Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

III 283. Tidak Ada Yang Mutlak



III 283. Tidak Ada Yang Mutlak

0"Sayang, sebaiknya untuk baby twins kita, warna yang tepat adalah biru dan pink. Biru untuk si tampan dan pink untuk si cantik." Darren dan Calista sedang menikmati waktu berbelanja mereka setelah pulang dari kontrol mengetahui bahwa calon anak mereka adalah kembar lelaki dan perempuan.     
0

"Kenapa selalu berpatokan kalau lelaki harus dan perempuan harus pink? Aku perempuan tidak begitu suka warna pink dan kamu juga tidak suka warna biru." Calista merengutkan bibirnya sambil terus berjalan dari satu toko ke toko lain karena belum menemukan yang pas di hati untuk ke dua baby kembarnya. Dengan perut yang mulai membuncit di usia kandungan ke 5 bulan, Calista tampak lebih bulat dibagian perut dan lebih besar dari kebanyakan wanita hamil lainnya.     

"Tidak mutlak sih sayang, tapi biasanya juga begitu. Kalau kamu tidak mau ya tidak apa-apa." Jawab pria dengan mata hijau sambil tetap menggandeng erat pinggang sang istri yang mulai tampak semakin seksi dimatanya.     

"Aku lelah, duduk dulu yaa." Calista menemukan tempat duduk di pinggir sebuah butik dan Darren pun membantunya duduk dengan hati-hati. Calista memijat betisnya yang kelelahan semampu dia untuk menunduk. Karena perut besarnya sudah tidak memungkinkan lagi baginya untuk menunduk lebih turun. Darren tanpa sungkan berlutut di bawah dan memijat betis sang istri.     

"Darren, apa yang kamu lakukan. Bangunlah! Aku malu banyak yang melihat kemari." Calista merasakan belasan pasang mata menatapnya tajam begitu melihat Darren menekuk lututnya tanpa malu memijat betis dan kaki sang istri yang mulai tampak membengkak. Ivan berdiri tidak jauh dari tempat nyonya dan tuan majikannya yang sedang mempertontonkan kemesraan mereka sebagai sepasang suami istri.     

"Kenapa harus malu? Kamu istriku dan aku suamimu. Kalau ada yang harus malu adalah mereka yang melihat kita. Tenanglah, aku hanya peduli dengan dirimu, bukan dengan pandangan mereka." Ujar Darren. Calista menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban suaminya yang memang tidak pernah peduli dengan pendapat orang lain. Perempuan hamil tidak bisa berkutik lagi kalau suaminya sudah punya pendapat sendiri.     

"Heii, kamu lagi. Sedang apa kamu disini?" Calista dan Darren spontan melihat ke arah datangnya suara. Ternyata itu adalah suara perempuan tomboy yang sedang bertanya kepada Ivan yang langsung menundukkan kepalanya.     

"Diana." Calista memanggil perempuan yang sedang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk.     

"Kak Calista. Oh maaf, ada suami kakak juga. Salam kenal." Diana cengar-cengir melihat kakak kelas dua tahun diatasnya itu dan suaminya ternyata berada disana juga. Calista balik tersenyum ramah, namun beda dengan Darren yang diam menggangguk.     

"Kamu sedang apa disini?" Calista bertanya lagi melihat adik kelasnya itu memakai pakaian seragam karyawan.     

"Aku … kerja disini, kak." Diana menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.     

"Wah, hebat sekali kuliah sambil bekerja." Jawab calista sambil mengacungkan dua jempol keatas.     

"Biasa saja kak. Kalau tidak kerja sambilan, darimana aku bisa bayar kuliah. Hehehe …" Diana meringis malu.     

"Kamu benar, kita harus tetap berusaha dengan tenaga kita sendiri. Kamu tahu tidak? Saat masuk kuliah sampai tahun ke 4 aku sambilan bekerja sebagai office girl, hahaha …" Dengan bangganya Calista menceritakan pengalaman sebelum menikah.     

"Benarkah? Wah, hebat sekali. Pasti capek sekali ya kak jadi office girl?" Diana bertanya.     

"Tidak ada yang capek kalau kita menikmatinya. Aku terpaksa melakukannya kalau tidak aku tidak bisa membiayai kuliah dan hidupku selama merantau di Jakarta.     

"Benar juga ya kak. Aku semakin semangat dan senang melakukannya." Jawab Diana dengan mata berbinar-binar.     

"Oya, pria disana itu … apakah pengawal kak Calista?" Diana bertanya sambil berbisik-bisik. Darren mengetahui perempuan tomboy itu memonopoli istrinya, pria bermata hijau itu pun menyingkir perlahan dan memberikan ruang duduk untuk Diana, teman istrinya.     

"Iya betul, dia pengawalku. Namanya Ivan." Jawab Calista. Diana pun mengangguk-angguk sambil tersenyum cerah.     

"Kenapa? Apa kamu suka dia?" Calista mencuri-curi pandang ke Diana sambil tersenyum curiga.     

"Oh bu-bukan begitu. Aku hanya merasa kalau dia pria yang sopan dan santun." Jawab Diana sambil cengar cengir.     

"Ivan, kemarilah." Calista tiba-tiba memanggil ajudan setianya yang melihat mereka berdua dari tadi.     

"Kak, apaan sih? Kakak jangan aneh-aneh deh." Diana tampak salah tingkah dan panik mengetahui Calista memanggil pria yang terngiang-ngiang di pikirannya saat pertama kali bertemu di kampus waktu itu.     

"Siap nyonya, ada yang bisa saya bantu?" Ivan mendekati Calista dengan ekpsresi datar, tapi beda dengan Diana yang memerah wajahnya.     

"Ada yang ingin berkenalan denganmu, hihihi …" Diana melebarkan matanya mendengar kakak kelasnya malah membuka jalan untuknya.     

"Oh, siapa yang mau berkenalan dengan pengawal rendahan ini, nyonya? Mungkin matanya kurang awas atau pikirannya ditutupi oleh keinginan semu sehingga ada yang ingin berkenalan dengan aku." Jawab Ivan langsung pada intinya. Ucapannya membuat perempuan yang memotong rambutnya pendek itu, serta merta menatap tajam ke Ivan dan berkata, "Memangnya aku salah kalau mengajak berkenalan? Maaf yaa mataku masih jernih dan belum pakai kaca mata jadi tidak mungkin mataku tidak awas. Kalau kamu tidak mau berkenalan denganku, tidak perlu melecehkan aku. Aku juga tidak mau berkenalan dengan pria yang tidak punya harga diri dengan berkata macam-macam. Huh!" Diana meninggalkan tempatnya dengan wajah kesal dan marah luar biasa. Calista dan Ivan melongo melihatnya. Sementara Darren hanya diam melihat apa yang terjadi.     

"Kamu benar-benar keterlaluan, Ivan. Dia hanya ingin berkenalan baik-baik denganmu, apa perlu jawabanmu seperti itu? Cih!" Calista menggeleng-gelengkan kepalanya. Darren menepuk bahu ajudan istrinya tersebut sambil berkata, "Bersabarlah, sering-seringlah mengalah kalau bicara dengan wanita." Darren tersenyum tipis dan meninggalkan ajudannya yang masih diam tidak mengatakan apa-apa tersebut.     

"KAMU MASIH MAU KERJA TIDAK?" Darren memanggil Ivan yang masih berdiri melamun di tempatnya semula yang sudah jauh ketinggalan dibelakang majikannya.     

"Oh siap-siap tuan!" Ivan berlari mengejak dua majikannya yang sudah jauh didepan. Sambil meelwati butik tempat dimana Diana bekerja, Ivan sempat melirik kedalam dan melihat Diana yang menatapnya judes dan memalingkan wajahnya dengan sinis. Ivan menghela napasnya lelah. Lelah melihat perempuan yang membencinya padahal kenal pun tidak.     

Akhirnya, Darren dan Calista berhasil membeli sepasang kaus kaki bayi dengan warna putih dan semua pakaiannya berwarna putih. Tidak ada pink, biru, ataupun hitam seperti warna kesukaan daddy si kembar.     

"Siapa tadi, nona?" Seorang perempuan menghampiri perempuan rambut pendek yang sedang berdiri dengan wajah judes dan kesal.     

"Ssst, kalau disini jangan panggil aku nona. Bisa ditebas aku sama papi." Jawab perempuan itu.     

"Oh maaf nona, saya juga tidak berani memanggil nama saja." Jawab perempuan itu.     

"Panggil saja aku, Diana kalau disini." Jawab perempuan dengan rambut pendek tersebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.