Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

III 265. Pasir Putih



III 265. Pasir Putih

0"Seingatmu?"     
0

"Iya, seingatku. Dulu aku pernah kecelakaan mobil dan koma selama beberapa hari. Nah saat itu aku tidak ingat apa yang terjadi saat aku koma." Sahutnya.     

"Koma? Kamu pernah koma?" Carol memalingkan wajahnya ke Jack dan mengerutkan kening.     

"Ya beberapa bulan yang lalu. Aku balapan liar dan membanting mobilku ke pembatas jalan untuk menghindari pengguna jalan yang lewat tiba-tiba. Tapi, syukurlah, nyawaku masih bisa tertolong." Jawabnya lagi.     

Carol tidak tahu harus percaya atau tidak. Tapi, kali ini dia tidak mau menganggap serius lagi semua perhatian Jack. Dia ingin menganggap Jack hanyalah teman biasa saja yang tidak perlu dianggap penting.     

"Kembalikan aku ke rumah sakit. Sebentar lagi aku sudah harus masuk kerja." Carol berkata.     

"Okay, nanti pulang aku jemput ya," Jack membuat sebuah permintaan.     

"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri. Jangan terlalu memanjakanku antar jemput dan mengantarkan makanan. Aku tidak mau jadi kebiasaan dan lama-lama akan merasa kehilangan kalau ternyata itu semua hanya semu belaka." Jawab Carol. Jack kini yang diam tidak bisa berkata apa-apa.     

-----     

"Bu Hera, kemarilah. Aku ingin mengobrol sama ibu hari ini sebelum besok mulai cuti." Calista memanggil kepala pelayan yang setia tersebut untuk duduk di dekatnya.     

"Ada yang bisa saya bantu, nyonya?" Hera mendekat dan duduk di sofa single yang ada dihadapan Calista.     

"Tidak ada, aku hanya ingin mengobrol saja. Mulai besok sampai dua bulan kedepan aku tidak punya teman untuk mengobrol. Ibu tidak ada, Likha tidak ada, temanku bulan madu, mamah bulan madu, aku dirumah sendirian, huaaaaa …" Calista baru menyadari betapa orang-orang terdekatnya semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Perempuan hamil itu menyandarkan tubuhnya di sofa dan berpura-pura menangis dengan merebahkan lehernya kesandarann sofa dan mendongak keatas.     

"Banyak pelayan disini yang bisa nyonya panggil dan jadikan teman sementara." Jawab Hera. Andaikan saja bayi yang dikandungnya hidup, pasti dia seumuran dengan suami perempuan hamil didepannya ini.     

"Tidak sama bu. Tapi ya sudahlah, mau bagaimana lagi? hump!" Calista kembali menyadarkan dirinya dengan menarik kembali lehernya sehingga menatap lurus didepan.     

"Kalau boleh tahu, kenapa ibu mengambil cuti sampai dua bulan? Itu lama sekali. Apa ibu mau keluar negeri?" Calista hanya menebak asal saja tapi ekspresi yang ditampilkan Hera benar-benar seperti tebakan Calista tepat. "Apa itu benar?" Tanya Calista lagi.     

"Benar nyonya.Saya ingin mengunjungi salah satu kerabat saya disana yang sedang sakit. Dia tidak punya saudara disana, kecuali saya." Jawab Hera masih tetap merunduk.     

"Oh jadi tebakanku benar ya?" Jawab perempuan hamil itu. Hera terbelalak kaget karena ternyata majikannya hanya menebak saja dan Hera berhasil mengatakan yang sebenarnya.     

"Maafkan saya nyonya, setelah urusan saya selesai, saya akan segera kembali kesini." Ujar Hera.     

"Tidak apa-apa, ibu urus saja dulu urusannya sampai selesai. Lagipula, ibu pasti sudah lama tidak mengambil cuti." Calista berkata sambil tersenyum.     

"Terima kasih nyonya." Jawab Hera.     

"Oya bu, mengenai renovasi halaman belakang, mungkin aku menundanya terlebih dahulu untuk saat ini. Tapi aku ingin membuat tempat tersebut tidak berkesan angker kalau malam. Aku akan menyuruh orang untuk memasang beberapa penerangan agar lebih hidup." Calista mengatakan rencananya sambil tetap melihat ekspresi Hera. Mendengar hal tersebut, tampak wajah Hera lebih cerah dan senyumnya lebih ikhlas.     

"Sepulang aku nanti, aku akan membantu nyonya membuat halaman belakang lebih indah dari teras samping." Jawab Hera.     

"Kalau begitu, cepat pulang yaa."     

"Siap nyonya." Jawab Hera mantap.     

Calista melihat waktu di arlojinya sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Perempuan hamil itu pun bangun dari duduknya dan menuju teras samping untuk mulai melakukan peregangan sederhana. Hera yang tahu apa yang akan dilakukan majikannya, berjalan dibelakang mengikutinya.     

-----     

"Kamu mau berenang?" Dave menatap sang istri yang tampak takjub dengan pesona indahnya suasana pantai yang luas dengan pasir putihnya membentang dari ujung satu ke ujung lainnya.     

"Ha? Oh tidak tidak. Aku akan menunggu di pinggir saja sambil duduk." Dian menunjuk tempat duduk di pinggir pantai dengan payung diatasnya melindungi orang yang duduk dibawahnya dari sengatan matahari.     

"Kita jalan-jalan dulu sepanjang pantai ini ya." Dave menarik tangan Dian dengan lembut dan penuh kehati-hatian. Pria yang menguncir tengah rambutnya itu sangat berhati-hati menjaga sang istri layaknya porselen yang mudah pecah sejak istrinya itu dinyatakan hamil untuk kedua kalinya. Dian mengangguk setuju.     

Pantai kuta yang mereka tuju ini dekat dengan villa tempat mereka menginap. Namun, Dave memilih mengendarai mobilnya menuju Kuta karena ada banyak tempat lain yang akan mereka kunjungi setelah dari tempat ini. Pasir putih, turis-turis local dan mancanegara merupakan pemandangan yang biasa terjadi disini. Banyak yang sekedar main air dengan ombak yang bergulung-gulung tapi kalau pagi dan sore hari, akan lebih banyak ditemukan orang yang berolahraga lari menyusuri pinggir pantai dengan headset di telinga mereka dan kacamata yang menutupi silaunya matahari.     

"Kamu sudah berapa kali ke Bali?" Dian bertanya. Mereka melepas sandal masing-masing dan memegang sandal pada satu tangan mereka. Dave memeluk pinggang Dian erat-erat karena beberapa kali Dian hampir jatuh tersandung batu yang tersembunyi di pasir. Pasir putih yang lembut dan sedikit lembab karena terkena ombak yang mencium bibir pantai, terlalu sayang untuk dinikmati dengan memakai alas kaki.     

"Tidak terhitung. Dulu aku dan keluargaku selalu mengagendakan Bali kalau ada acara liburan keluarga. Dulu kami juga punya villa khusus disini jadi setiap kesini tidak perlu repot lagi booking." Jawab Dave.     

"Wah, senang sekali. Masa kecilmu sudah sangat bahagia dengan semua fasilitas mewah yang kamu miliki." Jawab Dian dengan seyum berseri-seri.     

"Tapi itu dulu, sekarang aku adalah orang yang harus bekerja keras untuk bisa menikmati semua fasilitas premium." Jawab Dave.     

Dian berhenti sejenak sehingga membuat Dave ikut berhenti menatap istrinya.     

"Lupakanlah dendam. Sampai kapanpun dendam tidak akan berkesudahan. Didalam rahimku sedang tumbuh anak kita. Aku tidak mau karena dendam, aku akan kehilangan suami dan anak kita akan kehilangan daddynya. Lupakanlah hal yang membuat kita sakit hati dan kita rintis masa depan bersama untuk kehidupan lebih baik lagi."     

Dave memeluk erat tubuh sang istri. Ada gelenyar hangat merasuki tubuhnya yang semakin ingin memeluk sang istri lebih lama. Entah kebaikan apa yang pernah dilakukan sebelumnya sehingga dia bisa mendapatkan istri sebaik Dian.     

"Maaf mengganggu, apa ini tuan Dave?" Seorang bapa tua datang dan membuat Dave melepaskan pelukannya. Dengan logat kental Bali nya, bapak tua itu tersenyum cerah mengetahui bahwa dia tidak salah mengenali orang.     

"Iya, maaf anda siapa?" Tanya Dave. Dian pun tersenyum kepada bapak tua yang ramah tersebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.