Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 147. Membuka Pintu Secara Tiba-tiba



II 147. Membuka Pintu Secara Tiba-tiba

0"Huh, apartemen seluas ini, aku bisa hilang kalau jauh-jauh." Batin Likha.     
0

"Ciao ragazza, sei un nuovo residente qui? Seorang pria muda menyapa Likha dengan bahasa yang membuat Likha ingin menangis mendengarnya.     

"Hehe, aku harus menjawab apa?" Gumam Likha dalam hati sambil ingin pergi sejauh mungkin.     

"I'm sorry, I don't speak Italian. (Maaf, aku tidak bisa bahasa Italy)." Pengalaman Likha bekerja di rumah sakit Seminyak yang setiap hari didatangi turis mancanegara, memaksanya untuk bisa menggunakan bahasa Inggris sehari-hari.     

"Ah, I'm sorry. My name is Varoni. And, you?" Likha bisa bernapas lega, ternyata pria dihadapannya bisa berbahasa Inggris.     

"My name is Likha." Likha menolak halus uluran tangan Varoni untuk berjabat tangan. Sebaliknya, Likha menangkupkan dua telapak tangannya di depan dada sambil membungkuk sedikit untuk menghormati lawan bicara.     

Pria Italy itu sangat tertegun dengan sikap Likha dan tersenyum ramah.     

"Kamu tinggal disini dengan siapa, Likha?" Setelah 5 menit, Varoni menawarkan diri untuk menemani Likha berjalan-jalan melihat lingkungan apartemen yang terkenal paling prestisius di wilayah tersebut.     

"Aku seorang perawat." Jawab Likha singkat. Sungguh dia sangat khawatir dengan pria yang dikenalnya ini. Ditambah lagi, dia sedang berada di negeri orang. Tidak ada yang mengerti bahasanya kalau terjadi sesuatu. Likha pun berjalan sambil menjaga jarak dengan Varoni, pria Italy dengan rambut sebahu yang dikuncirnya.     

"Kamu takut padaku ya, hahaha?" Varoni menyadari itu dan dia memakluminya.     

"Maaf, aku akan kembali ke kamar. Terima kasih sudah menemaniku jalan-jalan. Permisi." Likha hendak bergegas meninggalkan Varoni, ketika pria itu berdiri menghalangi jalannya dengan gerakannya yang elegan dan senyum memikat.     

"Tunggu dulu, aku merasa bosan disini dan aku bukan orang jahat. Kita ngobrolnya di kafe didalam apartemen saja ya. Okay?" Pria Italy itu merasakan kenyamanan berbicara dengan Likha, padahal mereka baru pertama bertemu.     

"Tapi, aku …"     

"10 menit saja. Please." Kini giliran Varoni yang menyatukan dua telapak tangannya di depan dada dengan senyum memohon.     

"I-iya, ba-baiklah." Varoni tersenyum gembira, menampilkan deretan gigi putihnya yang sempurna.     

Mereka pun berjalan beriringan dengan jarak lumayan jauh menuju kafe. Varoni merasa kalau gadis ini ingin menjaga dirinya dengan menjaga jarak.     

"Kamu mau minum apa?" Tanya Varoni setelah mereka sampai didalam kafe.     

"Hmm, coklat panas saja." Jawab Likha sambil tersenyum tipis.     

"Aku kopi hitam saja." Pelayan yang mengambil orderan pun tersenyum ramah dan meninggalkan sepasang pria wanita yang baru bertemu untuk pertama kalinya itu.     

Varoni dan Likha terlibat obrolan seru hingga 1 jam lamanya dan Likha tersadar harus kembali ke kamarnya.     

"Maaf, aku harus kembali. Terima kasih traktirannya." Likha tersenyum ramah dan membungkukkan kepalanya sedikit untuk memberi hormat pria yang baru dikenalnya.     

"Senang berkenalan denganmu. Boleh aku tahu nomer ponselmu?" Varoni ikut berdiri untuk mengantarkan kepergian Likha menuju pintu keluar kafe.     

"Hmm, mungkin nanti kalau kita bertemu kembali. Permisi, saya harus buru-buru." Likha pun bergegas menuju lift terdekat dengan berjalan kaki cepat.     

Tanpa disadari, kaki Varoni mengikuti kemana Likha melangkah. Perempuan yang kurang mawas diri itu tidak sadar diikuti oleh pria yang baru dikenalnya. Dia pun masuk ke dalam lift yang sudah terbuka. Varoni melihat arah nomer lantai lift itu menuju dan mengikuti Likha dari lift sebelahnya.     

Likha bergegas masuk ke unit apartemen Lewis karena dirasa sudah terlambat lebih dari satu jam yang diijinkan.     

"Darimana saja kamu?"     

"Aahhhh … tuan Lewis?" Likha kaget bukan kepalang mendapati teguran tiba-tiba saat membalikkan badannya hendak menuju kamarnya. Lebih kaget lagi karena saat ini Lewis hanya mengenakan jubah mandi dengan bertelanjang dada sehingga menampakkan warna kulitnya yang putih dan dada yang kokoh sixpack. Likha seegra memalingkan wajahnya ke arah lain.     

"A-aku hanya minum di kafe." Jawab Likha terbata-bata. Wajahnya memerah meihat yang tidak seharusnya dilihat. Di Bali banyak pria bertelanjang dada seliweran hampir setiap hari. Tapi, suasana mereka di pantai. Kalau seorang pria bertelanjang dada didalam rumah keliling kesana kemari, sepertinya Likha akan meminta untuk beda unit dengan Lewis.     

"Oh, ya sudah kembali ke kamarmu. Grace sedang tidur. Aku mau keluar sebentar. Jangan kemana-mana sebelum aku pulang." Lewis berjalan ke lemari pendingin yang ada didapur untuk mengambil sebotol minuman dan menenggaknya langsung. Setelah itu pria itu kembali ke kamar.     

Likha menghembuskan napas panjangnya. Jantungnya seperti ingin meloncat beberapa detik yang lalu. Perawat manis itu pun segera menuju kamarnya. Likha langsung menutup pintu kamar dan melepaskan semua atribut pakaian yang menempel di badan, berganti pakaian santai.     

"Likha, aku …"     

"Aaaahhhhhh …"     

BRAKK!     

Lewis membuka pintu secara tiba-tiba tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Bertepatan di saat Likha sedang membuka jilbabnya. Rambut hitam lebatnya yang panjang terurai hingga ke pinggul, membuat Lewis tercengang.     

Likha langsung buru-buru mengunci pintu dan berteriak dari dalam kamar.     

"Anda mau apa masuk kedalam kamar saya tiba-tiba?"     

"A-aku mau bilang, kalau kamu tidak perlu memasak. Aku kembali nanti bawa makanan. Sudah segitu dulu. Aku pergi." Suara langkah Lewis menjauh terdengar oleh Likha. Perempuan itu membenturkan kepalanya pelan-pelan ke pintu. Menyadari kebodohannya karena tidak mengunci pintu. Lewis yang mendengar pintu kamar Likha berbunyi, tersenyum miris.     

-----     

Suara sepatu pantofel terdengar semakin mendekat menuju kamar. Hingga akhirnya gagang pintu yang terbuat dari besi kualitas premium itu diputar ke bawah dan kamar besar terbuka membentang di depan mata. Tampak sepi, tidak ada orang didalamnya.     

"Calista!" Pria penghuni kamar itu pun masuk memeriksa ke semua bagian kamar namun tidak menemukan perempuan yang dicarinya.     

"Calista!" Untuk kedua kalinya, panggilan pun tetap sama tanpa adanya jawaban. Kondisi kasur masih rapih seperti belum ditiduri pemiliknya. Kamar mandi pun tampak masih kering dan semua masih dalam posisinya masing-masing sejak tadi pagi.     

Darren mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan menekan satu nomer panggilan darurat, "Hera, dimana nyonyamu?"     

"Nyonya Calista sedang di dapur, tuan." Jawab Hera singkat. Terdengar suara perkakas dapur berdenting.     

Darren mematikan panggilan dan menutup pintu kamarnya kembali setelah keluar dari sana. Matanya menangkap momen yang tak biasa siang ini. Darren berdiri dari kursi mini bar yang berada di sebelah dapur. Tampak dengan jelas penampilan Calista dengan rambut panjangnya digulung ke atas sehingga menampakkan leher putih jenjangnya. Beruntung, bekas kiss mark disana sudah menghilang, kalau tidak, pastilah jadi tontonan gratis para pelayan dirumah ini.     

Dengan celemek yang terpasang di tubuhnya dan kaos pendek oblong putih juga celana selutut warna putih, Calista berubah seperti seorang koki yang sedang mengikuti lomba ajang memasak yang sering disiarkan di layar televisi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.