Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

III 338. Pernah Mendengar



III 338. Pernah Mendengar

0Calista mengambil satu set pakaian wanita dan mematutnya didepan cermin seukuran full tubuh. Ukuran yang cocok dengannya tapi Calista tidak ingat apakah pernah memakainya. Calista menaruhnya kembali di hanger dan menutup lemari. Jari jemarinya menyentuh semua benda yang ada didalam kamar tersebut. Meja bulat dan hanya ada satu kursi kecil. Kasur empuk dengan ukuran lumayan cukup muat untuk dua orang.     
0

Calista tidak menyangka, ruangan kerja yang sudah luas, masih memiliki kamar tersembunyi didalamnya dengan interior yang sangat mewah dan lengkap dengan segala fasilitas kamar mandi didalamnya. Perempuan dengan rambut warna hitam itu menduga kalau pemilik kamar ini suka sekali bekerja sampai lupa waktu sehingga membutuhkan kamar seperti ini.     

Calista mencoba berbaring di atas kasur yang empuk ini. Namun, dia bangun kembali karena jam masih menunjukkan pukul 10 pagi. Masih terlalu pagi untuk tidur-tiduran. Calista kembali keluar kamar khusus tersebut. Namun, dia tidak menemukan Darren disana. Ruangan kerjanya sepi, mungkin Darren pergi dengan sekretarisnya atau dia sedang ke toilet. Tapi, toilet ada didalam kamar khusus. Calista memutuskan untuk tetap tinggal didalam ruangan kerja Darren dan duduk di kursi kerjanya.     

Ketika tiba-tiba datang masuk kedalam ruangan ini, seorang perempuan lumayan cantik dengan rambut di gerai dan pakaian yang sangat ketat meski tertutup sampai sebatas lutut. Perempuan itu terkejut melihat Calista, dan Calista pun mengernyitkan alisnya.     

"Calista …"     

"Kamu siapa?" Calista tidak ingat siapa perempuan yang mengenalnya ini. Perempuan itu malah melebarkan matanya heran. Calista tidak ingat siapa dirinya. Jangan-jangan dia juga tidak ingat dirinya sendiri.     

"Aku … Maura." Perempuan yang bernama Maura itu berjalan mendekati perempuan yang sedang duduk di kursi kebesaran milik pria yang sudah lama diincarnya namun tidak pernah memberikan sedikit pun perhatian padanya.     

"Maura?" Calista mencoba mengingat nama tersebut namun sia-sia, tidak ada yang bisa diingatnya sama sekali.     

"Kamu apa kabar? Aku menunggumu selama bertahun-tahun dan ternyata sekarang kamu ada dihadapanku." Maura tersenyum lembut namun penuh tipu muslihat dibelakangnya.     

"Aku baik-baik saja, kamu mencari Darren? Sepertinya dia sedang rapat. Aku juga menunggunya. Silahkan duduk, aku akan menemanimumu untuk sama-sama menunggunya." Ujar Calista dengan ramah, tanpa curiga sedikitpun.     

"Calista, kamu kemana saja? Kami semua merindukanmu. Kami semua kehilang kamu, terutama suami kamu. Banyak perempuan yang mengincar kedudukan nyonya Anderson sepeninggal kamu. Semua perempuan berharap untuk menjadi istri keduanya." Jawab Maura dengan lugas dan terang-terangan.     

"Apakah kamu juga salah satu yang berharap?" Entah darimana datangnya keberanian Calista bertanya seperti itu, karena perempuan didepannya ini menunjukkan gerak gerik kalau dia pun salah satu yang menyukai ayah dari anak-anaknya.     

"Kamu … kenapa kamu bisa bertanya seperti itu? Aku adalah teman kamu. Kita satu dosen bimbingan, kita teman satu kampus. Kamu pasti lupa karena kamu sedang hilang ingatan saat ini sepertinya." Ucap Maura.     

Calista merasakan kepalanya pusing dan semakin lama Maura berbicara, semakin Calista merasa pernah mendengarnya tapi entah dimana.     

"Kamu kenapa?" Maura memegang bahu Calista dan menekannya dengan penuh perasaan.     

"Aku tidak apa-apa." Calista melepaskan tekanan tangan Maura di bahunya.     

"Apa yang kamu lakukan disini? Kamu kenapa sayang?" Darren masuk tiba-tiba dan melihat wajah Calista yang pucat dan memegang kepalanya seperti pusing.     

"Aku tidak melakukan apapun padanya." Maura mengangkat kedua tangannya di depan dadanya. Darren menatap Maura dengan sorot mata geram dan penuh emosi. Setiap yang dekat dengan perempuan itu pasti berakhir dengan kekacauan.     

"Ayo ikut aku. Pelan-pelan jalannya. Maafkan aku, aku meninggalkanmu ke ruangan rapat sejenak." Darren menuntun Calista menuju kursinya kembali. "Dan kamu, aku sudah pernah melarangmu untuk datang ke tempat ini lagi. Sekarang, keluar dan jangan pernah kembali lagi!" Darren mengusir Maura dengan sorot mata tajamnya.     

"Cih! Aku kesini untuk menawarkan kerjasama." Jawab Maura dengan kedua tangan dilipat didepan dadanya.     

"Perusahaanku tidak butuh kerjasama darimu. Keluar atau aku harus panggil satpam untuk menyeretmu keluar?" Seolah kesabaran Darren sudah benar-benar habis untuk Maura. Namun, perempuan ini selalu datang dan datang lagi. Darren mendudukan istrinya diatas kursinya dan pria itu pun berjalan menuju Maura dan mencekal tangannya lalu menariknya keluar dari ruangannya dan menghempaskannya begitu saja.     

"Ivan, seret perempuan ini keluar dari gedung ini. Tidak peduli siapa ayahnya, suruh datang menghadapku kalau keberatan." Ucap Darren.     

"Siap tuan." Jawab Ivan yang juga baru kembali dari toilet jadi tidak melihat Maura datang.     

"TUNGGU! Darren, apa kamu masih tidak bisa membuka matamu? Aku lebih baik segala-galanya dari dia. Dia sudah kembali pun malah hilang ingatan, bukankah kamu harus menderita terus tanpa kesudahan?" Maura menatap Darren dan mendekatinya, berharap pria itu bisa merubah keputusannya.     

Darren menyeringai sinis lalu berkata, "Ivan, pinjam telponmu." Meskipun Ivan bingung maksudnya apa tapi ajudan setia itu tetap memberikan telpon genggamnya.     

"Halo, bapak pejabat, orang nomer satu di daerah ini …" Mendengar Darren menelpon seseorang yang sudah dipastikan adalah ayah dari Maura, perempuan seksi itu pun mencoba mendekati Darren untuk berhenti menelpon papinya. Dengan wajah memelas, Maura meminta Darren untuk memutuskan panggilan telpon untuk ayahnya.     

"Tuan pejabat, aku merasa anda terlalu memanjakan anak anda sehingga dia tidak tahu lagi batasan dan ranah yang harusnya tidak dia acak-acak." Darren berkata dengan sinis.     

"Ya ini aku, Darren Anderson. Anakmu membuat ulah lagi di kantorku. Aku rasa aku sudah pernah membuat surat peringatan sebelumnya namun tidak dia indahkan. Sayang sekali, aku harus menelpon polisi untuk menyerahkan kasus ini, dengan tuduhan mengganggu kehidupan orang lain dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan." Darren menyerahkan telpon yang dipakainya ke pemiliknya.     

"Bawa dia keluar dari gedung ini sejauh mungkin. Aku tidak mau melihat wajahnya lagi dalam jarak 1 kilometer." Darren masuk kembali kedalam ruangannya dan menemui Calista yang masih tampak pucat.     

"Darren, aku sepertinya pernah mengenali suaranya tapi entah dimana." Calista berkata dengan mata menerawang jauh mengembara mencoba mengingat-ingat sesuatu.     

"Sudah lupakan saja, kamu jangan terlalu banyak berpikir. Dia tidak pantas untuk kamu pikirkan." Ujar Darren. "Maafkan aku tadi meninggalkanmu tidak bilang-bilang. Apa kamu lapar? Kita mau makan siang bersama?" Darren bertanya.     

"Sekarang jadwal pulang sekolah anak-anak." Ucap Calista dengan lirih.     

"Ada Hera yang menjemput mereka." Ucap Darren dengan santai.     

"Kamu selalu mengandalkan orang lain untuk menemani anak-anak." Bibir Calista merengut kesal karena sekarang dia dan anak-anak malah jarang bersama. Justru dia harus selalu dekat dengan ayah si kembar.     

"Kita makan siang bersama mereka, bagaimana? Aku akan menyuruh supir yang menjemput Raja dan Ratu untuk langsung ke restoran yang kita akan datangi sekarang." Jawab Darren.     

"Benarkah?" Bola mata Calista memancarkan kegembiraan yang teramat sangat.     

"Tentu saja." Darren tersenyum senang karena istrinya juga senang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.