Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 135. Menikah Dengannya Tidak Seburuk Yang Dibayangkan



II 135. Menikah Dengannya Tidak Seburuk Yang Dibayangkan

0"Kamu … aku sudah bilang! Ketuk pintu dulu sebelum masuk." Dave mengeraskan rahang dan menggertakkan gigi. Sorot mata tajamnya seolah ingin membunuh Britney saat ini juga. Britney justru tersenyum lebar.     
0

"Kenapa? Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku? Huh!" Britney menyeringai sinis.     

"Kamu jangan lupa! Kamu lah yang menyuruhku untuk bercerai dengan Donni. Dan, sekarang setelah aku bercerai dengannya, kamu membuangku? Jangan mimpi!" Perempuan mungil itu menatap balik Dave, tanpa rasa takut.     

"Oh, jadi kamu sudah berani menentangku? Kamu tahu akibatnya?" Dave berkacak pinggang menantang Britney balik.     

Britney adalah tipe wanita yang bisa dipakai dan dibuang kapanpun. Dia selalu menghalalkan segala cara untuk memperoleh keinginannnya. Oleh karena itu, Dave sudah mulai jenuh berada di dekatnya, terutama sejak pria dingin itu sudah mengenal Dian dan menikmati keperawanannya.     

"Aku tidak peduli. Kamu mau mengancamku? Aku tidak takut!" Jawab Britney sambil melemparkan dokumen keatas meja Dave dan keluar meninggalkan ruangan itu sambil membanting pintu.     

"Huh, dia pikir dia siapa!" Dave kembali menatap layar ponselnya. Hatinya mulai merasa resah. Belum pernah dia merasa segundah ini.     

"Apakah dia mendengar suara perempuan sialan itu? Brengsek! Aku harus segera memecat perempuan tidak tahu diri itu!" Dave kesal bukan main. Dave mengambil jasnya dan segera keluar ruangan.     

Pria impulsive itu menuju parkiran mobil dan menghidupkan kunci alarm. Tanpa basa basi lagi, dia menghidupkan mesin mobil dan memacunya menuju suatu tempat, tempat dimana istrinya bekerja.     

"Tunggu dulu!" Dave menepikan mobilnya tepat disebuah jalanan depan ruko.     

"Kenapa aku harus peduli bagaimana perasaanya? Dia kan hanya seorang teman tidur yang naik level menjadi istri. Huh! Aku mau lihat reaksinya nanti dirumah. kalau dia cemburu, berarti dia sudah tertarik padaku. Kalau tidak, huh!" Dave tetap melanjutkan laju mobil menuju tempat kerja sang istri rahasianya.     

"Terima kasih Dian, hati-hati di jalan yaa. Jangan pulang malam-malam lagi." Beberapa teman menawarkan kendaraannya untuk mengantarkan Dian setidaknya sampai terminal. Tapi perempuan itu selalu menolak dengan halus semua tawaran dari teman-temannya.     

"Iya, terima kasih. Masih sore, pasti aman." Jawab Dian dengan santai.     

Tanpa disadarinya, sebuah mobil sport warna merah sedang mengikutinya dari belakang dengan jarak lumayan jauh dan terhalang oleh dua mobil didepannya. Dave melihat Dian berjalan di sepanjang trotoar sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku jaket hoodynya. Bukan karena kedinginan tapi karena Dian merasa nyaman bisa menyembunyikan tangannya kedalam jaket.     

"Haii cewek, sendirian saja. Mau kita temenin?" Dua orang pria tiba-tiba berdiri menghadang jalan Dian di depan. Tampang mereka yang lusuh dengan rambut dan pakaian yang tampak dekil, membuat Dian memundurkan langkahnya dan menghindar.     

"Kalian jangan macam-macam. Aku bisa teriak dan kalian akan dihajar massa." Dian mengeratkan tas dalam pelukannya dan menjaga jarak sejauh mungkin. Sayangnya, kedua pria itu tidak peduli dan makin mendekat bahkan nyaris mencengkeram tangan Dian.     

"Kalian mau mati?" Sebuah tangan terbungkus jas hitam terjulur disamping Dian dan menghempaskan tangan yang mencoba menarik tas Dian ke jalanan beraspal.     

"Aahhh, jangan." Dian berjongkok ketakutan dan menutup kedua matanya. Dia tidak tahu dan tidak melihat wajah yang menolongnya.     

BUG BUG BUG!!!     

Dian membuka mata dan melihat dua pria yang tadi menghadang jalannya, terkapar di jalanan sambil menjerit menahan sakit di tangan dan kakinya. Tampak darah menetes dari bibir mereka.     

Dian terpaku dan matanya melotot tidak percaya. Tampak wajah yang sangat dikenalnya ikut berjongkok dan berada tepat di hadapannya.     

"Kamu tidak apa-apa?" Dave menatap perempuan yang gemetar ketakutan dan hampir menangis. Namun, perempuan itu tidak bisa berkata apa-apa. Bibirnya terkunci rapat, namun napasnya tersengal-sengal dan air mata hampir jatuh dari kedua mata indah bermanik hitam.     

Dave berdiri dan menarik tubuh Dian ke atas dan memeluknya erat-erat.     

"Sudah, menangis saja, jangan ditahan. Kamu tidak apa-apa kan?"     

Dian trauma dengan kejadian penculikan beberapa saat yang lalu. Dan, itu masih membekas diingatannya sampai sekarang. Waktu masih sore jadi dia pikir dia aman dari tindak kejahatan.     

Dian menangis tersedu-sedu didada Dave. Dadanya bergerak naik turun seiring napasnya yang memburu dengan tangisannya. Kedua tangannya memegang erat jas Dave seolah tidak ingin dilepaskan.     

Baru kali ini Dave merasakan dibutuhkan dan menjadi sandaran saat perempuan menangis. Kemana Dave Kingstone yang dulu berpikiran kalau wanita itu hanya pakaian, yang bisa dipakai dan dibuang kapanpun yang dia inginkan? Kemana Dave yang arogan dan suka bermain wanita hampir setiap harinya? Dave mengatupkan bibirnya dan mengusap punggung Dian. Lalu membawanya masuk kedalam mobil.     

Dave pula yang memasang sabuk keselamatan Dian yang masih terisak-isak menangis. Pria itu pun menghidupkan mobil dan melaju menuju arah pulang rumah mereka. Rumah yang menjadi tempat mereka memadu kasih dan berbagi suka dan duka bersama.     

"Kamu sudah makan?" Dave melihat tanda rest area beberapa meter didepan mereka dan ingin mengajak Dian makan sebelum sampai rumah.     

"Belum. Tapi aku belum lapar." Jawab Dian setelah berhasil menguasai kesedihannya dan menghapus air matanya.     

"Kita makan dulu sebelum sampai rumah." Dave membelokkan mobilnya menuju pelataran rest area dan parkir didepan salah satu tempat makan ala masakan Sunda.     

"Kamu suka masakan Sunda?" Dian terheran-heran dengan pilihan tempat makan Dave.     

"Aku suka makan apa saja. Untuk saat ini, aku lagi ingin makan yang pedas dan minum jus segar." Dave mematikan mesin mobil dan mereka pun keluar bergandengan tangan menuju restoran yang terkenal dengan ciri khasnya makan lesehan dan lalapan gratis ambil sepuasnya. Dian berpikir, menikah dengan Dave tidak seburuk yang dibayangkan sebelumnya. Hanya saja pria ini terkadang terlalu posesif dan egois berlebihan. Perempuan dengan rambut sebahu itupun menghela napasnya.     

"Kenapa?" Dave menatap Dian yang tiba-tiba menghela napa. "Kamu tidak suka masakan sunda?" Tanya Dave lagi.     

"Tidak-tidak, aku suka. Aku hanya … masih kaget saja dengan kejadian tadi." Dian sedikit berbohong untuk menutupi rasa malunya.     

"Selamat datang dan selamat menikmati. Silahkan ambil sendiri makanannya ya bapak ibu." Seorang pelayan pria memberikan nampak kosong yang terbuat dari kayu berbentuk persegi panjang kepada Dave dan Dian.     

Mereka pun mengambil masing-masing lauk dan meminta untuk di goreng kembali. Sambil menunggu makanan matang, mereka mencari tempat duduk di pojok yang lebih luas dan tampak nyaman.     

"Oya, terima kasih tadi kamu sudah menolongku. Aku pikir hari masih sore pasti tidak ada yang berani berbuat jahat." Ujar Dian sambil menunduk menatap meja kayu didepannya.     

"Huh, kenapa kamu tidak memakai supir yang aku berikan?" Dave bertanya, sambil melepas kancing jas nya agar lebih nyaman untuk duduk.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.