Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 134. Pertemuan Ibu dan Anak (5)



II 134. Pertemuan Ibu dan Anak (5)

0"Bagaimana bu, apa yang dirasa?" Dokter itu membaa stetoskop dan memeriksa pernapasan sang pasien.     
0

"Aku … baik-baik … saja dok." Agnes mencoba tersenyum meskipun tubuhnya masih belum pulih seutuhnya.     

"Tidak usah dipaksakan bu, pelan-pelan saja. Beruntung ibu langsung dibawa ke rumah sakit. Ibu memiliki riwayat jantung lemah." Setelah diperiksa dan dicek cairan infusnya, Agnes hanya butuh istirahat lebih banyak dan jangan terlalu stress. Donni mendengarkan dengan seksama sambil mengangguk-angguk pelan.     

Setelah dokter dan suster keluar kamar, Donni kembali mendekati ranjang Agnes.     

"Ada apa dengan kamu? Bahkan saat kita berhubungan intim semalaman pun, jantungmu masih kuat." Ucap Donni dengan santainya. Agnes memejamkan mata dan mencoba mengatur napasnya perlahan, mendengar kalimat yang diucapkan Donni. Namun, wanita cantik itu malas untuk mendebatnya.     

"Donni, anak kita …"     

"Ya, itu yang ingin kamu katakan tadi. Kalau itu membuat jantungmu jadi lemah, kamu bisa mengatakannya nanti kalau sudah sembuh benar. Saat ini, prioritas utamaku adalah dirimu." Donni mengusap lembut pipi sang istri dengan jari panjang dan besarnya.     

Agnes memegang tangan itu dan menggenggamnya.     

"Dia ada disini." Jawab Agnes pelan.     

"Siapa?" Donni mengerutkan alisnya dan jarinya mendadak berhenti mengusap.     

"Anak kita." Jawab Agnes lagi.     

"Kamu jangan becanda." Donni berkata lagi.     

"Anak kita, ada disini. Namun, dia … tidak tahu … kalau kita … adalah orangtuanya. Dia … pasti akan sangat … kecewa begitu mengetahui … kita masih hidup namun … tidak merawatnya, terutama kecewa padaku." Jawab Agnes terbata-bata.     

"Sayang, kita bicarakan itu nanti. Kondisimu belum pulih benar sekarang." Donni tidak tega melihat istrinya berbicara dengan napas terengah-engah. Agnes pun mengangguk mengiyakan. Toh anaknya tidak akan kemana-mana karena ada didekatnya selalu, jadi bisa dilihat kapanpun.     

"Iya." Jawab Agnes. Matanya pun terpejam dan tidur kembali. Efek obat-obatan yang disuntikkan membuatnya mudah mengantuk. Karena memang jantungnya perlu beristirahat lebih banyak.     

Melihat Agnes yang sudah tertidur, Donni memutuskan untuk keluar kamar sebentar. Dia penasaran dengan apa yang dikatakan Agnes, anaknya ada disini. Setelah berada diluar kamar, Donni hanya menemukan Sara dan Anton yang sedang mengobrol santai di ruang tunggu.     

"Darren dimana?" Donni bertanya karena penasaran.     

"Anak saya? Baru saja pulang dengan istrinya. Menantu saya sedang hamil jadi butuh banyak istirahat. Nanti dia akan datang lagi." Jawab Sara.     

"Oh okay." Donni segera duduk di kursi ruang tunggu dan menyatukan kedua kepalan tangannya diatas lutut.     

"Tuan, ada yang bisa saya bantu lagi?" Anton yang masih anak bawang, bingung harus berbuat apa. Jadi dia memutuskan untuk bertanya.     

"Kamu pulang saja. Aku akan menunggunya disini." Jawab Donni.     

"Oh, kalau begitu, saya permisi dulu tuan." Donni hanya mengangguk lemah dan Anton pun meninggalkan Sara dan Donni berdua.     

"Mungkin itu karena salah saya juga, Agnes jadi terkena serangan jantung." Sara tampak ragu untuk berkata. Namun, bagaimanapun dia harus mengatakannya.     

"Kenapa anda bisa membuat dia pingsan? S ebenarnya, apa yang terjadi?" Donni menatap tajam Sara yang merasa terintimidasi. Sara menelan salivanya susah payah.     

"Wajah Agnes mirip dengan menantuku, istrinya Darren. Mereka bagaikan pinang dibelah dua. Jadi, aku mengadakan pertemuan diluar untuk memastikannya." Jawab Sara khawatir pria didepannya akan menelannya bulat-bulat.     

"Menantu anda? Apakah dia mirip dengan Agnes?" Tanya Donni kemudian.     

"Benar, sangat mirip malahan. Mereka berdua juga lebih suka menguncir kuda rambutnya." Jawab Sara lagi.     

Donni terdiam lama. Apakah dia adalah anak perempuan yang pernah dicium dan dipeluknya saat pertama dilahirkan? Apakah dia anak yang telah pergi darinya selama dua puluh tiga tahun ini? Donni tidak tahu harus berkata apa. Tapi dia tidak sanggup melihat anaknya kalau bukan dengan Agnes. Pria itu khawatir tidak bisa mengontrol emosinya.     

"Baiklah, aku dan istriku akan segera menemui dia untuk memastikan benar tidaknya dia adalah anak kami, setelah Agnes pulih kembali. Maaf sudah merepotkan dan terima kasih sudah membawanya ke rumah sakit segera." Donni membungkukkan badannya sedikit dan beranjak masuk kembali ke dalam kamar dimana Agnes berbaring.     

Sara yang sendirian menghela napasnya dalam-dalam. Sungguh, bukan seperti ini keinginannya. Dia tidak tahu kalau Agnes menderita jantung lemah. Dan, menantunya pun sampai saat ini belum mengetahui apapun. Sara pun tidak akan mengatakan apa-apa, sampai semuanya pasti.     

"Apa tidak apa-apa kita pulang duluan? Aku merasa bersalah dengan wanita itu." Calista sebenarnya keberatan dipaksa pulang oleh Darren. namun, Darren memaksanya karena dia tidak ingin istrinya kecapekan.     

"Besok lagi aku antarkan menjenguknya. Sekarang sudah sore. Sebelum macet, kita pulang dulu." Darren memeluk lengan Calista. Perempuan hamil itu tidak menolak. Hanya dalam hitungan menit, terdengar dengkuran halus keluar dari tenggorokan Calista. Darren membetulkan letak tidur Calista. Kepalanya diangkat dan direbahkan perlahan diatas pahanya.     

Darren menatap wajah yang sedang tidur pulas di pahanya itu. Sangat teduh, tenang, dan membuatnya nyaman. Wanita yang tidak pernah menuntut apapun dari Dirinya. Bahkan Darren merasa tidak seperti seorang suami karena terlalu mandirinya Calista.     

Rambut yang berjatuhan di pipinya, disibakkan. Tangan besar Darren merapa perut Calista yang mulai sedikit buncit diusia tujuh minggu kehamilannya. Calista yang merasakan diusap-usap, semakin mengeratkan tidurnya dan memeluk paha Darren lebih dekat.     

"Sial! Kenapa dia memancingku? Arrggghhh, juniorku mengeras!" Darren menggigit bibirnya dan mengepalkan tangannya manakala tangan Calista berada tepat mengenai kejantanannya. Calista tersenyum puas. Perempuan itu berpura-pura tidur.     

-----     

"Sudah pulang?"     

"Sebentar lagi." Jawab Dian singkat.     

"Menunggu apa?" Sang suami yang baru keluar dari rapat mingguannya, langsung menelpon istri dari hasil pernikahan paksaanya.     

"Menunggu seorang tamu selesai memilih baju." Jawab Dian malas-malasan. "Huft! Kalau bukan karena perjanjian itu, aku malas menjawab telponmu." Batin Dian.     

"Besok tidak usah kerja disana. Kamu kembali bekerja jadi sekretarisku saja." Dave menatap jalanan ibukota dari lantai paling tinggi yang luar biasa macet parah dibawah sana.     

"APA? Tidak! Aku tidak mau menjadi sekretarismu lagi. Lebih baik aku kerja diluar." Jawab Dian dengan tegas.     

"Sayang, aku sudah sering bilang. Aku tidak menerima penolakan. Huh!" Jawab Dave sambil menyeringai sinis.     

"Dave, aku kangen sama kamu. Malam ini kita ke diskotek yuk. Aku …"     

KLIK! Dave mematikan ponselnya tiba-tiba. Dian masih sempat mendengar seorang perempuan berkata manja dan kangen. Dian menghela napasnya dan tersenyum sinis.     

"Kamu masih suka bermain wanita dibelakangku. Tapi, kamu mengikatku dengan sebuah pernikahan. Mau kamu apa, brengsek?" Dian geram luar biasa dan meremas ponsel yang digenggamnya.     

"Kamu … aku sudah bilang! Ketuk pintu dulu sebelum masuk." Dave mengeraskan rahang dan menggertakkan gigi. Sorot mata tajamnya seolah ingin membunuh Britney saat ini juga.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.