Be my kid's mommy! (Bahasa Indonesia)

BAB 63: Flash Back (3)



BAB 63: Flash Back (3)

0"Siap tuan!" Balasan dari ujung telpon dimatikan sepihak oleh Donni. Donni berjalan menuju kafe terdekat untuk menyesap tembakau dan menghilangkan stress yang melanda hatinya. Tidak lupa dia menitipkan penjagaan kamar pada dua pengawalnya yang berdiri di luar kamar.     
0

Setengah jam kemudian, ponsel Donni muda berbunyi.     

"Tuan, ada selembar kertas didalam dus kecil dikamar nyonya. Saya sudah memfotonya dan mengirimnya pada tuan. Tolong dicek."     

Donni membuka file foto yang dikirim salah satu ajudan setianya. Dahinya mengernyit membaca tulisan diatas kertas tersebut. Jelas-jelas si pengirim ingin memancing di air keruh rumah tangga Donni dan Agnes yang sudah diawali dengan kesalahan.     

"Selidiki pengirim dari kertas tersebut. Kalau sampai ketemu orangnya, bawa dia padaku hidup-hidup!" Donni mencengkeram ponselnya keras-keras seolah-olah ingin mematahkannya.     

Baru saja menutup telponnya, nada masuk berikutnya bordering lagi di ponselnya.     

"Tuan, nyonya menghilang dari kamarnya. Kami sudah mencarinya kemana-mana tidak ketemu. Nyonya juga membawa bayinya." Donni muda sontak shock bukan kepalang. Dia berlari secepat panah terlepas dari busurnya menuju kamar Agnes.     

Didapatinya kamar Agnes kosong. Donni menyita semua tanda pengenal dan ponsel Agnes jadi Agnes pergi tanpa membawa apa-apa ditangan, kecuali bayi mereka. Donni memerintahkan semua ajudannya untuk mencari ke seluruh area rumah sakit bahkan sampai ke jalanan. Namun, setelah 1 jam lebih percarian, jejak ibu dan anak itu menghilang entah kemana.     

Donni muda terduduk lemas dan kepalanya mendongak keatas. Dia berteriak kencang sehingga semua orang yang mendengar terpaksa menoleh mencari tahu dari mana asla suara tersebut berada.     

Donni muda hanya inginkan cinta sesungguhnya dan sebuah keluarga yang selalu ada buatnya. Namun, caranya memperlakukan Agnes saat menjadi suaminya, terlalu posesif dan impulsive, terlalu mendominan dan mengekang, mudah cemburuan dan marah, sehingga Agnes sangat tidak nyaman dan sering terdiam seornag diri karena tidak diberi kepercayaan sebagai seorang istri.     

Sejak saat itu, Donni menjadi penikmat tubuh wanita setiap saat. Meski tidak ada yang pernah membuatnya benar-benar merasakan nikmatnya bercinta, seperti saat bersama Agnes, namun begitulah caranya dia menghukum semua wanita murahan yang hanya menginginkan uang demi popularitas dan harta.     

Dua puluh tiga tahun sudah pencarian Donni akhirnya membuahkan hasil. Donni ingin tahu apa kabar wanita itu dan anak mereka. Apakah masih hidup atau sudah meninggal. Karena Donni tahu betul Agnes tidak punya teman dekat, tidak punya uang saat itu, dan hanya mengandalkan nalurinya sebagai seorang ibu yang memiliki anak satu juga. Keterampilan yang dimiliki satu-satunya dari Agnes hanyalah dekat dengan anak-anak.     

"Menurut info dari orang-orang kita, nyonya tidak pernah menikah lagi dan tidak pernah berhubungan dengan pria manapun semenjak meninggalkan tuan. Namun, tidak terlihat seorang anak bersamanya. Masih diselidiki dimana putri tuan berada." Jawab Jay di depan kursi penumpang.     

"Tidak pernah menikah dan tidak pernah berhubungan dengan pria manapun? Huh, Selama dua puluh tiga tahun dia menjadi biksu begitu? Sementara aku kebalikannya, selama dua puluh tiga tahun ini sudah ratusan perempuan yang menghangatkan ranjangku." Jawab Donni sinis.     

Donni tidak tahan lagi untuk keluar dari mobil dan menghampiri wanita yang pernah menjadi istrinya tersebut. Usia Agnes sekarang adalah empat puluh tahun. Sedangkan usia Donni sekarang adalah empat puluh tujuh tahun. Donni menambah usia lebih tua tiga tahun diatas kartu pengenalnya, untuk memudahkan pengurusan pembelian perusahaan dan sebagainya saat dia masih muda.     

Dengan langkah panjang dan penuh percaya diri, Donni mendekati rumah kecil nan asri yang dipenuhi banyak tanaman di teras. Donni tidak langsung masuk, melainkan berdiri melihat dari jauh dengan jarak beberapa meter saja.     

Tiba-tiba keluar seorang wanita mengenakan dress lengan pendek dibawah lutut motif bunga-bunga warna hijau cerah. Dengan rambut hitam panjang yang lebat dan setengah ikal tergerai dijepit di bagian tengah-tengah kepala. Wanita itu keluar menyiram bunga dengan wajah penuh senyuman. Jantung Donni berdegup kencang. Dialah Agnes, wanita yang lama dicarinya. Wanita yang telah memberinya seorang anak perempuan. Napasnya tiba-tiba terasa sesak, rahangnya mengeras dengan tangan terkepal didalam saku celananya.     

Donni berjalan mendekat perlahan mendekati separuh jiwanya yang telah lama menghilang. Semakin dekat hingga jarak mereka berdua hanya sekitar 3 meter saja. Agnes yang membelakangi Donni tidak menyangka ada pria dengan aura iblis sedang menatap dirinya dari jarak sejengkal saja.     

"Agnes. Apa kabar?" Suara berat dan serak cirri khas Donni, membuat perempuan yang sedang asyik menyiram tanaman itu, reflek melepaskan alat penyiram tanaman ke bawah. Tubuhnya membatu terdiam. Suara itu … tidak akan pernah dilupakannya seumur hidupnya.     

-----     

"Aku masih ingin bekerja, Darren. Hamil itu bukan penyakit. Aku akan mati bosan didalam rumah seharian tanpa melakukan kegiatan apapun." Calista merengut sebal mendengar keputusan sepihak Darren. 9 bulan diam dirumah tanpa melakukan aktivitas apapun, bukanlah kebiasaan yang Calista lakukan sejak dulu.     

"Cobalah sekali saja kamu menurut padaku. Baru ketahuan hamil saja kamu sudah dirawat. Bagaiamana kalau terlalu capek nanti? Setiap hari kamu bisa masuk rumah sakit." Jawab Darren dengan berbicara penuh tekanan mencoba menahan emosi untuk berbicara dengan nada tinggi.     

"Berilah kesempatan padaku. Aku akan baik-baik saja. Aku tidak akan capek. Setidaknya aku punya kesibukan diluar untuk melewati hari-hari." Calista mencoba merayu Darren dengan bersaura lebih pelan.     

"Lihat nanti dirumah." Jawab Darren singkat. Calista menghela napas lelah. Lelah berdebat dengan Darren sebagai penentu sepihak semua keputusan. Calista mencoba berpikir positif. Ini semua demi kebaikan anak yang dikandungnya.     

Baik Darren maupun Calista sama-sama terdiam tidak saling berkata apa-apa.     

"Selamat pagi, ibu Calista." Seorang perawat masuk kedalam ruangan untuk melakukan pemeriksaan awal di pagi hari.     

"Pagi sust." Calista mencoba tersenyum ramah meskipun hatinya masih kesal dengan Darren yang sedang duduk memangku laptopnya di atas sofa.     

"Saya buka infusannya ya bu. Dokter bilang ibu sudah boleh pulang hari ini. Surat-suratnya sedang di proses. Maaf agak sedikit sakit ya bu." Calista tersenyum senang mendengar dia sudah boleh pulang hari ini. Tak sengaja matanya bertatapan dengan Darren yang melihatnya sekilas, senyuman Calista mendadak hilang terganti dengan cemberut kesal.     

"Sudah ya bu. Jaga kesehatan ibu baik-baik. Kalau begitu saya permisi dulu." Perawat tersebut keluar meninggalkan kamar dengan sopan dan ramah.     

Suasana didalam kamar kembali sunyi dan sepi seperti malam tanpa bintang. Calista mengurut-urut punggung tangannya yang bekas infusan. Tampak bengkak namun tidak terlihat jelas. Kulitnya yang putih mulus menjadikan titip jarum suntikan terlihat jelas berwarna merah. Calista menyibak selimut yang menutupi separuh tubuhnya. Dia ingin berdiri melihat pemadangan di luar jendela untuk menyegarkan matanya.     

"Mau kemana?" Darren bertanya dengan nada mengancam.     

"Melihat pemandangan dari jendela." Jawab Calista tanpa melihat wajah lawan bicaranya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.