Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

II 150. Manja dan Ceroboh



II 150. Manja dan Ceroboh

0Entah karena mengantuk atau memang kamar mandinya licin, Likha terpeleset di lantai kamar mandi dalam posisi duduk. Namun, Likha tidak bisa kembali berdiri karena bokongnya mendadak pegal dan susah berdiri. Likha tidak bisa meminta tolong karena dia tidak ingin ada yang melihat dirinya dalam keadaan tanpa jilbab dan pakaian tidur. Meskipun pakaian tidurnya panjang namun tanpa lengan.     
0

Perempuan berambut panjang itu berusaha menggapai benda apapun yang terdekat untuk dijadikan pegangan agar dia bisa merayap berdiri dan menuju kamarnya kembali. Likha menggeser tubuhnya ke lantai dengan bantuan kedua telapak tangannya. Meja wastafel sudah ada didekatnya dan dia pun segera menggapai dan menjadikannya pegangan untuk bia berdiri.     

"PRANG!!!"     

Suara pecahan kaca seperti terdengar dari dalam kamar. Lewis yang masih bekerja dengan laptopnya didepan televise, segera menghampiri kamar. Yang pertama kali dilihat adalah kamar Grace. Lewis membuka pintu kamar Grace dan mendapati Grace sedang tertidur nyenyak, efek minum obat tidur karena insomnia akutnya.     

Lewis pun beralih ke kamar yang ada di bagian depan, yaitu kamar Likha.     

"Likha … tok tok tok …" Lewis mengetuk pintu tiga kali namun tidak ada jawaba. Lewis mencoba membuka pintu kamarnya namun terkunci. Pria itu yakin sekali asal suara dari dalam kamar Likha. Dia pun segera pergi menuju kamarnya untuk mengambil kunci master semua ruangan.     

"Likha, kamu dimana?" Lewis yang berhasil masuk kedalam kamar Likha, tidak mendapati sosok gadis itu didalam kamar. Ruangan yang masih terang dan ada laptop yang terbuka diatas meja kecil. Lewis melihat layar laptop tersebut. Pria yang mengenakan kaos dan celana panjang putih itu menatap dingin layar persegi panjang karena terdapat email Likha yang telah terkirim dengan judul: surat lamaran untuk posisi perawat.     

"Likha?" Untuk sejenak, pria itu kembali tersadar dengan tujuannya.     

"Ahh, tolong aku." Suara yang terdengar dari dalam kamar mandi, membuat Lewis bergegas menuju kesana.     

"Kamu kenapa?" Lewis menghampiri Likha yang jatuh tengkurap karena tangannya licin memegang pinnggiran wastafel dan mengenai beberapa botol yang ada disekitar wastafel.     

Likha terdiam menutup matanya. Antara membutuhkan bantuan tapi tidak ingin kondisinya terlihat.     

"Aku angkat sekarang." Lewis membalikkan tubuh Likha dan mengangkatnya ke dalam kamar.     

"Tutup matamu! Aku akan menjadi penunjuk jalan." Lewis memiringkan dagunya heran. Dalam kondisi seperti ini pun, gadis ini masih memikirkan tentang harga dirinya. Walaupun begitu, akhirnya Lewis menuruti juga permintaan Likha.     

Sebelum membopong tubuh Likha, Lewis memejamkan matanya.     

"Aku bisa melihat kalau kamu membuka mata." Hembusan napas aroma mint dari mulut Likha, menyegarkan Lewis yang sedikit mengantuk sebelumnya.     

"Apa begini sikap orang yang ditolong?" Lewis berkata sambil meraba jalanan.     

"Belok kanan sedikit, pelan-pelan, nanti kepalaku terbentur pintu. Aww, kakiku." Kedua tangan Likha melingkari leher Lewis sementara bibirnya menjadi penunjuk arah. Kakinya menabrak palang pintu ketika Lewis membawanya keluar dari kamar mandi.     

Sepanjang jalan menuju kamar, Likha tidak hentinya menatap wajah Lewis. Baru kali ini dia bisa melihat wajah pria dingin sedekat ini.Sebenarnynya pria ini tampan, tapi sayang sekali ucapannya kadanya kasar dan tidak mengenakkan hati. Mengingat hal ini membuat Likha cemberut mengerucutkan bibirnya. Lewis tersenyum tipis.     

"Apa kamu sudah puas melihat wajah tampanku?"     

"Cih! Maaf ya, kamu itu masih kalah jauh dengan pasien-pasien ku yang sangat tampan. Mereka mirip actor Turki yang ada di tv. Ah turunkan aku. Awwww …"     

Lewis menjatuhkan Likha begitu saja diatas kasur. Likha melotot tajam melihat Lewis dan dia baru menyadari kalau pria ini telah membuka matanya. Likha buru-buru sembunyi didalam selimut.     

"Terima kasih, tapi aku harus jujur. Aku tidak bisa menggerakkan kakiku karena keseleo. Jadi besok sepertinya, aku tidak bisa melayani nona Grace. Dan, satu lagi, aku sudah mengirim banyak lamaran ke rumah sakit. Aku siap kapanpun dipulangkan." Ujar Likha dibalik selimutnya.     

"Kamu masih disini? Tuan Lewis?" Merasakan tidak mendapatkan jawaban, Likha membuka selimutnya sedikit demi sedikit untuk melihat.     

"Ah dasar, dari tadi aku bicara sendiri? Huh … baguslah kalau begitu." Likha membuka seluruh selimutnya karena mendapati tidak ada Lewis lagi ditempat semula berdiri.     

"Aku mendengarkan."     

"Huaaa …" Likha terloncat kaget hingga jatuh kebawah kasur, mendengar suara Lewis yang tiba-tiba di belakangnya.     

"Aduhhhh, kakaaaaaak … aku mau pulaaaaang … huhuhuhu …" Likha menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya yang sangat sial sampai dua kali jatuh. Lewis menghela napasnya. Dia baru tahu kalau perempuan dihadapannya sangat manja dan ceroboh.     

Untuk kedua kalinya, Lewis mengangkat tubuh Likha ke atas kasur. Namun kali ini dengan mata terbuka lebar.     

Likha pasrah sudah, rambut dan sebagian tubuhnya terlihat jelas oleh Lewis.     

"Aku akan memulangkanmu satu minggu lagi. Sampai saat itu tiba, kamu masih tanggung jawabku. Mengerti?" Lewis duduk ditepi ranjang disebelah Likha yang menundukkan wajahnya. Rambut panjangnya jatuh hingga menutupi lengan yang tidak tertutup.     

"Sudah malam, tidurlah." Lewis meninggalkan kamar Likha sambil menelan saliva. Sial! Kenapa keinginan itu harus datang tiba-tiba! Selama sampai di Italy, dia belum pernahh menyalurkan hasrat kelelakiannya. Bahkan saat disini jauh dari keluarga pun, dia dan Grace tidak melakukan apa-apa kecualis sekedar mengobrol dan berjalan-jalan.     

Likha diam tidak berkata iya atau tidak. Terdengar pintu ditutup oleh Lewis. Namun, Likha konsisten diam tidak mendongakkan wajahnya.     

"Hancur sudah harga diriku. Dia sudah melihat diriku tanpa jilbab. Ohhh Tuhan, maafkan aku yang ceroboh dan tidak bisa menjaga diri dengan baik." Gumam Likha sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.     

-----     

Waktu masih menunjukkan pukul 10 malam. Belum terlalu malam bagi warga ibukota. Darren dan Calista masih menikmati tontonan acara TV didalam kamar, sambil saling berdekatan.     

"Sayang, bagaimana kalau … hasil tes itu membuktikan … kamu adalah anak tuan Donni dan nyonya Grace?" Darren tidak tahan untuk membicarakan hal ini lagi, setelah pagi hari mereka berpisah sejenak karena Calista tidak mau membicarakannya.     

"Mau bagaimana lagi? Aku bukanlah orang pendendam. Setiap orang punya alasan untuk berbuat sesuatu. Mungkin nyonya Grace saat itu emosinya masih labil karena menikah dan melahirkan diusia sangat muda. Aku bisa memakluminya." Calista menegakkan tubuhnya, yang semula bersandar di lengan kiri Darren.     

"Seharusnya, hasil itu sudah keluar sekarang." Darren berkata.     

Calista terdiam, matanya tetap menatap layar televise. Tapi, entah dengan pikirannya.     

Drrt … drrt … drrt …     

"Telpon dari tuan Donni." Darren melihat layar hpnya yang berbunyi disebelahnya.     

Calista dan Darren saling memandang penuh arti. Apakah pria paruh baya itu akan memberitahukan hasilnya sekarang?     

Calista menelan saliva susah payah dan menatap lirih mata hijau Darren.     

"Ya … halo …" Darren menjawab telpon dengan intonasi pelan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.