Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 159. Melarikan Diri



II 159. Melarikan Diri

0Iya pak." Calista keluar untuk memanggil suaminya, yang ternyata sedang menikmati kolam ikan jernih yang hanya selebar satu meter berisi ikan lele yang banyak sekali jumlahnya.     
0

"Darren, ayo masuk." Calista menepuk bahu suaminya.     

"Okay." Pria yang suasana hatinya kadang berubah-ubah lebih cepat dibandingkan perempuan itu, beranjak berdiri meninggalkan kolam yang menyegarkan matanya.     

"Kalian berapa hari di Jogja?" Tanya bapak.     

"Rencana 2 hari tapi sepertinya akan diperpanjang." Jawab Darren.     

"Sudah tahu mau kemana saja?" Kali ini ibu yang bertanya.     

"Yang pasti Malioboro dan Gunung Merapi." Jawab Darren lagi.     

"Ajak suamimu ke pantai Parangtritis, nduk. Tidak lengkap rasanya ke Jogja kalau tidak kesana." Ujar ibu sambil tersenyum.     

"Pantai? Aku suka. Besok kamu temani aku kesana ya." Ucap Darren ke Calista.     

"Hmm." Jawab perempuan hamil.     

-----     

"Besok pagi-pagi kita langsung ke pantai setelah sarapan." Darren masih saja membahas pantai dalam perjalanan pulang ke hotel.     

"Begitu sukanya kamu dengan pantai." Ucap Calista.     

"Memangnya kamu tidak?" Tanya Darren balik.     

"Suka. Tapi aku lebih suka ke daerah pegunungan." Jawab Calista.     

"Oh, aku juga suka itu. Malah aku sangat suka. Apalagi ... gunung kembar." Darren menatap Calista dengan penuh hasrat.     

"Dasar mesum!" Wajah Calista hingga ke telinga memerah seperti tomat. Pak supir pun pura-pura tidak mendengar sambil berdehem.     

"Hahaha." Darren tertawa puas bisa menjahili Calista.     

"Sudahlah, aku ngantuk. Kalau sudah sampai hotel, beritahu aku." Calista merapatkan tubuhnya ke pintu di sampingnya dan merebahkan kepalanya untuk bersandar.     

"Ini masih sore. Kamu tidak mau jalan-jalan dulu?" Tanya Darren heran. Biasanya Calista senang berjalan-jalan kesana kemari.     

"Aku ngantuk. Entahlah akhir-akhir ini aku mudah mengantuk." Jawab perempuan hamil sambil memejamkan mata.     

Darren tersenyum mendengarnya. Namun, pria itu pun menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Dan, mereka pun tidur pulas dengan posisi berbeda. Pak supir tersenyum melihat kelakuan penyewa mobilnya.     

-----     

"Selamat bapak dan ibu, kalian akan menjadi orangtua." Seorang dokter membaca hasil tes darah yang dilakukan Dian. Dave tersenyum bahagia. Dian tersenyum tipis mendengarnya.     

Inikah pada akhirnya jalan hidup yang akan dia lalui? Memiliki seorang suami yang dia tidak cintai dan tidak pernah dibayangkan asal mulanya, lalu menikah, hingga hamil. Dian masih ingin berkarya, bekerja, dan menjadi wanita karir dengan pekerjaan dan gaji yang mapan.     

Dian masih ingin menikmati hidup dengan bersenang-senang dengan teman-teman. Nongkrong bersama sepulang kerja. Menggosipkan pria gebetan dan incaran lalu saling meledek. Pulang malam tanpa ada yang mengomel.     

Semua pikiran dan keinginan itu membuat perempuan yang dinyatakan berbadan dua tersebut, menutup mulut dengan kedua tangannya dan menangis sesenggukan. Dian pun keluar ruangan praktek dokter, menyisakan tanda tanya di pikiran dokter. Tapi tidak dengan Dave.     

"Maaf, dia terlalu emosional. Kalau begitu, kami permisi dulu. Terima kasih dok." Dave berjabat tangan dengan sang dokter.     

"Jaga mood istri anda baik-baik. Wanita hamil sering berbuat yang aneh-aneh. Moodnya mudah berubah meski anda tidak melakukan kesalahan apapun." Ujar dokter itu memberi nasehat.     

"Baiklah, terima kasih sekali lagi dan saya permisi." Dave segera keluar ruangan. Dian tidak ada di luar pintu. Dave mengeraskan rahang dan mencarinya kemana-mana. Pikirannya mulai berkata yang tidak-tidak.     

"Dian! Dian!" Seluruh penjuru lantai, semua ruangan kamar, Dave buka satu persatu demi mencari keberadaan sang istri yang dinikahi dan dikawini secara paksa. Namun, bayangannya pun tidak nampak terlihat.     

"Brengsek! Dimana perempuan itu!" Kepalan tangan dilayangkan ke dinding tanpa dosa dengan gigi menggertak. Akal sehat Dave mulai teracuni lagi dengan tindakan anarki dan tidak mengenal batas.     

Telpon Dian pun tidak bisa dihubungi. Perempuan itu seolah-olah telah tenggelam ke dasar bumi paling dalam.     

"Jangan sampai aku menemukanmu, atau kamu akan menyesal bila bertemu denganku!" Sorot mata iblis yang telah lama hilang, kini muncul lagi dikedua bola matanya.     

Sementara itu, ditempat yang tidak jauh, seorang perempuan berhasil melarikan diri dari suaminya. Semua surat-surat penting sudah berhasil dia bawa sebelum berangkat ke rumah sakit tadi pagi.     

"Aku harus pergi dari sisinya. Aku tidak ingin hidup seperti didalam penjara. Anakku, kita akan pergi berdua saja. Mami pastikan kamu tidak akan kelaparan. Kita pasti hidup enak." Dian mengusap perutnya yang sudah terdapat janin usia 5 minggu.     

Kalau dihitung-hitung, berarti sejak pertama kali Dian mengalami pelecehan pemerkosaan, disitu Dave sudah berhasil menitipkan benih di rahim Dian.     

Dian menggelengkan kepala mengusir kenangan-kenangan yang sangat menyakitkan itu. Kenangan yang menghancurkan hidup dan mimpi-mimpinya langsung.     

Bus yang ditumpangi Dian melaju menuju terminal lebih jauh. Dian tidak membawa pakaian bersamanya. Hanya surat-surat dan sejumlah uang yang diperkirakan cukup untuk biaya hidup selama 1 bulan.     

Dian ingin pergi ke desa terasing. Desa yang tidak ada yang mengenalnya. Disana dia ingin membesarkan anaknya kelak dan berkata kepada orang-orang yang bila bertanya dimana suaminya, Dian akan menjawab, "kami sudah bercerai."     

"Sungguh menyenangkan bisa menikmati hawa kebebasan lagi." Batin Dian berkata, sambil tersenyum lepas menampakkan barisan gigi putihnya.     

"Ciiiiiit!" Tiba-tiba bus yang dinaikinya berhenti mendadak.     

"Dasar orang gila! Mau cari mati kamu ya?" Supir bus marah bukan main ketika mengetahui ada sebuah mobil berhenti mendadak tepat didepan busnya.     

Dian yang kepalanya hampir terbentur besi kursi didepannya, mulai merasakan feeling tidak enak. Dia pun segera berdiri dan bersiap-siap untuk keluar dari pintu belakang. Tidak mungkin dia kan, pikir Dian.     

"BRAKK!" Pintu depan bus di buka dengan kasar. Semua penumpang ketakutan dan berteriak histeris. Mereka mengira ada pembegalan di siang hari. Ada yang menangis karena takut mati.     

Mata perempuan hamil itu terbelalak kaget ketika tebakannya benar. Dia pun segera berlari secepat mungkin keluar dari bus.     

"Berhenti! Jangan lari!"     

-----     

"Selamat pagi, nona Grace." Likha yang baru saja menuntaskan sholat Dhuha, langsung keluar kamar menuju dapur.     

"Huh, jam segini baru bangun. Kamu lihat tidak jam berapa sekarang? Jam 9. Memangnya kamu tidak sholat, huh?" Bibir Grace menyeringai sinis, dan menampakkan aura permusuhan begitu jelas.     

"Tadi pagi sebelum Subuh saya sudah bangun dan masak untuk sarapan. Makanannya ada di atas meja makan. Sekarang ini saya baru selesai sholat Dhuha." Jawab Likha membela diri.     

"Huh, sholehah sekali. Tapi sayang, tidak berguna!" Jawab Grace. Likha tidak menjawab. Bukan karena takut tapi karena Grace masih belum sembuh, dan sudah berkeliling kemana-mana tanpa meminum obat lagi.     

Likha tersenyum tipis mendapatkan makian di pagi hari sebagai sarapannya.     

"Apa ini? Nasi goreng? Kamu pikir ini Indonesia yang biasa makan beginian? Ganti menunya dan masak lagi. Aku tidak mau makanan sampah ini! Jawab Grace sambil bertolak pinggang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.