Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 123. Membawanya ke Italy



II 123. Membawanya ke Italy

0"Uhuk … kamu ini! Bisa tidak, tidak usah membahas seperti itu lagi?" Calista gemas bukan main dengan pria yang kadang membuatnya berbunga-bunga namun kadang juga membuat dirinya malu bukan main.     
0

Darren tersenyum tipis mendengarnya. Mereka pun melalui makan siang dengan tenang. Hanya sesekali Calista merasakan perutnya mual. Namun, ditahannya dengan meminum banyak air putih. Calista menyadari kondisi tubuhnya yang berbadan dua harus dipaksa diisi makanan, kalau tidak mau berakhir dengan jarum infuse seperti yang pernah di terimanya di Bali.     

Setelah selesai makan, Calista merasa mengantuk. Beberapa kali kedapatan dirinya menguap. Darren yang menyadari itu, bukannya menyuruh Calista untuk pulang, tapi malah menyuruhnya untuk kembali ke kamar khususnya.     

"Sehabis makan jangan langsung tidur. Tunggu 1 jam kemudian. Kalau mau tidur, dikamar saja lagi. Hari ini kita pulang bersama." Jawab Darren.     

Tidak ada jawaban ya atau tidak. Darren yang sibuk dengan tumpukan kertas yang harus ditandatangani dan puluhan email dari beberapa relasi, membuatnya tidak menyadari kalau perempuan hamil sudah tertidur duduk sejak tadi.     

"Huh, bisa tidur dimana saja. Benar-benar perempuan yang fleksibel." Darren menatap istrinya yang pulas tidur dengan kepala dimiringkan diatas sandaran sofa.     

Dengan sekali angkat, Darren membopong Calista menuju kamar dan membaringkannya di atas kasur yang baru saja ditinggalkan. Darren pun meninggalkan Calista sendirian dan melanjutkan kembali pekerjaanya.     

"Hera, kamu boleh pulang. Pakai saja supir yang tadi mengantar kesini. Calista pulang bersamaku." Darren menelpon Hera dan dibalas dengan kata siap, seperti biasa.     

"Selamat siang." Tanpa mengetuk pintu, Lewis masuk kedalam ruangan Darren dan duduk diatas sofa yang baru saja ditiduri Calista. Hidungnya mengempang kempis mencium sesuatu yang menusuk indera penciumannya.     

"Kamu habis makan seafood?" Dengan satu kaki disilang ke kaki lainnya, dan tangan terbentang lebar diatas kepala sofa, Lewis melihat Darren yang sedang menatapnya tajam.     

"Sepertinya aku sudah pernah bilang, untuk mengetuk pintu sebelum masuk ke ruanganku." Darren melanjutkan pekerjaanya setelah menyeringai sinis ke sepupu sekaligus rekan bisnisnya.     

"Tidak ada yang perlu disembunyikan lagi dariku. Hei, kamu belum menjawab pertanyaanku. Kamu makan siang disini, aromanya masih kuat menempel didalam ruangan ini." Jawab Lewis.     

"Aku suka. Apa pedulimu." Jawab Darren santai.     

"What? Huh, Darren yang semua orang kenal dengan kebersihan dan kesempurnaan tanpa cela, yang didalam ruangan tidak boleh ada bau menyengat, kini sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Well, hormon kehamilan ternyata tidak hanya mempengaruhi mommynya, tapi juga daddynya." Lewis menyeringai sinis.     

"Ada perlu apa kesini? Urusanmu dengan klien di Bali sudah beres?" Darren beranjak bangkit dari duduknya dan menghampiri Lewis untuk duduk bersama di sofa.     

"Beres, aman terkendali. Oya, aku kesini untuk membicarakan masalah Grace. Apa yang akan kamu lakukan padanya? Dia masih di dalam ruang tahanan wanita bukan?" Rona santai berubah menjadi wajah serius dalam seketika.     

"Huh, untuk seseorang yang hampir membahayakan nyawa orang lain, menurutmu hukuman apa yang pantas untuknya?" Darren merapihkan jasnya.     

"Kamu tahu dia punya kelainan kejiwaan …"     

"Dan, seharusnya dia tidak berkeliaran bebas." Darren memotong ucapan Lewis.     

"Untuk kali ini dia bisa lolos. Tapi, aku tidak menjamin untuk lain kali. Apa yang bisa kamu jamin kalau dia tidak akan mengulangi lagi perbuatannya?" Lanjut Darren bertanya.     

"Aku akan membawanya ke Italy. Aku pastikan dia tidak akan berbuat macam-macam disana. Sahamku taruhannya." Jawab Lewis, dengan tangan terkepal dan rahang mengeras. Biar bagaimanapun, Grace pernah menjadi cinta pertamanya. Walau dia tahu, Grace tidak pernah mencintainya namun Grace tidak pernah menolak jika dia menginginkan seks.     

"Hahaha, sungguh cinta sejati. Bukan aku yang menahannya. Kamu tanya ke mami saja. Beliau yang memutuskan boleh dilepasnya atau tidak." Darren berdiri dan memasukkan tangan kedalam saku celananya     

"Mami sekarang ada di butik. Kamu kesana saja temui beliau." Pekerjaan yang menumpuk lebih memikat mata Darren Dibanding menemani Lewis mengobrol.     

"Oke, aku kesana sekarang. Lebih cepat lebih baik. Thanks." Baru berjalan dua langkah, Lewis menghentikan kakinya.     

"Mungkin dia memang tidak sebaik istrimu, tapi … dia hadir lebih dulu di kehidupanmu. Memberimu warna dan teman wanita pertama dalam hidupmu." Ucap Lewis sebelum keluar ruangan kerja.     

"Aku tahu itu dan karenanya aku tidak menuntut berat dirinya." Darren duduk di kursi tanpa melihat kepergian Lewis.     

Ucapan Lewis mengingatkannya dulu saat mereka masih anak-anak. Empat sekawan: Darren, Jack, Lewis, dan Grace. Berangkat dan pulang sekolah bersama, jalan-jalan keman selalu ber empat. Hingga lulus sekolah dasar, mereka terpisah karena orangtua Grace membawanya ke luar negeri. Sementara para lelaki masih bersekolah disini. Lewis menyusul kuliah di luar negeri dan bertemu kembali dengan Grace di sana.     

Orangtua Grace yang masih ada hanyalah maminya, Lena. Daddynya sudah meninggal saat Grace sekolah di luar negeri. Diantara semua teman perempuan, hanya Grace yang menemaninya dalam suka duka. Bahkan ketika Darren tergila-gila dengan Britney, Grace yang sering menasihatinya untuk tetap berpikiran logis. Namun, karena Darren saat itu telah dibutakan mata dan hatinya oleh Britney, semua saran dan nasihat dari siapapun tidak didengarkan.     

Darren mendesah dan menghembuskan napas dari mulutnya. Waktu masih menunjukkan pukul dua siang. Masih ada waktu beberapa jam lagi sebelum meninggalkan kantor.     

-----     

"Niko , apakah klab ada masalah?" Hubungan komunikasi jarak jauh antara Jakarta dan Bali dilakukan Lewis setiap hari demi menjaga eksistensi bisnis yang dibangunnya.     

"Semua aman terkendali, tuan. Tuan Lewis ada rencana untuk datang kemari?" Niko yang baru selesai makan siang, meletakkan peralatan makannya agar lebih fokus menerima panggilan dari bos besarnya.     

"Aku ada rencana ke Italy dalam seminggu ini. Belum tahu kapan akan kembali. Aku menitipkan klab untuk sejenak. Kamu bisa aku percaya kan?" Pria sedingin kutub es kalau dihadapan orang banyak itu, sedang memijit pelipisnya yang tidak pening.     

"Saya pastikan, saya hanya akan setia kepada tuan Lewis sampai nyawa saya taruhannya." Jawab Niko dengan tegas dan jelas.     

"Aku percaya itu. Oke, aku akan telpon kembali nanti. Oh tunggu …" Lewis teringat sesuatu yang lupa dia katakan sebelum menutup telponnya.     

"Ya ada apa tuan?" Tanya Niko lagi.     

"Adikmu yang bekerja di rumah sakit, apa dia sudah menikah?" Tanya Lewis.     

Niko yang mendengar pertanyaan dari bosnya itu sesaat terkejut mendengar pertanyaan diluar perkiraanya. Kenapa bos menanyakan Likha? Apa dia melakukan kesalahan?" pikir Niko.     

"Hmm, belum tuan. Belum punya pacar juga. Hmm, apakah ada sesuatu yang berhubungan dengan Likha, tuan?" Tanya Niko hati-hati.     

"Aku ingin membawanya ke Italy untuk beberapa bulan. Bagaimana menurutmu?" Tanya Lewis.     

"Uhukkkk …" Air minum yang masih berada di kerongkongannya tersembur keluar seiring kalimat yang diucapkan Lewis, bosnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.