Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

BAB 51: Hamil (2)



BAB 51: Hamil (2)

0 "Bapak ibu apa kabarnya, ton?"     
0

"Bapak ibu baik-baik saja mba. Bapak sudah lebih baik karena pemulihannya lebih cepat. Bapak ibu titip salam terima kasih banyak sudah bantu biaya operasi dan semuanya." Anton, adik Calista menerima panggilan telpon dari Calista yang tangannya masih tertusuk jarum infus.     

"Iya sama-sama. Mba belum bisa pulang ke Jogja. Masih banyak urusan disini. Nanti kalau sudah beres, mba pulang. Sampaikan salam mba ke bapak ibu ya, ton." Calista menahan isakkan tangis dengan menutup bibirnya rapat-rapat. Perempuan ayu yang juga calon ibu itu menghembuskan napasnya lewat mulut untuk menetralisir rasa sesak di dalam dada.     

"Iya mba tidak apa. Yang penting mba sehat selalu. Aku tahun ini lulus sekolah. Rencana mau nyusul mba Calista ke Jakarta. Mau melamar kerja apa saja. Boleh kan mba?" Anton berkata dengan logat Jogjanya yang kental sambil memohon dengan suara lembutnya.     

Calista tiba-tiba melebarkan matanya. Mana mungkin dia bisa bertemu dengan Anton dalam keadaan seperti ini. Status menikahnya saja masih di rahasiakan dari bapak ibu da juga Anton, adiknya. Calista menggigit bibirnya setiap kali panik.     

"Nanti mba kabari lagi bisa tidaknya ya ton. Mba sekarang tidak tinggal di kos-kosan lagi. Mba sudah pindah. Secepatnya mba akan hubungi kamu." Ujar Calista. Berusaha menghindar dari pertanyaan Anton selanjutnya adalah cara terbaik saat ini.     

"Titip salam buat bapak ibu. Jangan terlalu capek. Mba akan kirimkan rutin uang bulanan. Bapak tidak usah narik becak lagi. Biar lekas sembuh dan fit kembali." Ujar Calista sebelum mengakhiri percakapan dengan adiknya dan menekan tombol merah di layar ponselnya.     

Calista menatap layar segi panjang warna hitam tersebut dan mengusapnya perlahan dengan ibu jari tangan kanannya. Dia tidak menyadari ada sepasang mata memperhatikannya sejak tadi.     

"Ada apa dengan ponsel kamu? Ada yang baru menelpon?" Darren datang dari ruangan dokter dan langsung duduk di kursi sebelah ranjang Calista.     

"Darren, setelah pulang dari rumah sakit, aku ingin ke rumah bapak ibu sebentar. Mereka bahkan tidak tahu kalau aku sudah menikah." Ujar Calista tanpa menatap lawan bicaranya, sebaliknya masih terus menatap layar ponselnya yang tertulis nama kontak 'ibu'.     

Darren terdiam, tidak tahu harus bekata apa. Kalau dia membolehkan Calista pulang, dia khawatir Calista akan betah di sana dan berlama-lama bersama keluarganya. Tapi, kalau tidak boleh, dokter menyarankan untuk selalu menjaga suasana hatinya yang sangat berpengaruh kepada perkembangan janin.     

"Boleh kan?" Pinta Calista lagi. Kali ini dia menatap Darren dengan wajah memelasnya.     

"Huft, kalau tidak boleh bagaimana?" Tanya Darren mengetes Calista.     

"Hmm, tidak kenapa-kenapa." Calista tersenyum lebar. Senyuman yang dipaksakan dan Darren tahu itu.     

"Aku mau istirahat. Kamu bisa mengerjakan pekerjaanmu. Tidak usah pedulikan aku." Calista memajukan duduknya untuk mengambil posisi rebahan. Ibu hamil itu memiringkan tubuhnya memunggungi Darren yang masih duduk terdiam.     

Darren menghela napas dalam-dalam dan berdiri perlahan mendekati ranjang dimana Calista terbaring dengan jarum infus di tangan kiri.     

"Buat dirimu sehat dulu. Baru aku bisa pertimbangkan kembali boleh tidaknya ke Jogja." Jawab Darren dengan suara berat ciri khasnya.     

Mata Calista yang semula terpejam, sontak membuka matanya dan tersenyum lebar mendengar ucapan Darren.     

"Sungguh? Aku tidak akan lama disana. Paling lama 2 malam saja." Jawab Calista lagi.     

"2 malam itu lama buatku. Kamu tidak lihat, setengah hari saja aku tidak melihatmu, aku langsung menyusul kesini." Jawab Darren dengan tatapan tajamnya.     

"Cih! Aku kan kerumah orangtuaku sendiri. Apa yang harus dikhawatirkan?" Calista mengerutkan bibirnya.     

"Kamu itu orangnya sembrono. Tidur dimana saja dan kurang mawas diri. Tidak hamil saja mengkhawatirkan apalagi sedang hamil. Disini itu sedang ada calon penerus berkualitas dan berbobot dari The Anderson. Bahkan lebih hebat dari keturunan raja sekalipun. Jadi aku tidak akan membiarkan ibu dari anak ini bertindak aneh-aneh. Paham?" Darren menunjuk perut yang masih rata dan kening Calista bergantian. Calista menyatukan alisnya dan meringis.     

"Jadi, itukah pendapatmu tentang aku?" Seringa sinis terbit dari bibir Calista mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari pria yang selalu berbicara tanpa basa-basi.     

"Iya, ada yang salah?" Jawab Darren lagi.     

"Huft, mendadak kepala ku jadi pening." Calista ingin rebahan lagi setelah sempat duduk mendengar kalimat Darren yang sedikit menghibur dirinya. Namun, Darren memegang kedua lengannya, membuatnya tidak jadi merebahkan diri.     

Hanya dua pasang mata saling menatap, seperti mencoba untuk menyelami hati masing-masing. Darren tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak pintar menghibur. Sebaliknya, Calista menunggu apa yang akan diucapkan Darren dengan memegang kedua lengannya.     

"Aku …"     

"Hmm …"     

"Aku … sudahlah." Darren melepas cengkeramannya dan berjalan keluar kamar tanpa menoleh lagi ke belakang. Calista menatap dinding didepannya dan memiringkan dagunya.     

"Dia kenapa sih? Aku yang sakit, dia yang salah minum obat sepertinya. Huft!" Calista kembali merebahkan dirinya dan memejamkan matanya. Ibu hamil itu berjanji untuk tidak berpikiran macam-macam. Dia harus bisa membuktikan pada Darren kalau dia sehat dan tidak mengkhawatirkan.     

Calista ingin membuktikan pada Darren kalau kehamilan tidak menghalanginya untuk beraktivitas seperti biasa. Calista masih ingin bekerja di kantor saat kembali ke rumah nanti. Calista tidak ingin terkurung di dalam sangkar emas seharian.     

"Aku harus segera sehat dan fit kembali. Bapak ibu, tunggu aku pulang! Aduhhh!" Jawab Calista sambil mengepalkan kedua tangannya di depan dada, lupa kalau satu tangannya masih terkena tusukan jarum.     

"Kenapa dengan jantungku? Kenapa berdetak begitu hebat tadi?" Darren memegang dadanya erat-erat sambil bersandar di dinding luar kamar inap tempat Calista dirawat.     

"Darren, ada apa? Calista kenapa?" Sara yang baru kembali dari bertemu rekan bisnisnya, menyempatkan kembali ke rumah sakit untuk menjenguk menantunya sambil membawa parsel berupa jeruk dan mangga.     

"Tidak apa-apa. Mami bawa apa?" Darren penasaran dengan parsel yang dibawa mami karena aromanya lumayan menusuk hidung.     

"Buah buat menantu mami. Awas, kamu menghalangi jalan mami." Sara mendorong tubuh Darren yang berdiri didepan tubuhnya. Darren mengikuti Sara kembali kedalam kamar.     

"Selamat siang sayang. Kamu sudah makan?" Sara datang dan langsung memberi kecupan manis di pipi kanan dan kiri perempuan cantik dan bersahaja di matanya.     

"Hmm …"     

"Belum." Jawab Darren menyela pertanyaan Sara.     

"Apa? Ini sudah siang dan kamu belum makan? Bagaimana kamu bisa cepat sembuh? Kamu mau makan apa? Nanti mami belikan." Sara tampak emosional mendengar Calista belum mengisi perutnya. Memang tidak akan terasa lapar karena cairan infuse masuk kedalam tubuhnya. Tapi tetap saja tidak cukup untuk kebutuhan ibu hamil.     

"Tidak mi, aku tidak bisa makan apa-apa. Aku mual bila mencium bau makanan." Jawab Calista lirih.     

"Dia memuntahkan semua makanan yang masuk hanya dalam 1 detik ke dalam perutnya." Jawab Darren sambil melipat kedua tangannya didepan dada, dengan tatapan menghujam Calista tanpa berkedip sedetikpun.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.