Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

IV 381. Ahli Negosiasi



IV 381. Ahli Negosiasi

1"Baiklah, aku tidak masalah. Aku juga banyak yang ingin aku tanyakan pada anak ini. Aku bawa dulu kopernya ke kamar." Ujar Jhonny sambil berlalu dengan koper milik Boy diangkat dengan satu tangannya.     
1

"Terima kasih om." Sahut Boy.     

"Anak pintar. Sekarang sudah malam. kamu tidur saja dulu. Besok bangun pagi dan berangkat sekolah kan?" Carol berkata dengan nada penuh kelembutan yang Boy inginkan sebagai anak sejak lama.     

"Iya bu, eh tante." Boy mengikuti kemana Jhonny melangkah. Sementara itu Gendhis hanya menyaksikan momen antara mommy dan daddynya pada Boy yang seperti sudah menganggap anak sendiri.     

"Mom, kasihan deh Boy itu. Tinggal seorang diri dirumah besar. Ibunya pacaran dengan lelaki lain, ayahnya dirumah sakit. Tega ya mom ibunya." Jawab Gendhis dengan suara lembutnya.     

"Hush, Gendhis tidak boleh begitu. Kita kan tidak tahu yang benar bagaimana. Sekarang Gendhis ke kamar dulu sama bibi, nanti mommy nyusul ya. Mmuahh, anak mommy paling cantik sedunia." Carol mengecup pipi kiri dan kanan anaknya tidak lupa ubun-ubunnya, begitu juga dengan Jack, ayahnya yang merupakan orang paling sabar dan paling menuruti semua kemauan Gendhis.     

"Sweet dream, sayang. Love you." Jack mencium pipi kiri dan kanan juga ubun-ubun Gendhis selallu seperti kebiasaan mereka setiap malam sebelum tidur dan pagi sebelum berpisah beraktivitas masing-masing.     

"Sayang, apa kata temenmu yang dokter itu? Yang memeriksa punggung anak lelaki itu?" Jack bertanya pada Carol yang duduk bersandar di sofa.     

"Kemungkinan dipukul dengan gagang sapu atau semacam tongkat. Harus ada visum baru ketahuan. Tapi itu harus seijin orangtua atau keluarganya." Jawab Carol.     

"Cckck, anak malang. Aku tidak keberatan dia tinggal disini tapi jangan sampai ada tuntutan dari orangtuanya nanti."     

"Iya, aku sudah urus itu." Jawab Carol dengan kedipan mata sebelah.     

"Terkadang aku merasa was-was punya istri yang pintar. Apakah aku harus kuliah S3 agar bisa lebih pintar darimu?" Jack mengerutkan bibirnya. Carol pun terkekeh mendengar suaminya yang suka humor namun selalu tampan dimatanya tanpa kehilangan wibawanya.     

"Hehehe, aku mau ke kamar lihat Nathan. Kamu mau ikut?" Carol berdiri dan mengibaskan roknya.     

"Cuma lihat Nathan? Bagaimana kalau membuat adik untuk Nathan?"     

"Awwww," Jack menarik tangan Carol sehingga ibu dua anak itu terjatuh kembali kedalam pelukannya.     

"Kamu jangan macam-macam. Aku belum 40 hari masa nifas."     

"Berapa hari lagi?" Jack menunjukkan ekspresi manja dan sedihnya.     

"Sekitar satu bulan lagi." Jawab Carol     

"APA?"     

-----     

Matahari belum keluar dari singgasananya. Adzan Subuh pun belum diperdengarkan dari ponselnya. Tapi, seorang ibu dari dua anak sudah membuka matanya perlahan untuk memulai aktivitas pagi. Sejenak dia keheranan karena seingatnya terakhir kali dia berada di kamar anaknya tapi sekarang sudah diatas tempat tidur.     

"Masih malam, kamu mau kemana?" Darren tiba-tiba merangkul perut Calista dan mencegahnya untuk beranjak dari kasur. Calista yang masih marah karena perkataan Darren tadi pagi di kantor, hanya terdiam tidak berkata apa-apa.     

"Kamu masih marah padaku? Maafkan kata-kataku kemarin. Aku diluar kontrol." Darren duduk dan merebahkan kepalanya ke bahu sang istri yang masih memunggunginya.     

Calista tetap tidak berkata apapun dan perempuan itu membuka selimutnya untuk beranjak pergi dari kasur.     

"Kamu mau kemana?" Darren menarik tangan Calista hingga perempuan itu terjerembab kembali keatas kasur.     

"Aku mau mandi." Jawab Calista singkat, dengan tidak menatap sepasang mata hijau yang mengurungnya dengan kedua tangannya.     

"Aku hari ini mau pergi perjalanan bisnis selama satu minggu. Aku tidak akan bisa merasakan kehadiranmu dari dekat lagi. Tidakkah kamu ingin memberikan aku sarapan pagi sejak kamu tidak memberikan aku makan malam?" Ucap Darren didepan wajah Calista. Napas Darren yang berhembus di wajahnya membuat Calista meremang kulit tubuhnya dan wanita itu pun semakin meringkuk menempel pada kasur.     

"Sudahlah, aku sudah melupakannya juga. Lepaskan aku!" Calista mendorong dada Darren dengan kedua tangannya tapi sang suami justru semakin mengeratkan pelukannya dan menyesap leher sang istri yang ditunggunya sejak semalam.     

"Aahhhh, Darren …." Calista tidak bisa memberontak karena tenaga Darren lebih kuat dan menekan. Kedua tangan Calista dicengkeram lembut di kanan dan kiri.     

Sang suami bermata hijau pun meminta haknya di pagi hari hingga satu jam kemudian. Bibir Calista yang berkata tidak namun tubuhnya mendamba lebih sering sentuhan sang suami. Apalagi dia akan berpisah sementara dengan suaminya selama satu minggu.     

"Maafkan aku. Kamu belum berkata ya." Darren memeluk Calista dan mendekap tubuhnya mendekat. Mereka tidur berpelukan dengan posisi saling menghadap satu sama lain.     

"Ya, lupakan saja. Aku tahu kamu tidak sengaja," Jawab Calista sambil menyandarkan kepalanya ke dada telanjang bidang sang suami. Pergumulan balas dendam karena kesalah pahaman kemarin berakhir kurang dari 24 jam. "Pesawat berangkat jam berapa?" Tanya Calista.     

"Jam 10. Kamu tidak perlu mengantar aku ke bandara. Aku titip anak-anak saja." Jawab Darren dengan suara setengah berbisik.     

"Hati-hati disana. Seingatku,kamu tidak pernah pergi dinas luar selama ini. Jangan telat makan dan istirahat. Setiap hari harus telepon dan video call aku dan anak-anak. Okay?" Titah Calista.     

"Iya iya sayang, aku senang kamu yang cerewet seperti ini daripada diam seperti kemarin. Jangan marah lagi yaa. Aku bingung kalau kamu marah." Jawab Darren.     

"Hehehe, iya iya. Sudah waktunya kamu mandi. Atau aku mandi duluan?" Calista bertanya sambil mengendorkan pelukan sang suami dan hendak beranjak turun dari kasur.     

"Bagaimana kalau kita mandi sama-sama?" Usul nakal dari Darren membuat Calista menggeleng cepat.     

"Bukan mandi nanti jadinya." Calista berlarian ke kamar mandi dengan menutupi tubuhnya menggunakan pakaian yang berserakan. Namun, Darren lebih cepat lagi sampai kamar mandi dan akhirnya benar-benar bukan mandi melainkan melanjutkan babak kedua badai yang diciptakan pria bermata hijau dengan semua rayuan mautnya.     

-----     

"Kamu sudah siap, Andrew?" Darren yang baru tiba di bandara, bertemu Andrew yang sudah sampai lebih dahulu.     

"Siap tuan!" Andrew berdiri tegak dan membusungkan dadanya. Kejadian yang akan mereka hadapi lebih besar dari kejadian sebelum-sebelumnya. Demo warga yang menyebabkan tertundanya pembangunan pabrik membuat dirinya sebagai seorang presdir harus turun tangan langsung.     

"Ada berapa orang kita disana? Semua sudah menempati pos masing-masing?" Darren meminta dokumen sebelum mereka masuk kedalam pesawat. Ruangan lounge khusus pengguna first class digunakan Darren sejenak untuk merapihkan kembali rencana yang akan mereka lakukan disana. Andrew dan dua orang yang salah satunya pengacara sengaja diikut sertakan agar bisa mengetahui secara langsung apa yang terjadi di lapangan.     

Darren yang ahli dalam hal negosiasi akan menggunakan skillnya yang sudah lama terpendam karena posisinya sebagai seorang presdir tidak perlu turun tangan langsung menghadapi masalah yang terjadi didalam perusahaanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.