Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 137. Di Tepi Jalan Tol



II 137. Di Tepi Jalan Tol

0"Huh, makan yang banyak. Tidak usah diet-diet segala. Kalau waktunya langsing, pasti langsing lagi." Jawab Darren.     
0

"Memangnya sekarang aku sudah gendut?" Calista menatap tubuhnya. Semua pakaian masih muat kok, meski ada yang sedikit sesak.     

"Sudah, makan saja dulu, jangan banyak bicara saat makan." Darren tampak sangat lapar sehingga menghabiskan nasi yang ada di piringnya dalam sekejap. Sementara Calista makan perlahan sambil memperhatikan pria didepannya yang makan seperti orang yang sedang berbuka puasa.     

Selesai makan, Calista menelpon dapur untuk mengambil peralatan bekas makannya kembali. Darren mengambil cardigan warna navy didalam lemari dan memakaikannya ke tubuh Calista. Perempuan hamil itu akhir-akhir ini takjub dengan perubahan yang dialami Darren, menjadi lebih romantis, perhatian, dan pengertian. Sudah jarang terlihat marah-marah dan egois.     

Darren mengambil tangan kanan Calista dan meletakkanya di pergelangan tangannya. Calista memeluk tangan kekar itu sambil tersenyum simpul. Sungguh tampak seperti pasangan yang harmonis dilihat orang-orang.     

"Teras ini tadinya hanya berupa tanah kosong yang rumput jepang sebagai hiasan. Namun, sekarang dipenuhi oleh bunga-bunga cantik dan tanaman rempah yang sangat dibutuhkan orang dapur. Entah siapa yang menanamnya, tapi aku rasa dia orang yang tidak punya pekerjaan jadi mengacak-ngacak teras orang lain menjadi lebih bermanfaat." Ujar Darren sambil melihat hamparan bunga-bunga cantik bermekaran berwarna-warni.     

"Cih! Kalau mau memuji, lakukan saja. Tidak usah menyindir segala." Bibir Calista mengkerut sebal mendengar kalimat yang diucapkan Darren tidak jauh dari menyindirnya setiap saat.     

"Hahaha, aku tidak pandai memuji. Aku hanya pandai mengatakan apa yang ingin aku katakan. Kadang orang menganggapnya sinis, arogan, atau egois. Tapi aku menyebutnya, jujur." Jawab Darren sambil terus berjalan melewati taman bunga yang ditanam oleh Calista sejak masih tunas dan kini sudah berbunga banyak.     

"Tumben, kamu mengajakku berkeliling. Ada angin apa yang membuatmu akhir-akhir ini jadi baik padaku?" Calista ingin melepaskan tangan terikatnya di pergelangan lengan Darren, namun Darren malah mengeratnya lebih kuat.     

"Kamu sudah capek berjalan?" Darren menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya kesamping menghadap Calista.     

"Lumayan. Aku terbiasa jalan cepat, jadi kalau jalan lambat malah lebih capek. Hehe. Lagipula kita sudah meninggalkan rumah lumayan jauh." Jawab Calista polos.     

"Kita duduk dulu sebentar. Disana ada kursi panjang." Darren menarik kembali tangan Calista di lipatan lengannya.     

"Huft, akhirnya!" Calista memukul-mukul pahanya dengan kepalan tangan yang lembut. Darren pun duduk dengan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi serta kaki kirinya ditopang ke lutut kanan sehingga menampakkan sol sandal santainya.     

"Kamu pernah berpikir tidak kalau kamu dan Anton itu agak bedak?" Darren mulai bicara pada tujuan yang sejak dari rumah sakit tadi ingin ditanyakannya.     

"Beda apanya? Biasa saja. Namanya saudara itu kan tidak harus mirip." Jawab Calista santai sambil mengangkat bahunya.     

"Hmm, aku melihat kamu itu seperti wajah seperti orang Asia Tengah atau kebangsaan Turki. Sementara Anton, aku melihat wajah Indonesia kental sekali disana." Darren berkata dengan tegas sambil mengusap-usap dagunya.     

"Tujuan kamu bertanya ini apa?" Calista mulai merasakan ada maksud dibalik pertanyaan Darren.     

Darren menegakkan duduknya dan menghela napas sebelum mulai berkata.     

"Aku penasaran ingin melihat bapak ibu." Jawab Darren singkat.     

"Dengan kata lain, kamu … meragukan asal muasalku?" Calista mengernyitkan dahinya. Tak disangka, obrolan sore ini begitu berat. Dia dan Darren jarang berbicara panjang lebar. Namun sekali berbicara, topiknya bukanlah hal yang ringan.     

"Kita kembali ke kamar. Matahari sudah hampir tenggelam." Darren berdiri dan mengulurkan tangannya untuk digenggam sang istri.     

Calista masih penasaran apa maksud dari perkataan Darren. namun, hari memang mulai gelap. Dia akan kembali menanyakan itu didalam kamar nanti. Perempuan itu pun menyambut tangan Darren dan mereka beranjak pulang bersama-sama.     

-----     

"Wah, ternyata perempuan ini yang membuat kamu menjauhiku, Dave." Tiba-tiba Britney muncul dan berdiri di samping Dave dan Dian yang sudah selesai menuntaskan makan malamnya. Dian merasa bingung. Panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia memang memiliki status istri sah namun Dave dan dirinya tahu betul kalau status pernikahan mereka tidak seperti kebanyakan pasangan suami istri lainnya.     

Dave berdiri dan tidak suka dengan cara Britney berkata setengah berteriak, sehingga membuat beberapa pengunjung restoran melihat ke arah mereka.     

"Dasar pelakor! Kamu tahu tidak, Dave itu siapa? Kamu hanya jadi pemuas nafsu sesaatnya! Kalau dia bosan, kamu akan dibuangnya. Wanita buat dia adalah …"     

PLAK!     

Dian dan Britney kaget bukan main dengan tamparan yang diberikan Dave ke Britney untuk menyumpal mulutnya yang pedas.     

"Kamu … berani menamparku?" Britney memegang pipinya yang terasa sangat sakit.     

"Bukan hanya menampar! Aku bisa membunuhmu sekarang juga! Buka matamu lebar-lebar! Yang pelakor itu siapa? Dia adalah istri sahku dan kamu adalah pelakornya! Paham?" Dave menarik tangan Dian yang masih terbengon tidak percaya dengan pengakuan yang dibuat oleh Dave.     

Britney tidak kalah shocknya. Istri? Sejak kapan mereka menikah? Tidak … tidak mungkin, Dave pasti hanya menggertakku saja. Dia tidak mungkin melemparku ke jalanan. Batin Britney.     

Dengan langkah panjang, Dave menarik tangan Dian menuju mobil, setelah pria itu menuntaskan pembayarannya. Pintu mobil dibanting dengan kencang, sehingga membuat Dian ketakutan.     

"Ini bukan salahku tapi kenapa sepertinya dia marah padaku?" Batin Dian.     

"Aku tidak masalah dibilang pelakor atau apapun. Karena aku memang tidak merasa telah menikah dan sah menjadi istri Dave." Gumam Dian dalam hati.     

Dave menghidupkan mesin mobil sport merahnya dan berjalan dengan kecepatan luar biasa diatas jalan tol.     

"Dave, pelan-pelan. Aku belum mau mati sekarang." Dian berpegangan pada handel yang ada diatas kepalanya.     

Dave kesal bukan karena Dian yang diam tanpa perlawanan dikatakan apapun. Karena dia tahu, perempuan ini memang tidak punya nyali untuk bertengkar. Namun, yang dikesalkan Dave adalah Britney merusak momen romantis dan kebersamaan Dave dengan Dian yang sangat amat susah jarang didapatkan. Ditambah lagi, perempuan gila itu menuduh Dian sebagai pelakor dihadapan orang banyak. Dave berjanji, besok Britney sudah pasti dipecat dari perusahaan miliknya.     

"Dave, hentikan! Aku takut." Dian berteriak kencang dan memegang tangan Dave agar memelankan laju mobilnya. Pria itu untuk sesaat terhenyak ada tangan lembut hinggap dilengannya. Dave pun menepikan mobilnya ke sebelah kiri dan berhenti di pinggir jalan tol yang sepi tidak ada kendaraan satupun.     

Dave membuka sabuk pengamannya. Dia menyalakan mode gelap untuk kaca jendela di semua sisi. Dian bingung apa yang akan dilakukan Dave. Pria itu pun lalu melepas sabuk pengaman Dian dan mengangkat tubuh perempuan langsing yang cantik dengan rambut sebahu itu keatas perutnya.     

"Apa yang kamu lakukan?" Dian merasakan sinyal bahaya segera datang. Dave merobek kemeja Dian hingga kancingnya berhamburan kemana-mana.     

"Aaaaah …apa … isssh … yang kamu lakukan … aaaahhh …" Dian mengerang dan mendesah merasakan Dave dengan buasnya meraup kedua gunung kembar miliknya dan melumatnya dalam-dalam.     

Rok Dian diangkat keatas, sementara Dave melepas zipper celananya. Mereka pun bercinta didalam mobil ditepi jalan tol dengan suara-suara kenikmatan duniawi yang pasti tidak akan terdengar orang dari luar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.