Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

III 280. Target Didepan Mata



III 280. Target Didepan Mata

0"Maura?" Betapa terkejutnya Calista melihat temannya itu tahu-tahu sudah ada di depan pintunya, saat perempuan hamil itu akan memulai aktivitas jalan paginya.     
0

"Calista, kamu mau kemana?" Maura melihat Calista berpakaian olahraga lengkap dengan jam timer di pergelangan tangannya dan handuk kecil tidak ketinggalan.     

"Aku mau jalan pagi. Kamu pagi-pagi kesini ada apa? Apa ada hal penting?" Calista tidak merasa ada janji untuk bertemu dengannya dan apa itu? Maura membawa sebuah koper besar di tangan kanannya.     

"Calista, aku ... boleh menginap dirumahmu? Aku ... diusir ibu kosku karena uang kos nya kupakai untuk membiayai skripsiku." Maura menampakkan wajah sedihnya. Tidak mungkin Maura sebegitu sengsaranya. Dia adalah anak orang kaya dan uang kos bukanlah hal yang sulit. Kalau dia mau, bahkan dia bisa membeli kosan itu langsung.     

"Tapi Maura, aku ..." Calista sungguh tidak ingin menampung Maura, anak orang kaya yang punya maksud tersembunyi itu untuk menginap dirumahnya. Tapi, dia tidak punya alasan bagus untuk menolaknya.     

"Ada apa sayang?" Suara Darren dari dalam membuyarkan lamunan Calista yang sedang mencari alasan untuk menolak anak orang kaya yang berpura-pura miskin ini.     

"Oh ini temanku, kamu masih ingatkan? Teman satu dosen pembimbing." Jawab Calista dengan lembut, sambil meraih pinggang sang suami dengan mesra.     

Maura bukannya tidak melihat adegan romantis tersebut tapi dia pura-pura dengan melihat sisi lain.     

"Kamu bukannya anak pengusaha terkenal itu? Ayahmu adalah rekanan bisnisku. Kenapa tidak pulang kerumah orangtuamu saja? Maaf, disini bukan tempat penampungan." Calista melotot lebar mendengar kalimat yang diucapkan Darren. Ingin rasanya perempuan hamil ini meloncat dan mencium suaminya itu karena paham jelas apa yang diinginkannya.     

Maura yang mendengarnya, menahan geram di dadanya dengan wajah memerah menahan malu.     

"Darren, kamu ngomong apa sih?" Calista berkata sambil nyengir geli.     

"Baiklah, maafkan aku. Aku akan pulang sekarang. Calista, terima kasih atas pengertianmu. Permisi." Calista dan Darren saling memandang satu sama lain dengan senyuman terbit di wajah masing-masing.     

"Kata-katamu jahat sekali." Calista mencubit pinggang sang suami dan dibalas dengan pria bermata hijau mengaduh kesakitan.     

"Aku tahu dia dari dulu. Dia suka sekali mencari perhatian orang-orang disekitarnya dengan bertingkah aneh-aneh. Dia keluar dari rumah hanya karena berselisih paham dengan ibunya." Jawab Darren panjang lebar.     

"Oh, kamu kenal dia banget sepertinya." Ucap Calista.     

"Kebetulan saja. Sudahlah, ayo kita jalan pagi. Mulai hari ini aku akan menemanimu olahraga jalan kaki minimal 1 jam setiap paginya.     

Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi. Waktu yang tepat untuk berolahraga karena matahari belum menunjukkan eksistensinya. Darren dan Calista berjalan keliling komplek saja yang penting kualitas jalan kakinya.     

"Kapan kamu kontrol lagi, sayang?" Darren berkata sambil menggandeng tangan sang istri.     

"Minggu depan. Kamu mau menemaniku?" Calista bertanya balik.     

"Tentu saja. Ini kontrol kelima, bukan?" Tanya Darren.     

"Iya, betul sekali. Kita bisa tahu jenis kelamin baby twins nanti." Jawab Calista sambil tersenyum cerah.     

"Bagus, jadi aku bisa memastikan namanya nanti." Jawab Darren mantab.     

"Darren, aku tahu siapa yang melakukan percobaan pembunuhan padaku untuk yang kedua kalinya." Calista tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat Darren terdiam.     

"Tapi, dia adalah suami temanku. Aku tidak tega memenjarakannya. Temanku sedang hamil."     

"Terserah kamu bagaimana memperlakukannya. Ini semua berhubungan dengan masa lalu orang itu dengan papah Donni."     

"Iya aku tahu. Anak pun menanggung apa yang pernah dilakukan orangtua. Tapi aku juga tidak tahu siapa yang benar dan salah."     

"Biar bagaimanapun, yang salah tetaplah salah. Dia akan terus melakukannya sampai keinginannya terpenuhi. Dan, kamu adalah target utamanya." Darren berkata.     

"Awalnya aku ingin membicarakannya dengan Dian. Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, biarlah dia tahu sendiri nanti. Aku lihat suaminya sangat menyayangi temanku itu. Dan, temanku pun mulai menyayangi suaminya. Semoga orang itu sadar dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Karena kalau sampai terulang lagi, aku tidak akan segan-segan untuk memperkarakannya ke pengadilan." Ucap Calista.     

Sementara di tempat lain, seorang mata-mata sedang mengawasi sepasang suami istri yang sedang berolahraga jalan kaki, dari dalam mobil.     

"Target sudah didepan mata bos. Saya akan bertindak sekarang. Baik bos." Pria itu mencopot earphone yang terdapat di telinganya.     

Pria itu mulai menekan pedal gas dilingkungan komplek yang sepi di pagi hari tanpa ada warga lain saat ini, selain mereka berdua. Dalam hitungan detik, pria didalam mobil mulai menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi.     

Darren dan Calista yang mendengar dari depan suara memekakkan telinga dibelakang, mereka segera bergerak cepat menghindar ke pinggir jalanan. Dengan kedua tangannya, Darren mengangkat Calista yang kebetulan sedang berada di sisi luar jalan secepat kilat. Mobil itupun menabrak tempat sampah di pinggir jalan dan melarikan diri dengan mengebut kembali.     

Beruntung mereka selamat dari serangan pembunuhan lagi. Darren melihat belakang mobil yang ternyata tidak terpasang plat. Benar-benar mobil yang merencanakan pembunuhan.     

"Kamu tidak apa-apa, sayang?" Darren melihat sang istri dan memeriksa apa-apa berharap tidak ada yang terluka.     

"Aku tidak apa-apa. Kamu juga tidak apa-apa kan?" Calista yang berhasil terhindar dari ancaman bahaya selanjutnya, menghela napas dan melihat kearah mobil itu pergi."     

"Kurang ajar! Jangan sampai aku tahu siapa orangnya. Akan ku buat hidup segan mati tak mau." Jawab Darren sambil mengeratkan gigi.     

"Aku tidak yakin itu suami temanku. Pasti orang lain." Jawab Calista.     

"Maksudmu?"     

"Entahlah, feeling ku mengatakan kalau bukan suami Dian pelakunya atau yang menyuruhnya." Jawab Calista masih dengan napas tersengal-sengal.     

Darren memutuskan untuk menyudahi sesi olahraga jalan kaki ini lalu berjalan pulang untuk kembali kerumahnya.     

"Kamu naik duluan ke kamar. Aku harus ke ruang baca sebentar."     

"Baiklah." Calista menurut dan menaiki tangga perlahan menuju ke kamarnya.     

Sesampainya perempuan hamil didalam kamarnya, Calista membuat panggilan ke Dian, temannya.     

"Calista, apa kabar?" Dengan suara cerah dan energik, Dian menjawab telpon Calista, temannya.     

"Dian, kamu masih di Bali kah?"     

"Iya, besok baru pulang. Ada apa? Kamu sudah kangen sama aku ya?" Tanya Dian.     

"Tidak apa-apa. Kalau kamu sudah kembali, segera kabari aku dan kita bertemu lagi ya." Ujar Calista dengan wajah dipaksakan tersenyum.     

"Okay. Sekalian aku akan kasih oleh-oleh nanti."     

"Tidak usah repot-repot. Ya sudah aku tutup dulu ya." Ujar Calista.     

"Okay, makasih yaa masih ingat aku."     

"Hahaha, aku tidak mungkin lupa temanku yang sangat pemalu dan chubby ini kini menjadi sangat cantik dan cerdik banyak akal." Jawab Calista dengan senyum tertahan.     

Sementara di tempat lain, pria bermata hijau sedang menelpon seseorang.     

"Ya saya sendiri pak."     

"Pak, tolong dicek rekaman CCTV yang terjadi di jalan tikungan dekat taman sekitar setengah jam yang lalu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.