Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

IV 396. Bakat Sejak Kecil



IV 396. Bakat Sejak Kecil

0"Darren, aku tidak tahan lagi. Aku … mau … keluar … Aaarhhhh," Calista mengerang merasakan denyutan agresif sang suami memenuhi kewanitaanya.     
0

Darren menangkap tubuh istrinya yang lemas dengan kedua tangannya.     

Calista membuka matanya perlahan. Kini dia sudah berbaring diatas kasur dengan tubuh sudah berpakaian lengkap. Tidak ada siapa-siapa didalam kamarnya. Calista pun bangun duduk perlahan dan mencoba menemukan kesadarannya. Seingatnya, terakhi kali dia berada di dalam kolam renang dengan kenekatan suaminya yang luar biasa tidak tahu malunya mengajaknya bercinta di ruangan terbuka.     

Calista menghela napas. Dia berharap tidak ada yang melihat apa yang mereka berdua lakukan sebelumnya, atau dia tidak akan punya muka untuk bertemu dengan orang-orang.     

"Kamu sudah bangun?" Darren masuk kedalam kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, sambil membawa segelas tinggi jus alpukat kesukaan Calista sejak awal menikah.     

"Jam berapa sekarang?" Calista bertanya dengan suara lemas ciri khas bangun tidurnya.     

"Jam 5 sore." Jawab Darren santai dan meletakkan gelas itu diatas meja disamping tempat tidur.     

"APA? Aku ketiduran sangat lama. Kenapa kamu tidak membangunkan aku?" Kedua mata Calista terbelalak lebar menyadari bahwa dia melewatkan banyak momen bersama anak-anaknya.     

"Kenapa aku harus membangunkanmu? Kamu tampak sangat kelelahan. Aku memandikan dan memakaikan kamu baju saja kamu tidak bangun." Jawab Darren.     

"Apa? Kamu juga yang memandikan dan memakaikan aku baju?" Calista memejamkan matanya menahan malu dan mengatupkan bibir berharap semua yang didengarnya hanyalah khayalan.     

"Ya, memangnya kenapa? Kita suami istri jadi tidak usah malu lagi."     

"Aku masih punya rasa malu, tuan Darren Anderson. Tidak seperti anda yang urat malunya sudah putus sejak lama. Huhuhu …." Calista menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya sambil merengut sedih menangis tanpa air mata.     

"Ya sudahlah, lain kali kamu bisa melakukannya padaku gantian." Jawab Darren dengan kalimat tidak masuk akalnya. Calista menghela napas malas. Percuma berdebat dengan Darren karena dia tidak akan pernah menang.     

"Aku mau keluar." Calista mengambil gelas berisi jus alpukat itu dan menenggak habis isinya. Lalu perempuan itu membawa gelas kosong itu keluar kamar, meninggalkan suaminya duduk di tepi kasur sendirian.     

"Raja Ratu, apa yang kalian lakukan?" Calista melihat kedua anaknya sedang membuat kerajinan dari kertas origami warna warni, di kamar tidur mereka.     

"Aku sedang membuat gambar pantai lengkap dengan mataharinya, ibu." Jawab Ratu dengan ceria seperti biasa.     

"Kamu Raja?"     

"Aku sedang membuat bangunan bertingkat tinggi dengan lapangan parkir dan mobil-mobil didalamnya. Ada kolam renangnya juga ibu." Jawab Raja dengan mantab. Calista menggeleng-gelengkan kepalanya. Dari kecil Raja sudah berbakat untuk menekuni dunia bisnis seperti ayahnya. Bahkan, anak-anak seusianya biasa menggambar pantai, pegunungan, sawah, dan bukit-bukit. Anak ini justru menggambar apartemen atau gedung perkantoran, huft. Gumam Calista.     

"Eh tunggu dulu, kolam renang? Apa dia menggambar kolam renang juga? Kenapa otakku sekarang jadi berpikiran yang tidak-tidak kalau mendengar kalimat kolam renang?" Pikir Calista, sambil mengibas-ngibaskan kepalanya membuang pikiran aneh-aneh.     

Calista menuju dapur untuk menaruh gelas di wastafel cucian piring. Tampak beberapa pelayan menatapnya sambil tersenyum-senyum. Calista menyeringai membalas senyuman mereka. Apa maksud para pelayan itu senyum-senyum padanya? Biasanya mereka senyum-senyum juga tapi kenapa senyuman mereka kali ini membuat Calista merasa tidak enak hati. Aku akan mencekik Darren nanti kalau bertemu, gumam Calista.     

-----     

"Aku pulang dulu ya, Carol. Terima kasih atas jamuan makan siangnya." Jenny berpamitan mengundurkan diri.     

"Aku yang berterima kasih padamu karena kalau tidak ada kamu, entah bagaimana nasib anak-anak." Jawab Carol lirih. Kedua dokter itu pun berjalan beriringan dan Carol mengantarkan kepergian Jenny sampai depan pintu.     

"Jhonny, kamu mau kemana?" Tiba-tiba Jhonny keluar dari kamarnya dan berjalan menuju keluar halaman. Carol yang melihatnya langsung memanggilnya. Sementara, Jenny hanya terdiam melihat pria berotot tersebut.     

"Aku mau kembali kerumah untuk mengambil mobil." Jawab Jhonny yang sedang sibuk menyentuh layar ponselnya naik turun.     

"Untuk apa? Kamu bisa pakai mobil yang lain di garasi." Jawab Carol lagi.     

"Aku sudah bilang Jack dan dia terserah aku." Jawab Jhonny lagi sambil berlalu menuju pintu gerbang.     

"Eh kalau begitu bareng Jenny saja. Boleh kan, Jen?" Pertanyaan Carol membuat Jenny bingung menjawabnya.     

"Oh iya iya, sekalian saja kebetulan aku mau pulang." Jawab Jenny kemudian.     

"Tidak tidak, aku mau cegat taksi saja didepan." Jhonny pun berlalu meninggalkan dua dokter tersebut yang masih berdiri didepan pintu rumah.     

"Ya sudah lah Carol, buat apa dipaksa juga. Aku pulang dulu ya. Sun sayang buat Nathan. Mmuahhh." Jenny dan Carol saling kecup pipi kiri dan kanan.     

"Kamu, serius tidak mau naik mobilku? Aku bisa mengantarkanmu sampai rumah." Jawab Jenny lagi ketika melewati pintu gerbang rumah Carol dan masih menemukan pria berotot itu berdiri menunggu taksi. Jhonny tampak menghela napasnya dan akhirnya dia pun setuju namun dengan syarat.     

"Biarkan aku yang menyetir." Jawab pria itu lagi sambil berkacak pinggang, mungkin terlalu lama menunggu taksi juga membuatnya senewen. Jenny tersenyum mendengarnya. Dokter spesialis anak itu pun turun dari mobil dan mempersilahkan Jhonny untuk duduk di kursi kemudi, sementara dirinya memutar menuju kursi disamping pengemudi.     

"Rumah kamu dimana?" Jenny mencoba berbasa basi agar suasana didalam mobil tidak sunyi dan kaku.     

"Satu jam perjalanan dari sini. Apa terlalu jauh dari rumahmu?" Jhonny bertanya balik.     

"Oh bukan begitu maksudku. Aku hanya bertanya mungkin saja rumah kita satu arah." Jawab Jenny lagi. Bibirnya mengerut kesal. Begitu saja tersinggung, pikir Jenny.     

"Ya sudah, aku berhenti didepan saja. Terima kasih atas tumpangannya. Nanti kamu kejauhan." Jawab Jhonny lagi.     

"Tidak tidak, aku bersedia mengantarkanmu sampai rumah. Aku sudah mendapatkan amanah dari Carol untuk mengawasimu apakah kamu akan mengantuk setelah minum obat atau reaksi apa yang akan terjadi setelah mendapat suntikan anti tetanus tadi." Jawab Jenny dengan lancarnya berbohong. Padahal, Carol tidak berpesan dan menitipkan amanah apapun.     

"Oh begitu? Kalian para dokter terlalu khawatir berlebihan. Aku pernah tertusuk pisau di perut dan besoknya aku kembali berada dijalanan." Jawab Jhonny lagi. Jenny terdiam mendengarnya. Yaah, tidak semua orang memiliki kondisi tubuh yang luar biasa fit seperti dirimu, gumam Jenny dalam hati.     

Perjalanan pun dilanjutkan dengan suasana kembali sunyi sepi. Jenny memutuskan untuk memejamkan matanya. Kebetulan saat ini matanya ngantuk berat karena semalam harus begadang menunggui ibunya yang dirawat inap di dirumah sakit tempat dia bekerja. Jenny tinggal hanya berdua dengan ibunya. Ayahnya sudah lama meninggal sejak dia masih kecil. Ibunya lah yang merawat dan membesarkan Jenny sampai dia kuliah dan menjadi dokter. Perjuangan ibunya menjadi seorang single fighter sangat membekas pada dirinya yang tidak ingin berpacaran sebelum membahagiakan ibunya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.