Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 126. Kamu Sungguh Naif Sekali



II 126. Kamu Sungguh Naif Sekali

0"Jangan coba-coba untuk mengganti pakaianmu. Kenakan luaran dan segera ikut aku kebawah, atau aku akan memakanmu saat ini juga."     
0

"Huft!" Dian mendesah panjang sepeninggal Dave yang keluar kamar dengan seringai liciknya. Habis sudah malam ini aku akan menjadi makan malam tambahan untuknya, batin Dian.     

Sesampainya di bawah, ternyata makanan sudah dihangatkan oleh Feni. Pelayan muda ini begitu cekatan dan gesti mengerjakan semuanya. Dian sebenarnya senang tidak perlu melakukan apapun, dan dia juga tidak perlu bersikap sebagai istri sesungguhnya yang melayani semua kebutuhan suami.     

Namun, sorot mata Dave yang tidak suka dengan makanan yang disiapkan oleh Feni, dari sorot mata tajam dan rahang yang mengeras, membuat Dian segera mengambil alih tugas Feni.     

"Kamu kembali ke kamar saja. Biar aku yang lakukan. Terima kasih ya …" Jawab Dian.     

"Tapi, aku …" Perempuan yang ingin menolak itu, mendapat deheman dari pria bersuara berat dan seksi meskipun sedikit serak.     

Dian memberi kode dengan menggelenkan kepalanya ke kanan yang artinya Feni disuruh meninggalkan mereka berdua. Dengan wajah sendu dan tatapan kecewanya, Feni keluar dari dapur diiringi helaan napas halus agar tidak terdengar majikan lelakinya.     

Dian menatap punggung Feni dengan rasa iba. Namun, tidak lama kemudian, tangannya cekatan menyalakan kompor dan menghangatkan kembali semua makanan yang dia masak tadi sore menjelang malam.     

Tidak lupa dia membuat minuman kopi dan teh manis hangat untuknya sendiri. Dave memperhatikan Dian yang cekatan mengolah makanan dan bermain dengan pisau dan kompor. Cardigan yang menutupi piyama tipisnya diikat kencang agar tidak terbuka saat sedang memasak atau makan. Setelah semua beres, Dian menyajikan diatas nampan dan dibawanya ke meja makan.     

"Sudah jam setengah dua belas malam. Apa kamu masih bisa makan?" Dian menyajikan semuanya dengan cepat dan cekatan. Tanpa ada berceran sampah atau sisa makanan.     

"Bisanya jam segini, ya sudah dimakan." Jawab Dave lemas. Dian memperhatikan pria di sebelahnya ini terlihat lemas dan irit berbicara. Seharusnya Dian senang dan tidak peduli. Jadi dia mengabaikan sikap Dave dan menunggu Dave makan dengan meniup uap panas teh manisnya.     

"Bagaimana pekerjaanmu? Menyenangkan?" Tanya Dave sambil meyuap sop kedalam mulutnya, tanpa mengalihkan matanya menghadap Dian.     

"Baik, sangat baik. Dengar, aku bersedia menandatangani perjanjian nikah itu hanya jika sampai aku benar-benar hamil. Tapi, ketika aku menstruasi. Maka, perjanjian itu batal dan aku bisa keluar dari rumah ini dan kita bercerai." Jawab Dian mantab.     

"Hahaha, kamu sungguh naïf sekali. Tapi kamu lupa, bahwa terhitung menstruasi itu setelah 3x. Artinya, aku masih punya waktu 3 bulan untuk membuktikan kalau aku bisa membuatmu hamil. Huh! Aku sudah kenyang. Sekarang giliran aku menikmati cemilan makan malam." Dave menarik tangan Dian menuju lantai dua. Dian yang sudah tahu akan kemana tujuan Dave, pasrah saja ketika tangannya ditarik ke atas. Ada sepasang mata menatap mereka sinis dari bawah dan memendam emosi hingga tangan terkepal.     

Satu jam sudah Dave dan Dian bercinta, namun tanda-tanda akan usai sepertinya tidak tampak sama sekali. Dave selalu meminta lagi dan lagi, hingga Dian kewalahan dan memilih pasrah apapun yang ingin dilakukan pria mesum dan posesif itu.     

"Kenapa? Sudah lelah? Bahkan aku saja semakin semangat. Karena kopi yang kamu hidangkan sebagai penutup makan malam." Jawab Dave sambil terus memaju mundurkan kejantanannya didalma kewanitaan Dian.     

"Kopi? Aaaahhhhh …." Dian sudah tidak tahan lagi dan akhirnya jatuh tertidur. Dia lupa kalau kopi bisa membuat orang semakin melek begadang.     

"Sekali lagi ya, bangun sayang." Dave menggigit daun telinga Dian dan si pemilik tubuh dibawah itu sedikit bergerak mendesah. Membuat Dave tersenyum puas.     

-----     

Beberapa jam sebelumnya,     

"Kamu belum tidur?" Darren keluar dari kamar mandi setelah berganti pakaian piyama tidurnya.     

"Besok aku mau diajak mami bertemu desainer interior yang dihire mami. Jadi aku, sedang mempelajari karya desainer itu sekarang. Siapa tahu aku ketularan ilmunya." Jawab Calista cekikikan.     

"Ilmu mana bisa ditularkan. Yang ada semangatnya. Lagipula, dengan IQ sepertimu yang sering lupa, blank, menurutku harus usaha lebih giat untuk menyelesaikan kuliah." Jawab Darren sambil menuju meja rias dan menyisir rambut tebalnya dengan sepuluh jari jemarinya.     

"Ishhh, sombong sekali orang ini. Memangnya kamu saja yang IQ nya tinggi? Akupun sama! Hanya saja aku cuti kuliah untuk bekerja paruh waktu." Jawab Calista tidak kalah sengit.     

"Sudahlah, tutup buku dan laptopmu. Besok kamu akan bertemu orangnya langsung. Tanya sepuasnya pada orang itu. Percuma membaca dari sekarang." Jawab Darren sambil mengangkat selimut kasur dan menyusupkan badannya kebawah selimut.     

"Kenapa kamu selalu meledekku? Oya, aku kapan kita ke Jogja? Kamu janji mau membawaku kesana." Tiba-tiba wajah Calista sendu dan tidak bergairah untuk melanjutkan perdebatan.     

"Aku usahakan seminggu dari sekarang setelah semua pekerjaan beres. Kita akan terbang menggunakan pesawat. Sekarang tidurlah, aku sudah sangat mengantuk." Darren memiringkan tubuhnya ke sebelah kanan dan mengambil leher Calista untuk didekatkan pada dadanya. Darren selalu tidur dengan keadaan memeluk sang istri. Tubuh Calista menawarkan harum aroma menenangkan dan mengusap-usap lengannya yang halus dan putih, sungguh sangat membuat Darren bisa tidur pulas sampai pagi.     

-----     

"Apa? Italy? Kakak jangan becanda ah, bagaimana dengan pekerjaanku?" Likha tidak sengaja berteriak kencang di jam kerjanya dan disaksikan banyak orang dan teman-temannya.     

"Ssst, kenapa kamu harus berteriak? Kalau kamu tidak mau, kau bilang sendiri sama orangnya besok di kafe depan rumah sakit tempat kamu bekerja. Kakak tidak berani menolaknya. Kamu tahu sendiri mencari kerja itu susah, apalagi mendapatkan kepercayaan dari atasan." Jawab Niko agak sedikit gusar juga. Tapi mau bagaimana lagi.     

"Aku memang ingin jalan-jalan keluar negeri. Tapi, tidak begini caranya. Huft, besok aku akan bilang sendiri pada bos kakak itu." Jawab Likha sambil mendesah gundah.     

"Ya kamu bilang saja besok. Jadi dia bisa mencari orang lain." Jawab Niko dan dia pun menyudahi panggilan telpon tersebut.     

"Dasar orang kaya! Mudah sekali mengajak orang begitu saja. Memangnya dia pikir aku pengangguran? Cih!" Likha kembali ke pos penjagaan sambil menunggu detik-detik selesai lemburnya sebentar lagi.     

"Kamu Likha?" Baru saja Likha berjalan lima langkah, tiba-tiba jalannya dihadang oleh seorang pria yang tinggi dan berpostur seperti antara actor Turki dan Hollywood.     

"Ya saya sendiri. Anda siapa?" Likha kembali bertanya. Lorong tempat mereka berdiri malam ini sepi dan jauh dari orang berlalu lalang.     

"Seharusnya besok kita bertemu, tapi aku tidak sabar. Jadi, aku ingin kita berbicara sekarang saja." Jawab pria tersebut, yang tidak lain adalah Lewis.     

"Oh, anda Lewis? Bos kakak saya? Yang meminta saya untuk ke Italy bersama?" Pertanyaan Likha yang beruntun, membuat Lewis tersenyum tipis.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.