyut Oma Alida terlihat tak bahagia, seakan 'wanita' itu meminta tolong padaku? Tetapi hal yang sangat ganjil yang aku dengar ialah makanan dan minuman yang telah di antar ke dalam kamar nomor 10 tidak boleh di konsumsi meskipun makanan itu tidak rusak, melainkan harus langsung di buang? Dan akhirnya aku memberanikan diri untuk menanyakan hal tersebut.     

"Uhmmm.. Bu.. kalau saya boleh tanya, kenapa makanan dan minuman itu harus langsung dibuang ya?"     

"Iya. Makan dan minuman itu memang harus dibuang, karena itu merupakan salah satu sesajen yang saya berikan untuk mendiang kakek dan nenek buyut saya. Dulu pernah ada pegawai dari penginapan ini, masih baru, dan mendapatkan tugas untuk mengambil makanan dan minuman itu di dalam kamar yang seharusnya Jeannette yang melakukannya, namun saat itu Jeannette sedang cuti sakit, dan anak-anak senior yang lain menyuruh anak baru itu tanpa sepengetahuan kepala staff. Entah apa yang ia lakukan di dalam sana, setelah keluar dari kamar, karena makanan dan minuman itu selalu di tutup menggunakan tudung saji yang terbuat dari aluminium, anak baru itupun langsung berjalan menuju tempat pembuangan di belakang dan langsung membuangnya. Naahh.. selang beberapa hari setelah ia melakukan pekerjaan tersebut, anak baru itu sempat mengalami sakit parah yang membuatnya akhirnya meninggal. Setelah saya usut baru tahulah jika anak baru itu mencicipi makanan yang ada di dalam baki tersebut." Terang Oma Alida seketika terhenti di saat yang tepat ketika Om dan tante Intan baru saja kembali dari makan siang bersama dengan anak-anaknya.     

"Selamat siang Oma Alida.." Sapa tante Intan saat memasuki kamarku.     

"Iya Bu Intan.. Selamat siang.." Jawab Oma Alida     

"Oh apakah Oma mau mengobati kakinya keponakan saya?"     

"Tidak. Saya baru saja selesai mengobati kaki nona manis ini... Kakinya sudah mulai kembali ke ukuran normalnya dan hanya perlu istirahat semalam saja besoknya sudah bisa melakukan aktivitas seperti biasa." Terang Oma pada Tante Intan.     

"Oh begitu... Maafkan saya kalau tadi saya nggak bisa menemani selama pengobatan."     

"Nggak masalah.. Kalau begitu saya mau pamit dulu ya.." Uap Oma Alida sambil membawa tasnya yang Beliau taruh di bawah tempat tidurku.     

"Kalau begitu biaya pengobatannya berapa Oma?"     

"Nggak usah bayar. Ini dari saya gratis, karena ini tanggung jawab saya sebagai pemilik penginapan ini. Ya udah ya non, Oma pergi dulu.." Ucap Oma Alida sambil melenggangkan kakinya keluar kamar.     

"Ndraaa.. gimana kakimu..." Tanya Tante Intan sambil memeriksa kondisi kakiku yang terbalut dengan perban baru.     

"Ini sudah lebih baik sih te.. Nggak kerasa sakit seperti sebelumnya.. Cuman sedikit lebih kebas aja.. Mungkin obatnya ada efek anastesinya.." Jawabku.     

"Ow gitu.. Yaaa.. bagus ya pengobatannya Oma ini.. Apa kamu juga di beri obat minum nggak Ndra?"     

"Nggak ada tuh tan. Cuman obat yang di tempel itu di kaki. Nggak di kasih apa-apa lagi kok sama Oma."     

"Wih berarti Oma ini dia dokter yang ciamik ya! Hanya pake oabt-obatan herbal kaya gini aja kakimu dalam sehari langsung kempes dan nggak sakit lagi. Coba kalau dokter lain, pasti sudah di kasih obat-obatan yang banyak banget terus biayanya juga mahal. Ya nggak ko?"     

"Iya. Tapi Oma ini cuman praktek di sekitar sini aja ya? Nggak ada buka praktek di kota gitu ya?"     

"Yaaa... tadi sempat cerita-cerita sama Andra sih nggak ada om.. Memang cuma buka praktek di sini aja.. lagian Oma juga nggak narik biaya mahal sama pasiennya."     

"Wiiihhhh... keren ya pengabdian si Oma ini.. tapi sayang nggak buka praktek di kota. Coba kalau buka kan enak. Ya kalau mau berobat ke sini kejauhaaannn.." Tukas Om Andre sambil berbaring di tempat tidurnya.     

"Ya sudah kalau gitu Ndra.. Kamu istirahat aja lagi. Ngel, kamu temani cece Andra ya di sini ya.. Kalau ada apa-apa panggil mami aja. Oke sayang?"     

"Ya ma..." Jawab Angel sambil bermain game konsolnya.     

Setelah tante Intan kembali ke kamarnya bersama Dena, seketika kamarku menjadi sepi kembali. Hanya suara televisi dan suara game konsol milik Angel yang terdengar di kamarku. Tak ada pembicaraan di antara kami yang membuatku bosan dan menjadi mengantuk. Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi Karin agar tak bosan. Beberapakali aku mencoba menghubungi Karin saat itu namun tak ada panggilan yang diterima olehnya. Saat itu aku masih berfikirpositif tentang Karin terhadapku.     

"Kok nggak di angkat-angkat sih? Masa iya sudah sore gini masih tidur? Apa lagi sibukbantuin maminya ya?" Gumamku sambil memperhatikan layar teleponku yang masih terhubung dengan Karin, namun belum di terima.     

Melihat hal itu akupun langsung mematikan ponselku dan mencoba untuk menghubunginya melalui pesan singkat.     

15.12 PM ["Karriiiinnnnn!!! Kamu lagi tidur ya? Aku bosan nihhh.. pengen ngobrol tapi nggak ada yang bisa di ajak ngobrol. Tadi aku telpeon kamu juga nggak kamu angkat-angkat. Nanti kalau kamu sudah bangun, balas yaaa... :D"]     

Setelah aku mengirim pesan pada Karin aku pun langsung menaruh ponselku ke atas meja nakas yang ada di sebelah kiriku lalu aku kembali berbaring hingga tak sadar jika aku tertidur cukup lama.     

17.10 WIB     

"Ndraaa... Dyandraaa..."     

Terdengar sayup-sayup suara tante Intan memanggil namaku beberapa kali, namun saat itu terasa sangat berat untuk membuka mataku seolah-olah enggan untuk terbangun dari tidurku.     

"Ndraaa.. Ayo bangun Ndraa... Sudah sore nih..." Ucap tante Intan yang mulai terdengar jelas di telingaku, hingga saat itu mataku masih saja belum dapat kubuka.     

Beberapa kali tubuhku di sentuh, di tepuk-tepuk halus, dan di goyangkan oleh tante untuk membangunkanku pun terasa seperti mimpi. Hingga akhirnya aku benar-benar terbangun dari tidurku saat Dena dan Tio berlompatan di atas badanku. Di saat itu aku terbatuk dan dadaku terasa sangat sesak hingga mau tidak mau aku membuka mataku.     

"Aaaarrrrghhhh!!!" Jeritku hingga akhirya ku terbangun dari tidur siangku yang panjang.     

"Hahahahahahahaaaa..." Tawa tante Intan yang tengah duduk di ujung tempat tidurku.     

"Ayo sudah-sudah anak-anak. Ce Andranya sudah bangun tuh. Ayo turun semua!" Ucap tante Intan sambil menahan tawanya melihatku yang tengah ke sakitan.     

"Iihhh kamu ini nik kasihan tuh Dyandranya! Jahat kamu banguninnya kaya gitu.." Celetuk Om Andre yang melihatku dari depan pintu connecting door.     

"Ya habisnya nih anak dari tadi aku bangunin nggak bangun-bangun lhooo... Di tepuk-tepuk manja juga gak bangun-bangun.. Ya sudah anak-anak bantuin bangunin kaya gitu.. Hehehehehe.." Uap tante Intan sambil tersenyum kepadaku.     

Akupun hanya terduduk lemas di atas tempat tidur seakan sedang mencoba mengumpulkan nyawa dan energi yang terkuras beberapa saat yang lalu saat Tio dan Dena melompat-lombat di atas tubuhku.     

"Sudah bangun kan Ndra?" Tanya tante sekali lagi.     

He'em" Jawabku singkat sambil menganggukkan kepala.     

"Ya sudah kalau sudah bangun. Jangan tidur lagi lho! Ini kita mau keluar beli makan. Kamu cepat mandi-mandi dulu gih sana." Ujar tante sambil membersihkan kamarku yang penuh dengan barang-barang ke tiga anaknya yang berserakan dimana-mana.     

Akupun langsung menegapkan dudukanku dan meraih kaki kiriku yang masih terbalut perban. Membukanya dengan perlahan agar obat-obatan yang menempel di perban tidak tercecer di tempat tidur. Terlihat memar yang ada di sekitar pergelangan kakiku mulai memudar, bahkan sudah tak terlihat lagi. Aku sempat takjub tak percaya dengan pengobatan yang dilakukan oleh Oma Alida. Namun hasil yang didapatkan membuatku sangat puas. Aku menggerakkan dengan perlahan pergelangan kaki kiriku bersamaan dengan kaki kananku, dan tak merasakan sakit nyeri sama sekali.     

Aku mencoba menurunkan kedua kakiku langsung ke lantai dan berdiri secara perlahan, dalam hati aku sudah sangat takut jika aku tak dapat berjalan lagi hanya karena kakiku bengkak gara-gara kram setelah berenang. Yaahh...meskipun bukan itu saja penyebabnya, namun aku sudah khawatir dengan kondisiku sepanjang hari itu. Tetapi ketika aku mencoba berdiri tegap di sebelah tempat tidurku sambil melihat pelan-pelan ke arah kakiku, aku tak merasakan sakit sama sekali hingga tanpa sadar aku langsung menggerakkan kedua kakiku dengan berjalan, berlari kecil di kamar, dan berlompat. Aku merasa sangat senang saat itu dan langsung menyambar ponsel yang ada di meja nakas untuk menceritakan pengalamanku ke Karin. Namun... saat aku membuka ponselku, yang pertama kali muncul ialah beberapa pesan masuk dari kartu selular, dan Dito yang hampir seharian ini juga kita nggak ngobrol sama sekali. Tetapi pesanku ke Karin sama sekali nggak di balas satupun. Panggilanku juga nggak ada yang di balas sama dia. Perasaanku semakin tak nyaman saat itu. Seluruh tubuhku langsung lemas dan aku langsung duduk di atas tempat tidur sambil berpikir tentang apa yang salah denganku terhadap Karin. Hingga menguras waktu yang cukup lama, sampai-sampai tante Intan memanggilku lagi sebelum kami pergi keluar untuk makan malam.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.