Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 140. Pertemuan Ayah dan Anak (1)



II 140. Pertemuan Ayah dan Anak (1)

0Dalam hatinya, dia pun rindu dengan sosok anak perempuannya yang sangat cantik dan berbakti. Anak yang selalu patuh apa kata kedua orangtua, senang memberi, sayang pada adiknya, dan tidak pernah mau berebut sesuatu. Sedangkan anak bungsunya, Anton, sifatnya bertolak belakang dengan mbaknya. Namun, Anton sangat menyayangi kakaknya. Usia mereka yang tidak berbeda jauh, kadang kalau jalan bersama malah dianggap pasangan kekasih, bukan kakak adik.     
0

"Kita doakan saja yang terbaik untuk anak-anak. Supaya mereka sehat dan beruntung dimanapun. Karena hidup ini sangat keras untuk kita yang tidak punya harta berlebih." Jawab Dini sambil menyeruput teh manis hangat kesukaanya.     

"Ya kamu benar bu. Kita doakan saja mereka dari jauh. Doa kita akn tembus ke langit dan didengar gusti Allah, Aamiin." Jawab Teguh akhirnya.     

"Oya pak, bapak masih ingat tidak yang dulu setiap bulan menyelipkan uang di amplop coklat dan banyak makanan di teras? Apa kabar orang itu yaa? Apakah dia orangtua dari Calista? Yang menyesal menitipkan Calista pada kita sehingga mau membalas budi?" Mata Dini menerawang mengingat peristiwa saat Calista masih bayi merah ditemukan di pekarangan rumah mereka. Tanpa nama tanpa surat apapun. Hanya pakaian yang ada di box bayi itu terlihat sangat mahal dan mewah.     

"Iya, itu sudah lama berlalu. Apapun motifnya, kita harus bersyukur ada Calista di tengah-tengah kita. Seperti oase penyejuk gurun pasir yang kering dan hampa, kedatangan Calista sungguh menjadi berkah buat keluarga kita." Jawab Teguh, ikut menerawang ingatannya di masa lampu, kala Calista masih kecil lucu dan imut.     

"Calista kita akan selalu jadi anak kita yang lucu dan menggemaskan. Meskipun sifat ceroboh dan pelupanya benar-benar mengkhawatirkan." Teguh dan Dini tertawa terbaha-bahak bersamaan.     

Drrt … Drrt … Drrt ..     

"Eh telpon dari Anton pak." Dini segera memencet tombol datar warna hijau dan berbicara.     

"Ibu, apa kabarnya? Ibu bapak sehat, nggih?" Tanya Anton, yang mendapat ijin ingin menelpon orangtuanya sebentar.     

"Sehat nang. Alhamdulillah. Kamu bagaimana? Jangan telat makan yaa." Suara Dini yang lembut dan bijak itu, membuat Anton merindukan sosok yang dulu pernah dibantahnya dan malah sering di tentangnya. Kini justru dia merindukan sosok ibu.     

"Alhamdulillah, Anton juga sehat bu. Oya, mungkin aku dan mba Calista akan pulang sabtu ini. aku telah bertemu mba Calista kemarin." Jawab Anton penuh kegembiraan. Dan itu menular ke ujung telpon. Bapak dan ibu tersenyum sumringah mendengar kabar bahwa anak perempuannya akan segera pulang.     

"Tenane le? (Beneran nak?)" Tanya Dini dan Teguh bersamaan.     

"Benar bu. Aku sudah mendapatkan ijin dari bosku. Mba Calista akan datang bersama … suaminya." Jawab Anton lagi.     

Sontak keadaan hening seketika. Ibu dan bapak saling bertukar pandang. Calista sudah menikah? Kapan? Mungkin itu yang terbersit dalam benak ibu dan bapak yang usianya tidak jauh berbeda dengan Sara tersebut.     

"Mbakmu … sudah menikah?" Dini merasakan telinganya salah mendengar.     

"Benar bu. Aku juga tidak tahu ceritanya bagaimana. Nanti mereka yang akan bercerita langsung pada ibu dan bapak." Anton menegakkan badan dan memberikan kode jempol terangkat kepada salah seorang rekannya yang artinya jam menelpon sudah usai.     

"Maaf pak bu, aku harus kembali kerja sekarang. Nanti aku telpon kembali. Sehat-sehat nggih pak bu. Assalammualaikum." Anton memutuskan sambungan telpon secara sepihak dan dibalas dengan salam kembali oleh kedua orangtuanya.     

"Anak perempuan kita menikah tidak bilang-bilang. Hah! Apa dia sudah tidak menganggap kita lagi?" Teguh kembali berpikiran negatif dan bersedih muram durja.     

"Huh, pasti ada sebabnya. Kita tidak boleh menghakimi dia sebelum semuanya jelas. Nanti kita tanyakan pada Calista kalau dia datang. Sekarang, ayo dihabiskan dahulu kopi dan singkongnya." Dini menyodorkan piring berisi singkong rebus yang masih mengepul asapnya tersebut ke arah Teguh yang kembali menatap pagar berharap kedua anaknya pulang detik ini juga.     

-----     

"Darren, Calista ada?" Sara mencoba menelpon Calista berkali-kali namun tidak diangkat. Beruntung, Darren belum berangkat kerja sehingga Darren masih mengetahui keberadaan istrinya.     

"Hueeeekkk … hueeeekkkk …" Calista merasakan pagi ini dia tidak akan bisa kemana-mana kecuali berbaring diatas ranjang. Seluruh isi perutnya sudah terkuras habis, bahkan sekarang kantung empedunya pun mau keluar karena sudah tidak ada lagi yang bisa dimuntahkan.     

"Calista kenapa? Dia masih mabuk setiap pagi?" Sara yang mendengar suara Calista muntah-muntah, mengernyitkan alisnya mengiba. Pertanyaan pertama terjawab dengan suara yang muncul di telponnya.     

"Aku telpon lagi nanti mi. Dia lemas sekali dan mau aku bawa ke kamarnya." Darren pun memutuskan telpon dan mengangkat tubuh istrinya yang sudah lemas akibat banyak muntah. Wajahnya yang pucat dengan matanya yang terpejam sempurna, Darren seolah bisa merasakan kalau dirinya ikut menjadi sakit.     

"Aku panggilkan dokter sekarang?" Ujar Darren.     

"Tidak usah, aku hanya butuh istirahat. Tadi aku mencium aroma kopi jadi tiba-tiba muntah." Sahut Calista sambil merebahkan kepalanya ke atas bantal besar yang empuk.     

"Kopi? Oh, kamu mencium aroma kopi yang aku minum? Huh, baiklah. Aku tidak akan minum kopi lagi dirumah." Ujar Darren sambil tersenyum tipis.     

"Tidak-tidak, kamu boleh minum kopi dimanapu di rumah ini, kecuali didalam kamar. Aku tidak tahan aroma kopi sejak aku hamil." Jawab Calista.     

"Okay," Darren menimpali.     

"Oya, tadi mami telpon dan ingin bicara padamu. Ini ponselmu. Coba telpon balik dan tanyakan ada kepentingan apa. Aku akan menemanimu kalau mami mengajak keluar. Tapi, sepertinya hari ini kamu tidak akan kemana-mana." Jawab Darren lagi.     

Calista mengerutkan dahinya. "Aku tidak apa-apa. Justru aku butuh udara segar untuk menghilangkan rasa mual." Jawab Calista sambil setengah berteriak karena Darren berjalan keluar kamar meninggalkan dirinya.     

"Aku akan kembali sebentar lagi. Dan, jangan pernah berpikir untuk keluar rumah hari ini." Calista terbengong pasrah.     

"Ya mi, maaf tadi aku sedang tidak tepat waktu menerima telpon." Calista ingin sekali keluar rumah hari ini. Perutnya masih belum buncit tapi Darren sudah begitu ketat mengatur hidupnya.     

"Sayang, kamu tidak apa-apa? Mami khawatir sekali dengar kamu muntah tadi. Wajah kamu pasti pucat sekarang. Ya sudah kamu, jangan keluar rumah dulu hari ini yaa." Sara yang semula ingin mengajak Calista bertemu kliennya, kini sepertinya harus diundur.     

"Oh tidak-tidak mi, aku tidak apa-apa. Aku hanya sedang sensitif dengan aroma kopi saja pagi ini." Jawab Calista.     

"Please, aku ingin keluar dari rumah hari ini." Batin perempuan hamil ini menjerit.     

"Atau, kamu mau aku bawa Agnes bertamu kerumahmu hari ini?" Sara menyarankan sebuah ide yang diyakininya menguntungkan semua pihak.     

"Nyonya Agnes dan suami? Memangnya ada apa mi? Apakah mereka mau menuntut aku karena menyebabkan nyonya Agnes masuk rumah sakit?" Calista panik dengan pikiran yang dibuatnya sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.