Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 218. Dihantam Batu Besar



II 218. Dihantam Batu Besar

0"Iya betul, kamu hanya butuh istirahat saja. Jangan lupa obatnya diminum dengan teratur setelah makan. Kurangi merokok biar lekas sehat." Likha bisa mencium aroma keras nikotin di dalam ruangan lelaki ini. Kondisi masih sakit tapi masih menyempatkan diri untuk menghirup benda beracun yang mematikan perlahan itu.     
0

Wandi diam tidak menjawab. Hera menatap tajam mata keponakannya yang masih saja membandel merokok meskipun dalam kondisi sakit.     

"Sepertinya semua sudah ditangani dengan baik, bu. Sudah malam waktunya istirahat untuk yang sakit. Kalau tidak ada lagi, saya permisi kembali ke kamar." Ujar Likha pada bu Hera yang mengangguk setuju.     

"Wandi, kamu harus lekas sembuh. Besok kalau bisa kamu sudah kembali bekerja. Ingat, kamu bisa bekerja karena belas kasihan tuan Darren dan nyonya Calista. Kalau tidak, entah kamu akan bekerja dimana." Ujar Hera dengan mata melebar.     

"Iya bi, besok aku pasti langsung bekerja kalau sudah sembuh. Oya, siapa namamu? Kamu pasti orang baru ya disini?" Wandi bertanya pada Likha yang hampir saja mencapai pintu kamar untuk keluar.     

"Nama saya Likha. Sepertinya bu Hera sudah memperkenalkan saya tadi. Kalau begitu saya permisi dulu." Likha tersenyum tipis dan Hera pun menyusul perempuan berjilbab itu dibelakangnya. Wandi yang masih berada diatas kasur dengan kaki diluruskan dan tubuh bersandar pada kepala kasur, senyum-senyum sendiri mengingat senyuman perempuan berjilbab yang hanya formalitas itu.     

"Terima kasih ya Likha, sudah mau menengok keponakan saya. Cuma dia satu-satunya keluarga saya yang masih tersisa sampai sekarang. Jadi, meskipun dia agak bandel, saya masih harus tetap bertanggung jawab padanya." Ujar Hera dengan malu-malu.     

"Iya bu, saya mengerti. Saya juga hanya punya kakak saya satu-satunya keluarga di dunia ini. Tapi, sayangnya … saya tidak bisa setiap hari melihatnya, tidak seperti ibu yang bisa melihat keponakan ibu setiap hari." Seketika Likha murung dan mengatupkan bibirnya sambil menghela napas.     

"Memangnya kakak Likha dimana?" Wanita paruh baya yang telah lama mengabdi pada keluarga Anderson itu, penasaran karena perempuan dihadapannya ini termasuk perempuan yang irit bicara. Mereka hampir tidak pernah bercakap-cakap dari pagi sampai sore. Kalau malam tiba seperti saat ini, maka inilah waktu berkualitas untuk mereka saling mengenal satu sama lain.     

"Kakak aku tinggal di Bali. Dia bekerja disana sebagai manager sebuah kelab malam paling terkenal di Seminyak. Kami hampir tidak pernah bertemu bahkan seminggu sekali pun belum tentu. Tapi, doaku selalu menyertainya dimanapun kapanpun." Likha menunduk lesu mengingat kerinduannya pada sosok kakak yang terakhir ditemuinya adalah pada saat ijab Kabul.     

"Tapi kamu masih bisa menelponnya kan? Beritahukan kondisimu padanya. Jangan biarkan hati orang yang mencintai kita khawatir dan tidak bisa tidur nyenyak tidak bisa makan tak enak." Ucap Hera. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Likha membenarkan itu. Bibirnya menyunggingkan senyuman senang. Senang karena ada orang yang mau mengingatkannya disaat khilaf. Likha berjanji akan menelpon kakaknya malam ini juga untuk sekedar memberi kabar kalau dia baik-baik saja.     

"Baik bu, aku akan menelpon kakakku setelah aku sampai kamar. Terima kasih atas nasehatnya. Selamat beristirahat bu Hera." Ucap Likha dengan senyum termanisnya.     

"Aku yang berterima kasih padamu karena telah memastikan kalau keponakanku baik-baik saja." Ujar Hera menjawab kalimat yang diucapkan Likha. "Kalau begitu aku kembali ke kamar. Selamat malam Likha." Ujar Hera sebelum berpisah di lantai satu.     

"Selamat malam bu Hera." Kamar Likha yang berada di lantai satu dibawah tangga merupakan kamar yang khusus disediakan untuknya jadi sewaktu-waktu lebih cepat dipanggil.     

-----     

"Sayang …" Darren menyibak helaian rambut yang terjatuh di pipi sang istri. Posisi tidur Calista yang masih miring memudahkan Darren untuk memeluknya saat tidur.     

"Hmm …" Jawab Calista, sambil menatap pria tampan dihadapannya dengan bulu-bulu halus sepanjang rahang. Mata hijau Darren adalah yang paling Calista sukai dari diri pria itu karena sangat menentramkan dan membuat nyaman.     

"Kapan kamu akan kontrol lagi ke dokter?" Tanya Darren sambil mengusap-usap lengan mulus Calista yang memakai piyama tidur tanpa lengan. Calista mulai merasa menyesal tidak memakai piyama lengan panjang.     

"Sekitar dua minggu lagi." Ujarnya. "Kenapa? Apakah kamu sudah kangen dengan baby twins?" Tanya lagi Calista.     

"Ya begitulah. Aku sering membayangkan kalau baby twins lahir, rumah ini pasti ramai dengan suara tangisan dan teriakan mereka. Hehehe. Ahhh aku lupa, kita belum mencari nama untuk baby twins." Darren tiba-tiba terduduk dan beranjak meninggalkan kasur untuk menuju ke suatu tempat. Calista mengernyitkan alisnya tidak mengerti apa yang akan dilakukan suaminya malam begini.     

"Kamu mau apa?" Calista heran melihat Darren yang membawa laptop keatas kasur. "Jangan bilang kalau kamu mau bekerja lagi." Ujar Calista dengan wajah cemberut.     

"Tidak sayang, aku mau mencari nama perempuan dan laki-laki untuk baby twins." Ujar Darren dengan penuh semangat.     

"Kamu sebegitu yakinnya kalau yang lahir adalah anak lelaki dan anak perempuan." Calista memperhatikan jari jemari Darren yang mulai lincah diatas papan angka dan huruf tersebut.     

"Setidaknya aku sudah mempersiapkan dua nama untuk masing-masing." Jawab Darren tanpa menatap lawan bicaranya.     

"Oh baiklah, terserah padamu saja." Calista kembali merebahkan tubuhnya dengan posisi miring. Darren terlihat sangat antusias membuka beberapa situs online dengan kata kunci 'nama anak laki dan perempuan'.     

"Kalau dia perempuan, aku mau dia memiliki wajah secantik dan sifat sebaik dirimu. Tapi, kepintaran seperti aku." Ujar Darren dengan nada penuh optimis. Calista menggeleng-gelengkan kepala mendapati sifat narsisme yang sudah mengakar kuat pada diri Darren.     

"Dan, kalau dia lelaki, aku ingin dia menjadi anak yang tangguh, pemimpin untuk keluarga dan pewaris The Anderson kelak." Ujar Darren. "Mereka harus saling tolong menolong sesame saudara, tidak boleh ada saingan atau apapun juga. Aku akan mendidik mereka dengan keras sejak dini. Tidak ada manja-manja dalam kamusku. Dan, kamu juga tidak boleh memanjakan mereka. Setuju sayang?" Darren terus mengetikkan jarinya keatas laptop. Merasa tidak mendapat respon, Darren menatap perempuan disebelahnya.     

Darren menghela napas karena yang diajak bicara malah sudah menikmati mimpi indahnya sejak tadi. Pria itu tersenyum menyadari kesalahannya yang terlalu banyak berbicara. Dia pun menaruh laptopnya kembali ke dalam tas, setelah dimatikan dayanya. Darren menyusul Calista yang sudah nyenyak dan menyelimuti tubuhnya dan dirinya sendiri. Lalu mereka berdua pun tidur dengan posisi sang suami memeluk tubuh sang istri dengan penuh kemesraan dan kasih sayang.     

-----     

"Kakak sudah tidur belum ya?" Gumam Likha. Jam di dinding menunjukkan pukul 10 malam. Tapi, mata Likha belum bisa terpejam. "Aku coba ah…" Gumamnya lagi.     

Likha memencet nama kontak sang kakak di hapenya. Likha pun mulai melakukan panggilan langsung. Suara dering telpon masuk masih belum diterima sang pemilik telpon diujung sana. Ketika hampir putus asa tiba-tiba terdengar suara menjawab panggilan, "Halo." Reflek hati Likha mendadak diam membeku, mendengar suara si penerima. Seperti ada batu besar yang dihantamkan ke dadanya, Likha menganga dan hampir mau menangis.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.