Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

III 295. Jejak Perkelahian



III 295. Jejak Perkelahian

0"Cepat tolong teman saya, dia terkena tembakan di perut." Calista berteriak histeris. Suster itu pun segera keluar dan berteriak memanggil siapa saja di luar, "Ada korban pembunuhan, cepat kemari!     
0

Sekejap kamar VVIP ini dipenuhi beberapa petugas paramedis yang memprioritaskan Ivan untuk diselamatkan, setelah itu mereka membawa Dave untuk diobati juga pria yang tersangka pembunuhan.     

"Panggil polisi, ini tersangka penembakannya. Jangan sampai dia lolos!" Calista berkata dengan suara lantang. Beberapa petugas pun mengangguk dan segera meringkus penjahat itu. Satu orang diantaranya diperintahkan untuk memanggil petugas keamanan rumah sakit dan polisi. Hanya dalam waktu lima belas menit, petugas kepolisian sesungguhnya datang dan membawa pelaku penembakan ke kantor kepolisian. Kondisi kamar pun sudah lebih baik dari sebelumnya. Ivan segera mendapatkan pertolongan dan dibawa ke ruangan operasi untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di perutnya.     

Darren yang mendapat telpon dari Calista, langsung melesat meninggalkan rapat penting dengn jajaran direktur di perusahaannya dan menunda untuk lain waktu. Setengah jam kemudian, pria bermata hijau itu datang dan memeluk sang istri yang sedang duduk dan masih gemetar ketakutan.     

"Darren, huhuhu …" Calista menangis tersedu di bahu bidang sang suami.     

"Sudah tenanglah, kamu tidak apa-apa?" Darren merenggangkan pelukan dan melihat tubuh sang istri untuk memastikan tidak ada luka apapun sama sekali.     

"Aku baik-baik saja. Beruntung tadi aku diselamatkan Dave sehingga kasur tidak menabrak perutku. Tapi Darren, Ivan … dia masih di ruangan operasi. Huhuhu …" Calista kembali menangis tersedu. Perempuan ini jarang menangis kalau tidak berada dalam situasi yang sangat pelik.     

Dave melihat jejak perkelahian masih nampak jelas didalam kamar tersebut.     

"Sudahlah, yang penting kamu baik-baik saja. Tentang Ivan, aku sudah meminta dokter terbaik untuk menyelamatkannya. Siapa orang itu? Kenapa berkali-kali ingin membunuh temanmu?" Darren tidak melihat kehadiran Dave.     

"Dave ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Aku disini menjaga Dian." Calista yang melihat Darren mencari-cari keberadaan suami temannya itu. Memberitahunya.     

"Oh begitu. Tampaknya temanmu masih belum selamat dari bahaya. Ada yang ingin tidak ingin melihat dia sadar dan ingin membunuhnya. Kalian harus punya pengawalan ekstra ketat." Ujar Darren.     

Darren mengambil ponselnya dan menelpon seseorang. Dari kalimat yang diucapkan, suaminya itu meminta beberapa pengawal untuk melindungi dirinya dan juga temannya. Calista memeluk sang suami dari samping dengan mendekap pinggangnya. Darren menatap istrinya dan mengusap-usap kepalanya sambil terus berbicara dengan seseorang di ujung telpon.     

"Sebentar lagi akan ada beberapa orang pengawalku yang aku minta untuk menjaga kamu dan temanmu. Kita tunggu disini sampai semuanya lengkap." Darren berkata.     

"Apa yang terjadi disini?" Tiba-tiba seornag dokter muda datang masuk ke dalam kamar Dian dirawat.     

"Anda dokter yang bertugas disini?" Darren dan Calista berdiri dan mata hijau bertanya pada dokter tersebut yang tidak lain adalah Carol.     

"Bukan, tapi aku semalam dan Jack yang menemani suaminya sampai masuk kedalam kamar ini." Jawab Carol. Perempuan berseragam jas putih itu pun segera menghampiri Dian yang masih terbaring dan memeriksa tubuhnya. "Untunglah dia tidak apa-apa." Setelah memastikan keadaan Dian baik-baik saja.     

"Jadi, kamu semalam dan Jack yang menemaninya?" Calista bertanya.     

"Betul sekali." Jawab Carol dengan tegas.     

"Apa kamu melihat keanehan semalam? Atau ada orang yang mencurigakan yang ingin mendekati temanku ini?" Calista menunjuk Dian.     

"Tidak ada, hanya saja … ada perempuan muda yang terus mendekati suami temanmu ini. Aku sudah mengusirnya dan sepertinya dia marah besar." Carol tersenyum sinis mengingat betapa murkanya perempuan penggoda suami orang itu.     

"Gladys. Dia lagi dia lagi. Saat kejadian Dian tertembak juga sedang satu kamar hotel dengannya. Tapi, dia hanya mengalami luka berdarah di bibirnya. Sepertinya mereka sempat bertengkar dan berkelahi sebelum terjadi penembakan." Ujar Calista dengan analisanya.     

"Ckckck, antara analisa dan imajinasi mu sulit dibedakan. Ada beberapa kasus yang terjadi pada ibu hamil dimana daya nalar dan naluri ibu hamil kembar semakin bertambah usia kandungannya maka semakin tajam nalurinya. Sepertinya aku menyaksikan sendiri sekarang." Ujar Carol penuh kekaguman.     

"Jadi, kamu percaya padaku kan?" Bola mata Calista berbinar-binar, senang mengetahui ada yang percaya ucapannnya. Calista menyeringai sinis pada Darren yang selalu menyangsikan ucapannya.     

"Aku memang ragu awalnya tapi kan aku menuruti apa katamu juga?" Darren mengedipkan satu mata pada istrinya yang merengut. Carol tersenyum melihat keromantisan sepasang calon orangtua ini.     

Calista berjalan mendekati Dian. "Tadi aku lihat tangannya bergerak, sebelum aku memanggil perawat dan setelah itu dokter gadungan datang. Sekarang apakah temanku benar-benar sudah sadar?" Calista bertanya pada Carol. Carol mengecek lagi kondisi Dian dan memberikan beberapa rangsangan agar Dian bisa merespon jarinya. Setelah beberapa kali dilakukan, Dian benar-benar merespon sentuhan Carol. Dokter muda itu segera menekan tombol merah untuk memanggil perawat diluar.     

Tidak berapa lama, seorang perawat datang. "Tolong panggilkan dokter yang menangani kasus pasien." Ujar Carol pada perawat itu.     

"Baik dok." Perawat itu keluar lagi untuk memanggil dokter yang berwenang. Carol hanyalah dokter yang sekedar periksa biasa. Yang lebih fokus adalah dokter spesialis bedahnya. Tidak berapa lama dokternya datang. Carol dan dokter spesialis itu terlibat obrolan medis yang istilahnya hanya mereka berdua yang tahu.     

Setelah beberapa saat, dokter itu pun keluar kamar. Carol memberitahu hasil obrolan mereka.     

"Syukurlah pasien baik-baik saja. Tinggal masa pemulihan saja." Carol berkata.     

"Ohh syukurlah." Calista tidak melihat dimana keberadaan suaminya. Mungkin ke kamar mandi atau keluar kamar.     

"Wah, syukurlah dia masih hidup. Banyak juga ya yang ingin menyingkirkan dia." Gladys tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Carol dan Calista yang melihatnya langsung memasang muka tidak suka.     

"Kalian kenapa? Aku kesini ingin menjenguk orang yang hampir membunuhku. Masih bagus aku memaafkan dia. Rasa cemburunya pada suaminya terlalu besar sehingga dia tidak bisa berpikiran jernih." Jawab Gladys.     

"Memaafkan? Aku sangsi kalau seharusnya yang memaafkan adalah temanku, bukan rubah macam dirimu." Jawab balik Calista dengan seringai sinis.     

"Hei, kamu sedang hamil. Hati-hati kalau bicara. Nanti ketulah ke anakmu, baru tahu rasa." Jawab Gladys, tidak kalah sengit.     

"Cih! Aku merasa sebenarnya kamu lah yang mengundang temanku ke kamar hotel dan kamu yang menyiksa dia sebelum dia tertembak. Lihat saja, kalau aku sampai mengetahui kejadian sesungguhnya, akan aku berikan sepuluh kali lipat yang kamu berikan ke temanku. Walau aku dalam kondisi hamil besar, aku masih bisa membuatmu cacat untuk selamanya. Catat itu!" Ujar Calista dengan emosi tertahan. Gladys menatap tajam perempuan hamil yang berkata tepat di wajahnya dengan jarak kurang dari satu meter itu.     

"Huh, kalau tidak tahu kejadiannya, jangan coba-coba berspekulasi sendiri. Karena aku bisa melaporkan kamu dengan tuduhan pencemaran nama baik." Gladys mengancam Calista balik.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.