The Eyes are Opened

Malam Jum'at (Part 02)



Malam Jum'at (Part 02)

0Ditengah kesunyian malam yang sangat hening hingga bunyi langkah kaki dapat terdengar jelas di telingaku. Malam hari itu terasa sangat berbeda dari pada malam-malam sebelumnya, kengerian yang aku rasakan meskipun di dalam kamar membuat bulu kuduku merinding hingga nafasku terasa sesak. Aku mencoba mengalihkan apa yang aku rasakan dan apa yang aku dengar dengan memutar lagu dari ponsel dan mendengarkannya menggunakan headset yang telah terpasanag di telingaku. Namun siapa sangka tatapan mereka yang terasa sangat dekat melihat ke arahku membuat kengerian tersendiri malam itu.     
0

Aku memejamkan mataku dan berusaha mengabaikan 'mereka' yang memandangiku dari sudut kamar.     

"Wadduuhh ternyata di rumah sakit ini kalau malam jum'at banyak banget 'penghuni' yang datang." Gumamku sambil terus berusaha memejamkan mata.     

Aku melihat ke arah ponsel yang terletak di sebelah kananku, "Hmm..masih jam satu?? Kok kerasa lama banget ya? Udah ah, tidur lagi aja." Gumamku lalu menaruk ponselku kembali.     

Detik demi detik malam itu akhirnya aku tertidur pulas. Namun di saat aku telah tertidur pulas, aku merasakan ada yang menarik selimutku ke bawah. Saat itu aku belum menyadari apapun dan aku menariknya kembali menutupi seluruh tubuhku. Beberapa menit kemudian, selimutku terasa sangat kencang di tarik ke bawah hingga terlepas dan hampir terjatuh. Aku pun terbangun dengan kondisi setengah sadar aku bangun dari tidurku dan mengambil selimutku. Di saat aku meraba-raba mencari selimutku, tiba-tiba aku merasakan ada bulu lebat di dekat ujung tempat tidurku.     

["Hmmm?? Apa ini? Kok ada bulu-bulu di sini?? Perasaan aku nggak taruh selimut yang ada bulunya deh. Tapi ini apa ya?] Pikirku sambil perlahan membuka mata yang sangat lekat ini.     

Ruang kamar yang sangat gelap hanya di terangi cahaya rembulan ang mengintip di sudut jendela membuatku susah untuk melihat dengan jelas saat itu. Aku membuka mataku dan melihat di depanku tepat di bawah kakiku terdapat sosok kuntilanak yang duduk di pegangan kasur. 'Ia' tersenyum sambil memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Rambutnya yang panjang menjuntai ke bawah hingga kelantai terus menatapku seakan-akan ingin menggodaku saat aku tidur. Aku terkejut melihatnya yang berada tepat di depanku. Aku dengan cepat langsung melihat kedua kakiku dan tak berani melihat ke arah atas. Badanku gemetaran dan keringat dingin mengucur deras membasahi punggungku. Aku tak sanggup untuk berteriak meminta tolong aku pura-pura tak melihatnya dan kembali terbaring di kasurku lagi. Ketika aku membaringkan badanku dengan posisi miring menghadap ke kiri, di hadapanku terlihat ada sosok anak kecil menggunakan pakaian piyama rumah sakit berdiri tepat di depanku. Ia membawa boneka beruang yang terlihat sudah sangat usang dan berkata kepadaku, "Kakak, ayo mainn.. Hahahahaha..." Ucapnya sambil berlarian ke sana kemari mengelilingi kamarku.     

Aku hanya terdiam dan berdoa di dalam hati. Tapi perasaanku semkain nggak karuan, mereka terus-terusan membisiki telingaku untuk ikut dengannya. Aku mengucapkan doa dengan mulutku dan berkata-kata dengan keras, namun seakan suaraku di telan oleh bumi. Aku tak dapat mendengarkan suaraku sendiri dan seakan-akan leherku terasa di cekik sehingga aku tak dapat berbicara satu katapun. Aku terus berdoa dan mengucapkannya, mencoba beberapa kali dan tetap tak ada yang keluar dari mulutku. Aku mulai terbangun dari tempat tidurku dan melihat ke arah sekeliling kamarku. Ada puluhan 'penghuni' yang sedang berada di kamarku. Ada yang berdiri di sudut-sudut kamar, ada yang duduk di rail tirai kamar, ada yang bersembunyi di bawah kolong kasur, dan ada yang berada di atas kamar. Aku terdiam membatu hingga tak tahu berbuat apa.     

"Apa mau kalian! Jangan ganggu aku! Aku hanya ingin beristirahat malam ini! Pergi! Pergi! Aku bilang pergi kalian!!" Teriakku sambil mengusir 'mereka' dari kamarku.     

'Mereka' hanya tersenyum kepadaku seakan ucapanku tak mempan padanya. Aku menggertak mereka sekali lagi dan mengucapkan "Dalam nama Tuhan Yesus pergi kalian dari tempat ini!!!", namun lagi-lagi tak ada satu suara yang keluar dari mulutku. Seakan-akan aku mengucapkannya dari dalam hati. Aku mengucapkannya lagi hingga lima kali dan saat aku mengucapkan untuk yang terakhir kalinya, seketika saja lampu di kamarku menyala dengan sangat terang dan ada seorang perawat datang masuk ke dalam kamarku. Ia membuka tirai kamarku dan menghampiriku.     

"Permisi.. apa ada yang bisa saya bantu?" Tanya perawat itu mendatangiku.     

"Ah, nggak sus. Ada apa ya?"     

"Saya mendengar suara teriakan minta tolong dari meja jaga. Saya mencari sumber suara minta tolong dan terdengar di kamar ini." Ucapnya yang terlihat kebingungan. Mendengar penyataan dari perawat jaga saat itu akupun juga merasa kebingungan dan heran.     

"Uhmmm.. tapi dari tadi nggak ada yang minta tolong kok sus di sini." Ucapku menetupi apa yang aku lihat tadi.     

"Tapi beneran lho tadi saya mendengar sangat keras di kamar ini seperti mita tolong."     

"Nggak ada yang minta tolong sus.. Saya juga nggak kenapa-kenapa kok." Ujarku sehingga perawat yang berjaga malam itu akhirnya berbalik dan meninggalkan kamarku dengan lampu kamar yang terus menyala. Aku melihat ke arah jam dinding, "Hahh?? Masih jam dua dini hari?" Ucapku sambil tidur kembali hingga keesokan paginya dengan kondisi lampu yang masih menyala.     

Tak terasa matahari telah menyingsing, cahanya mengintip di sela-sela jendela kamar. Aku terbangun mendengar suara derit roda tempat tidur pasien yang berbunyi serta suara langkah kaki beberapa perawat yang membawa pasien di sebelah tempat tidurku keluar kamar. Bersamaan saat mereka keluar dari kamar, mama dan papa telag tiba di depan kamarku dan hendak masuk. Mama melihat pasien wanita yang berada di sebelahku masih terbaring lemas dan terlihat beberapa bagian tubuhnya membiru. Sontak mama yang melihatnya langsung tercengang dengan mata yang terbuka lebar sambil menutup mulutnya dengan menggunakan tangan kiri. Setelah para perawat telah keluar dari kamar, mama dan papa langsung masuk dan menemuiku.     

"Sudah bangun nak?" Tanya papa yang membuka tirai kamarku.     

"Ah, iya pa. Baru aja bangun. Kenapa pa orang yang di sebelah tadi?" Tanyaku dengan heran yang tak tahu apapun saat pasien di sebelh di bawa oleh para perawat.     

"Hmm tadi kok kayanya pasien yang di sebelahmu itu sudah nggak ada." Ucap papa dengan nada pelan.     

"Hah? Nggak ada gimana? Lah itu tadi kan ada orangnya?" Ucapku yang semakin bingung.     

"Emang semalem selama kamu tidur nggak ada denger apa-apa? Tanya mama.     

"Uhhmmm.. semalem itu aku di gangguin sama 'penghuni' rumah sakit ini sampai nggak bisa tidur. Sudah aku tengking-tengking tapi nggak bisa-bisa seperti aku di cekik sampai nggak bisa keluar suaraku.Sampai-sampai aku di datangi sama perawat yang jaga malam. Di kira aku berteriak minta tolong sampai terdengar cukup keras hingga di meja jaga. Tapi kalau masalah pasien di sebelahku ini aku nggak tahu apa-apa. Bangun-bangun tadi sudah ada beberapa perawat yang bawa dia. emangnya apa yang mama lihat?"     

"Tadi mama lihat kok di lehernya udah biru-biru gitu uratnya.. Udah itu aja yang bisa mama lihat sekilas, tadi juga wajahnya tertutup badan perawat yang membawanya jadi mama nggak bisa lihat dengan jelas." Ucap mama.     

"Ma, pa. Apa Andra nggak bisa di rawat di rumah aja? Andra pengen pulang! Nggak betah Andra di sini kalau tiap malam dari jam dua belas sampai jam tiga dini hari selalu di gangguin. Yang mbak kunti lah. Yang anak kecil lah. Waktu mama tidur di sini juga itu Andra di gangguin."     

"Kenapa kamu nggak cerita ke mama paginya?"     

"Ya habisnya Andra nggak berani takut mama nggak percaya sama Andra. Apalagi mama tidurnya nyenyak banget gitu."     

"Sudah-sudah nanti papa tanya sama dokternya aja bisa nggak kamu hari ini juga langsung pulang. Oke? Sudah ini makan dulu. Papa bawakan kamu nasi campur enak. Nanti nasi mu biar papa yang makan." Ucap papa sambil memberikan satu bungkus nasi campur yang sudah di taruh di atas meja kecil di hadapanku.     

Pagi itu aku makan dengan sangat lahap seakan aku sudah lapar sejak tadi malam. Mama yang sudah selesai merapikan barang-barangku pun akhirnya ikut makan pagi bersama denganku. Tak lama kemudian papa berjalan keluar meninggalkan kamar untuk menemui dokter. Di saat papa sedang bejalan menuju meja jaga yang terletak di ujung lorong bangsal, papa sekilas mendengar cerita dari salah satu perawat yang juga berjaga saat shift malam. Papa berhenti sejenak sambil menerima telepon dari kantornya di dekat meja jaga dan tanpa sengaja mendengar cerita dari perawat itu. Papa mendengar jika tiap malam jumat, di bangsal ini selalu mendapatkan teror dari 'penghuni' rumah sakit ini sambil bersenandung lembut sambil mengelilingi tiap ruangan di bangsal. Katanya pak satpam yang pernah berkeliling di bangsal ini dan nggak sengaja melihatnya sih sosok 'penghuni' itu adalah seorang wanita yang suka memangsa manusia yang sudah sekarat. Ketika ia sudah memangsa manusia yang di carinya, ia akan berubah wajahnya menjadi lebih muda. Sosok itu aslinya terlihat sangat tua, keriput dengan rambut putih yang berantakan terjuntai ke lantai, menggunakan pakaian putih panjang hingga menutupi seluruh kakinya. Seluruh jarinya tangannya memiliki kuku yang sangat panjang dan juga memiliki tatapan mata yang sangat tajam.     

"Apa kamu pernah mendengarkan senandung yang selalu ia nyanyikan?" Tanya salah satu perawat yang jaga.     

"Uhmm aku belum pernah mendengarnya karena ia hampir tidak pernah dapat jadwal jaga yang shift 3." Ucapnya.     

"Aku juga nggak pernah dapat shit ke 3 sih. Mbak Lia sama bu Nur itu yang sering dapat shift 3." Ucap perawat yang lain.     

"Hoi! Lagi ngomongin apa'an kok serius amat dari tadi." Ucap salah satu perawat yang abru saja datang untuk bertugas.     

"Ahhh.. ini lho si Mira lagi nyeriatin kalau setiap malam jum'at ada teror dari 'penghuni' rumah sakit yang suka bersenandung tiap malam."     

"Aaahhhh.. aku pernah dapat shift jaga ke 3 dan tepat malam itu memang malma jum'at. Aku waktu itu masih perawat baru di rumah sakit ini dan masih nggak tahu apa-apa tentang cerita itu. Cuman pernah dengar dari teman-temanku, namun aku kira itu hanya mitos."     

"Terus-terus?"     

"Ternyata benar. Waktu malam itu aku sedang berjaga sama bu Nur, tapi waktu itu bu Nur kurang sehat karena masuk angin, jadi dia memutuskan untuk istirahat di ruang belakang dan aku berjaga di depan sendirian. Saat tepat jam dua belas atau jam satu gitu, selalu ada orang yang bersenandung kaya gini. ["Naaaaa...naaaa..naaaaa...naaanaaanaaaannaaaanaaaaaa..."]" Ucapnya sambil menirukan suara yang ia dengar saat itu.     

"Lalu aku yang mendengarnya langsung berdiri dan melihat siapa yang bersenandung malam-malam gini. Waktu aku mecari dan memeriksa tiap kamar, nggak ada satu orang pun yang terjaga malam itu. Aku mulai menyadari jika itu bukanlah suara manusia dan langsung menelepon satpam yang berjaga di daerah bangsal ini untuk meminta menemaniku. Sejak saat itu juga aku minta kepada kepala perawat untuk nggak dapat shift jaga ke 3. Tapi dari cerita para satpam di sini, 'penghuni' bangsal ini itu dulunya juga pasien di sini, dan pacarnya seorang dokter bedah di rumah sakit ini. Ia terkena suatu penyakit langka yang susah untuk di sembuhkan. Selalu ada satu hari sakit yang ia alam i kambuh dan membuatnya sangat menderita. Pacarnya sendiri juga angkat tangan tak bisa membantu wanita itu untuk dapat sembuh. Wanita itu sangat cantik parasnya kaya blasteran barat gitu. Tapi sayang wanita itu akhirnya meninggal di rumah sakit ini. Ia di bunuh oleh pacarnya sendiri. Sedangkan pacarnya saat itu memiliki hubungan dengan seorang dokter anak di rumah sakit ini karena wanita itu mengetahui jika pacarnya selingkuh di belakangnya dengan seorang dokter anak yang lebih muda dari pada dia. Makanya arwahnya gentayangan terus di rumah sakit ini. Dan yang paling mengerikan itu, kamar wanita itu berada di ujung lorong ini." Ucap perawat itu dengan mengecilkan nada suaranya.     

"Ow ya, aku juga dengar dari beberapa perawat yang sudah bekerja di sini cukup lama, mereka bilang jika dokter yang membunuh pacarnya sendiri itu masih bekerja di rumah sakit ini. Tapi aku sendiri nggak tahu siapa nama dokter itu."     

"Haahhh!! Yang benar saja!! Dokter gila itu namanya! Bisa-bisa membunuh pasien yang lainnya!" Ucap salah satu perawat dengan menahan nada suaranya agar tidak terdengar oleh banyak orang yang saat itu sedang berlalu lalang di dalam bangsal itu.     

Setelah mendengar cerita dari ketiga perawat yang berjaga saat itu, papa langsung mematikan ponselnya dan langsung berjalan menuju ruang dokter Ryan yang berada di seberang bangsal ini. Papa meminta ijin untuk aku dapat dirawat di rumah hingga aku pulih. Akhirnya siang itu juga papa mendapatkan ijin dari dokter Ryan dan hal yang mengejutkannya ketika hendak keluar dari ruangan dokter, papa melihat ada satu foto perempuan yang sangat cantik dengan wajah yang blasteran dengan rambut pirang dan panjang, terlihat perempuan itu sedang duduk di bawah pohon yang sangat rindang sambil tersenyum melihat ke arah depan. Terlihat juga ada karangan bunga yang melingkar di depan foto itu dan di depannya terletak lilin yang menyala. Melihat itu papa langsung mengetahui jika yang di maksud para perawat itu adalah dokter Ryan yang juga dokter yang merawat anaknya. Papa keluar dengan wajah yang sangat panik dan ketika papa berbalik badan menutup pintu, wajah dokter Ryan seketika tersenyum dengan ekpresi yang sangat mengerikan.     

Papa berjalan dengan langkah yang sangat cepat menuju ke kamar. Melihat ekspresi papa seperti orang ketakutan, perawat yang sedang berjaga pagi itu sempat menanyakan papa yang saat lewat di depan mereka.     

"Pak, apakah anda baik-baik saja? Wajah anda terlihat sangat pucat sekali." Ucap perawat yang bernama Lila, yang tadi bercerita tentang misteri bangsal ini. Melihat perawat itu, papa semakin merasa semakin takut dan bergegas untuk kembali ke kamar.     

"Ah nggak apa. Saya baik-baik saja. Terima kasih atas bantuannya." Ucap papa sambil berlalu dan mulai berlari kecil menuju kamar.     

Setibanya di kamar, papa langsung duduk di kursi panjang untuk penjaga pasien sambil beberapa kali menghela nafas.     

"Kenapa pa? Kok kaya abis larian gitu?" Tanya mama. Namun papa saat itu tidak seperti biasanya. IA hanya terdiam sambil melihat ke langit-langit kamar dan tak menghiraukan pertanyaan mama.     

"Pa! Papa!!" teriakku memanggil papa yang terlihat tak dengar dengan ucapan kami. Hingga akhirnya papa terkejut dan segera bangun dari tidurnya.     

"Papa ini kenapa sih?! Dari tadi mama tanya nggak di jawab! Andra balik nanya juga nggak di jawab! Di panggil beberapa kali juga nggak dengar!! Kenapa sih papa ini? Masih pagi kok kaya orang abis lihat hantu aja! Andra yang lihat aja nggak kaya papa kok!" Ucapku yang mengomel panjang di hadapan papa.     

"Hmmm.. nggak apa. Ma, barangnya Andra sudah di rapikan? Sudah di beresi? Kita siang ini akan pulang ke rumah. Nanti Andra mulai rawat jalan di rumah aja. Kalau butuh kontrol baru kita hubungi dokter yang di rujukkan sama dokter Ryan." Ucap papa yang bangkit dari duduknya dan mengambil sebotol air mineral yang terletak di atas nakas kamar.     

"Iya ini sudah mama rapikan barang-barang Andra. Baju-baju dan barang-barang campingny ajuga sudah di dalam tas carrier kok. Cuman beberapa baju kotor aja yang ada di lemari belum mama bereskan. Tapi kok mendadak banget Andra bisa keluar rumah sakit secepat itu?" Tanya mama.     

"Ya dokternya aja sudah kasih keputusannya kok. Ya sudah kita keluar aja." Ucap papa.     

"Tapi bukannya kalau keluar rumah sakit di hari weekend gini nggak baik ya mitosnya?" Tanya mama.     

"Halaaahhh!! Kamu ko percaya yang begituan! Nggak ada! Kita ini hidup didalam iman apa sih kok kamu masih percaya mitos-mitos kaya begitu." Sudah sini papa bantuin beresin barangnya Andra ke dalam mobil dulu, nanti sisanya baru kita bawa saat selesai check out administrasinya." Ucap papa sambil membawa tas carrier ku keluar kamar.     

Selesai merapikan beberapa barangku yang ada di dalam lemari rumah sakit dan nakas, mama mengumpulkan semua barang dan keperluanku dan ditaruhnya di bangku kamar. Setelah selesai mama memandikanku dengan sangat hati-hati. Rasanya sangat segar seklai setelah beberapa hari tidak merasakan air segar mengalir secara langsung. Selesai mandi dan berpakaian dengan pakaianku yang baru, papa tak lama kemudian masuk ke kamar sambil membawa sebuah tongkat untukku dapat berjalan dan juga sebuah kursi roda yang di pinjam dari rumah sakit.     

"Ndra, kamu bisa kan buat jalan sendiri pakai tongkat? Kakimu yang terluka di tekuk aja kebelakang kaya kamu mau main engklek itu lho." Ucap papa sambil membantuku berdiri.     

Melihat papa yang dengan sabar membantuku belajar berjalan menggunakan tongkat membuatku merasa nyaman dan bahagia, jika papa merupakan seorang ayah yang sangat sayang dengan anaknya.     

Aku berjalan di samping papa yang menuntunku dari samping, langkah demi langkah aku mencoba untuk berjalan dengan perlahan meskipun beberapa kali aku hampir terjatuh hilang keseimbangan karena tersandung dengan tongkat itu sendiri. Tetapi aku bersyukur papa berada di dekatku sehingga papa menjagaku agar tak benar-benar terjatuh. Setelah aku dapat menguasai tongkat saat aku berjalan, papa mengajakku untuk berjalan melewati beberapa anak tangga di rumah sakit.     

"Ayo Ndra belajar jalan di tangga. Kan di rumah ada tangganya, di sekolah kamu juga ada tangganya. Ini papa bantu bawakan tongkatmu dan kamu berjalan berpegangan di pegangan tangga selama turun ya. Hati-hati licin." Ucap papa dengan sangat sabar.     

Aku terus mencoba berjalan di anak tangga seperti kelinci yang meloncat-loncat ketika berjalan. Ternyata tak mudah bagiku saat mencoba berjalan dengan cara seperti itu di anak tangga, melihatnya ke bawah membuatku merasa seperti akan terjatuh. Tetapi papa terus menyemangatiku dan memeberikan arahan untukku agar aku tak terjatuh saat naik dan turun anak tangga. Beberapa kali aku mencobanya hingga akhirnya aku berhasil menaiki dan menuruni anak tangga seorang diri dengan sangat hati-hati dan pelan-pelan.     

"Gimana? Capek ya?" Tanya papa yang melihatku terengah-engah di tengah-tengah anak tangga.     

"Oke, berhenti aja kalau gitu. Sini biar papa gendong kamu di punggung." Ucap papa sambil memberikan punggungnya padaku dan sudah bersiap-siap dengan gaya kuda-kuda di anak tangga.     

"Pa, papa yakin aku naik punggung papa?" Tanyaku yang saat itu nggak yakin papa bisa menggendongku atau nggak.     

"Iya yakin lah. Masa kamu nggak yakin sama papamu sendiri? Ayo cepat naik ke punggung papa sebelum papa juga tambah capek nahan kuda-kuda." Ucapnya dengan nada agak tinggi karena aku sangat lama.     

"Iya-iya. Sebentar. Sabar ta laaahh.. kan kakiku sakit satu." Ucapku yang mulai memeluk punggung papa.     

"Udah ah, kelamaan. Pegangan yang kuat. Papa mau berdiri sekarang." Ucapnya sambil mengambil aba-aba.     

"Satu.. dua.. tiiiiggaaa!! Hup lahhh!!!" Ucap papa sambil mengangkat tubuhku yang memilik berat 35 kg saat itu.     

"Pa, nanti kalau Andra punya pasangan, Andra pengen punya pasangan yang perhatiannya sama kaya papa." Bisikku di telinga papa saat menggendongku.     

Mendengar hal tersebut papa hanya tersenyum bangga dan berjalan lebih cepat menuju kamar.     

"Ya harus kamu cari pria yang akan menjadi pasanganmu kelak seperti ini. Jangan cuman modal janji aja. Tetapi sikapnya yang perlu kamu lihat. Jeleknya, baiknya agar kamu nggak menyesal nnati kalau sudah menikah. Jika kamu lihat baiknya aja selama pacaran, nanti waktu nikah dan tahu sikap jeleknya kamu akan menyesal dan akan menderita seumur hidupmu. Jika nggak kuat ya ujung-ujungnya cerai. Jangan sampai yaaa.. Makanya kasih tahu papa kalau punya pacar itu! Jangan di simpan sendiri! Biar papa bantu seleksi." Ucap papa dengan nada yang lantang hingga terdengar di seluruh lorong bangsal.     

Sesampainya di kamar, mama terkejut melihat papa yang menggendongku. Lalu papa langsung menurunkanku di atas tempat tidur dan papa kembali bergegas membawa barang-barnag ku yang lainnya untuk di taruh di mobil terlebih dahulu. Sedangkan mama keluar menuju ruang administrasi untuk menyelesaikan biaya rawat inap selama satu minggu di rumah sakit ini. Sedangkan aku masih menunggu di kamar sambil bermain ponsel. Setelah semuanya selesai, papa kembali ke kamar dan menjemputku. menggendongku untuk membantuku turun dari tempat tidur dan duduk di kursi roda yang sudah di siapkan. Para perawat saat itu juga membantuku untuk melepaskan selang infus yang belum terlepas, lalu kami segera pergi dari rumah sakit dan pulang ke rumah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.